Rabu, 01 September 2010

Pemilu dan Partisipasi

Saat Ibu ku menanyakan apa pilihan beliau untuk pemilu sekarang?! Aku menjawab “Terserah beliau punya pandangan terhadap partai yang ada”. Walaupun demikian jawabannya, aku memberikan beberapa kriteria untuk menjadi argumen memutuskan apa pilihan beliau nantinya. Tanpa ada pengorientasian kemana nantinya partai yang akan beliau pilih, aku sadar bahwa beliau mempunyai pilihan yang harus aku hargai.

Sebenarnya persoalan diatas merupakan persoalan yang kemungkinan terjadi kepada banyak orang disekeliling kita. Pertanyaannya apakah partai sudah memberikan pendidikan politik untuk masyarakat? Bilamana kita menengok praktek yang dilakukan oleh partai politik justru kebalikanya dimana partai bisa mendidik alih-alih justu memperjelas kalau adanya partai politik hanya untuk kekuasaan segelintir orang, mempertajam konflik ditengah masyarakat, dan tidak bisa menjadi alternatif solutif dalam berbangsa dan bernegara.

Kontestan pemilu 2009 sekarang merupakan gambaran yang dilematis, banyaknya partai memberikan saluran-saluran aspirasi masyarakat yang memadai. Tetapi bila masyarakat sendiri kurang memahami saluran-saluran tersebut, masihkah partai mencerminkan sebagai artikulasi kepentingan rakyat. Partai sekarang sepertinya kehilangan fungsinya untuk meningkatkan masyarakat lebih bertanggungjawab dalam berpolitik, penurunan resolusi konflik serta instrumen solutif dalam kehidupan bernegara.


Golongan Putih

Disfungsional yang dilakukan partai menjadi salah satu indikasi yang menyebabkan semakin menurunnya partisipasi masyarakat dalam memeriahkan pemilu sekarang. Dan hal ini disadari benar oleh berbagai komponen bangsa, salah satunya oleh MUI yang mengeluarkan fatwa haram untuk golongan putih atau golongan yang tak menggunakan hak suaranya pada pemilihan umum. Tentunya hal tersebut didasarkan pada respon kehidupan berdemokrasi sekarang, dimana masyarakat cenderung apatis terhadap kontestan pemilu sekarang. Terlepas dari apakah fatwa MUI ini, sebagai respon keapatisan masyarakat atau justru gambaran dari kekhawatiran legitimasi dari para elit politik kontestan pemilu 2009.

Semakin meningkatnya tanggungjawab masyarakat dalam berpolitik tentunya diiringi dengan meningkatnya partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak suaranya. Lalu dimanakah posisi dari Golput ini? Bisa dipastikan bahwa Golput ini juga merupakan pilihan, sebagai gambaran koreksi ekstrim terhadap sistem sebagai bentuk mosi ketidak percayaan terhadap para kontestan yang ada. Tentunya pilihan Golput ini bukan karena halangan yang bersifat teknis sehingga Golput ini menjadi sifatnya kondisional yang tidak ideologis.

Partisipasi politik menjadi konsekuensi bersama terhadap realitas dari kehidupan berdemokrasi kita sekarang. Sehingga kesadaran politik menjadi tanggungjawab kolektif sekaligus tanggungjawab personal sebagai warga negara yang baik. Memang benar bahwa partai politik mempunyai porsi untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat akan tetapi tidak menegasikan bahwa individu-individu dalam masyarakat sendiri mempunyai kewajiban personal untuk meningkatkan kesadaran politiknya. Kesadaran politik tercermin dari kebulatan dalam menentukan pilihannya dalam pemilu karena hal tersebut merupakan on the right track yang harus kita jalankan dalam berdemokrasi.


Tuntutan Perubahan

Tentunnya perubahan secara ekstrim cenderung membutuhkan sumber daya yang sangat luar biasa, itulah jika kita memutuskan untuk melakukan koreksi terhadap sistem. Kita menginginkan bahwa pemilu sekarang membawa angin perubahan yang akan memperbaiki sistem yang carut marut sekarang ini. Indeks korupsi, kemiskinan, persoalan TKI yang buruk, pengangguran, sumber daya manusia yang rendah, dan berbagai persoalan lainnya, menjadi pekerjaan rumah para pemenang kontestan 2009.

Sebagian dari kita melihat apakah nanti, pasca hajatan pemilu 2009 ini, akan terjadi perubahan untuk negeri atau justru menampah persoalan dari deretan-deretan prioritas pekerjaan rumah yang telah menunggu dengan konflik-konflik pasca pemilu. Perubahan menjadi harapan untuk kita bersama, gesekan-gesekan konflik harus disudahi pasca pemilu tentunya untuk mencapai tujuan dari pemilu itu sendiri.

Perubahan akan menjadi absurd ketika tidak ada komitmen bersama seluruh komponen bangsa. Menggunakan hak pilih dan percepatan restrukturisasi eksekutif dan legislatif menjadi beberapa komitmen bersama untuk perubahan yang lebih konkret untuk kesejahteraan masyarakat.