Minggu, 03 April 2011

Agama

Agama
Misbahudin

A

gama adalah salah satu kosakata yang nampaknya tak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia. Keyakinan atau ketidakyakinan terhadap agama telah memberikan inspirasi dan warna bagi peradaban umat manusia. Agama sepertinya memasuki semua ruang aktifitas manusia, ekonomi, politik, sosial, budaya, sains, teknologi maupun aktifitas biologis sehari-hari tanpa terkecuali. Terserah manusia peduli atau acuh terhadap agama itu.

Bila seperti itu kenyataannya, ada baiknya bila kita membicarakan kembali apa itu agama? Agar keberimanan terhadap suatu ajaran agama tersebut juga disertai dengan pengetahuan, pengertian, pembuktian atau argumentasi.

Definisi Agama (Din)

Dari bahasa Sansekerta didapatkan pengertian bahwa agama adalah keteraturan, sementara dalam bahasa Arab didapatkan pengertian bahwa agama (din) adalah balasan atau ketaatan. Dalam Alquran surat Al Fatihah ayat 4 disebutkan “Maliki yaumiddin - (Dialah) pemilik (raja) hari pembalasan” . Sementara menurut istilah ilmu Ketuhanan (Teologi/Kalam) agama adalah sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang pada kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Dari pengertian tersebut, dapatlah diketahui bahwa agama mempunyai tiga dimensi yaitu; sistem keyakinan (aqidah), hukum (syariat), dan norma (akhlaq). Ketiganya saling berkaitan dan melengkapi. Tidak boleh disangsikan salah satunya jika seseorang ingin beragama dengan benar.

Teori Munculnya Agama

Menurut Syahid Murtadha Muthahhari (manusia dan Agama, Mizan, 45) dari dominannya peran agama dalam kehidupan manusia sehari-hari, muncul berbagai hipotesis atau teori berkenaan dengan munculnya suatu agama. Misalnya ;

1. Agama adalah produk dari rasa takut manusia.

Manusia karena kondisi alam yang ganas seperti banjir, badai topan,ataupun gunung meletus dsb timbul rasa takutnya sehingga akhirnya merasakan perlu adanya sosok(dzat) yang mampu melindungi dan menjaga mereka (Tuhan). Hal ini bisa juga muncul karena ketakutan terhadap adanya hari pembalasan dan siksa neraka. Jadi, menurut mereka (kaum materialis) jika manusia tidak mempercayai adanya siksa neraka dan sudah tidak merasa ketakutan lagi, maka agama tidaklah dibutuhkan.

2. Agama adalah produk dari kebodohan

Agama menurut teori ini lahir karena ketidakfahaman manusia terhadap hukum alam dan sains yang belum berkembang, lalu dinisbahkanlah peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini dengan hal-hal yang metafisik (seperti kehendak Tuhan). Konsekuensi dari teori ini adalah bahwa dengan makin pintarnya seseorang, maka makin jauhlah ia dari agama. Orang yang mau beragama menurut teori ini hanyalah orang bodoh yang kurang kerjaan saja. Orang pintar tak perlu lagi agama.

3. Agama adalah produk dari keinginan orang untuk mendapatkan keadilan dan keteraturan.

Menurut teori ini, manusia menyaksikan kedzaliman dan ketidakadilan terjadi. Lalu manusia menciptakan agama sebagai sistem untuk mengatur kehidupannya agar tercipta keteraturan dan keadilan. Jadi, konsekuensinya adalah bila manusia sudah mampu menciptakan Undang-undang yang mengatur kehidupan manusia misalnya dalam suatu tatanan negara, maka hukum agama sudah tidak diperlukan lagi. Tuhan sudah tidak harus ditaati lagi. Toh pada prinsipnya hukum agama banyak yang sama dengan hukum yang diciptakan oleh manusia, buat apa perlu bertuhan? Kalau manusia sendiri saja mampu membuat hukum.

4. Agama sebagai produk penguasa

Hipotesis ini diungkapkan kaum Marxis karena melihat bahwa kelas penindas (penguasa) ingin mempertahankan statusnya sehingga agama hanyalah dijadikan alat propaganda penguasa saja. Para ulama/pendeta dan penganjur agama tsb hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah yang korup (penindas). Menurut mereka, kaum tertindas (rakyat) harus keluar dari jerat doktrin agama dan melakukan perlawanan terhadap penguasa. Rakyat tidak usah takut terhadap penguasa tetapi harus melawan (termasuk juga doktrin agama) agar bisa hidup sejahtera. Agama hanya candu saja.

5. Agama adalah produk dari orang-orang lemah.

Menurut teori ini (berlawanan dengan teori ke empat) bahwa orang-orang yang tertindas baik secara ekonomi, maupun seksual dsb, menciptakan agama agar mampu menampung aspirasi mereka. Orang yang lemah menganjurkan melalui agama adanya norma seperti kedermawanan, kesabaran, kerendahhatian, kasih sayang dsb agar orang-orang kuat (kaya) mau peduli terhadap mereka. Jadi kalau tidak ada lagi orang yang lemah (miskin), pada akhirnya agama sudah tidak diperlukan lagi.

Teori-teori tadi sepintas lalu nampak mengandung kebenaran. Tapi bila kita jeli ada beberapa argumentasi bisa diajukan untukmenjawab dan menjelaskan duduk perkara dari teori -teori tersebut.

Bahwa agama muncul dari rasa takut memang ciri orang yang beragama. Tapi, rasa takut terhadap hari pembalasan dan siksa Tuhan dirasakan ketika orang sudah meyakini keberadaan Tuhan terlebih dahulu, bukan takut dulu lantas percaya terhadap keberadaan Tuhan. Agama juga bukan ciptaan orang bodoh, karena banyak para cendekiawan maupun profesor yang beragama dan dikenal taat. Sebaliknya, banyak orang bodoh yang tak mau beragama.

Agama mempunyai hukum (syariat) yang tak hanya mengatur masalah hubungan antarsesama manusia, tapi juga terhadap alam dan sang pencipta. Syariat mengatur tata cara ibadah yang benar. Agama juga tak selalu muncul dari penguasa yang dzalim atau pun dari orang lemah. Nabi Daud dan Sulaiman adalah nabi sekaligus raja, nabi Muhamad adalah seorang bangsawan quraisy yang kaya (pedagang). Mereka semua adalah penguasa yang membela orang-orang yang lemah. Dengan semua bantahan ini berarti teori-teori tentang kemunculan agama tersebut gugur (tidaklah tepat). Faktor munculnya agama berarti berasal dari sesuatu yang lain.

Fitrah dan Agama

Manusia jika mengandalkan inderanya saja (kemampuan fisik)- sebagaimana telah kita bahas sebelumnya - akan jatuh pada derajat yang lebih rendah dari binatang. Hal dikarenakan fisik manusia yang lemah. Dari ke lima panca indera yang dipunyainya, beberapa binatang jauh memiliki keunggulan dibandingkan manusia. Tapi manusia memiliki keunggulan ruhani berupa akal dan hati. Sehingga segala apa yang ada di langit dan di bumi ditundukkan untuk manusia. Allah swt berfirman: “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami berikan mereka kekuasaan di darat dan di laut, serta kami anugerahkan mereka rezeki. Dan sungguh kami muliakan mereka di atas makhluk kami lainnya.” (QS Al Israa : 70). Dan karunia terbesar yang termasuk dimensi ruhani tersebut adalah fitrah. Agama dalam hal ini termasuk fitrah yang dimiliki manusia. Jadi jawaban pertanyaan mengapa agama selalu melingkupi dan mewarnai perjalanan sejarah manusia adalah karena unsur fitrah agama itu sendiri.

Dalam menentukan fitrah yang terdapat dalam diri manusia, para cendekiawan ataupun ulama terkadang berbeda menyebutkan jumlahnya tapi sebagaimana disebutkan oleh syahid Murtadha Mutahhari, bahwa manusia mempunyai lima fitrah dalam dirinya; kecenderungan kepada kebenaran, kecenderungan kepada kebaikan, kecenderungan kepada keindahan, kecenderungan untuk berkreasi, dan kecenderungan untuk mencinta (menyembah / beragama). Jadi, dari kecenderungan (fitrah) yang terdapat dalam diri manusia tersebutlah rasa keberagamaan (keimanan) terhadap dzat yang maha sempurna itu muncul. Dan dalam menyempurnakan misi wahyu kepada umat manusia yang terkadang lalai menggunakan potensi ruhaninyalah seorang nabi kemudian diturunkan.

Allah swt berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada Din (agama) dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan (QS Rum : 30). Jelaslah sudah bagi kita bahwa agama ternyata adalah salah satu fitrah kemanusiaan kita. Akankah kita ingkari fitrah itu dengan berhenti mencari pengetahuan yang benar mengenai agama yang benar pula? Mencari pemahaman Islam yang paripurna?. (MH,12/2003)

Selasa, 08 Maret 2011

AKHLAK DAN AGAMA

AKHLAK DAN AGAMA

Korelasi agam dan akhlak merupakan satu persoalan yang paling diminati dan banyak menyedot sorotan, atau bakan paling menjebak panyak pemikir, dengan latar belakang sejarahnya yang panjang di forum-forum filsafat dan teologi. Masing-masing filsuf dan alim ulama merusaha menawarkan penyelesaian atas pertanyaan, "dalam korelasi agama dan aklak, manakah yang otentik dan prinsipiil? Agama ataukah Akhlak?apakah tuhan diharuskan mematuhi rambu-rambu moral, atau malah rambu-rambu itu sendiri yang bergantung dan ditentukan oleh kehendakNya? Jika kita asumsikan ketiadaan Tuhan, apakh masih tersisa kemungkinan memperbincangkan akhlak dan hidup secara moral? Ataukah seperti yang diungkapkan Dostoyvski, "kalau Tuhan itu tidak ada, tindakan apapun dibenarkan"? dengan ungkapan lain, haruskah pandangan dunia materialistic berakhir pada pembebasan segala ikatan dan batasan (ibohigari)? Apakah kebutuhan agama kepada akhlak? Sejauh mana ketergantungan akhlak kepda agama? Bisakah akhlak dipandang sebagai bagian integral dari agama, sehingga hubungan dinatara keduanya bersifat organis, bukan perbedaan total atau interaksi?

Jawaban atas pertanyan-pertanyaan di atas ini begitu bercorak, sebanyak sudut pandang dan persepsi khas yang direngkuh oleh masing-masing filsuf akhlak. Dalam pasal ini kita akan menawarkan pandangan kita disepanjang mengemukakan indeks umum pandangan-pandangan yang tyerkait dengan persoalan ini.

Sebelum memulai, akan lebih tepat lagi mengurut latar belakang sejarah permaslahan, sehingga kita dapat sedikit mengenal letak-letaknya dalam karya-karya ulama islam, dan turut memahami keseriusan mereka menanggapi permasalahan ini.

LATAR BELAKANG

Sebagaimana yang telah diisyaratkan bahwa masalah korelasi agama dan akhlak seperti kebanyakan isu-isu falsafi dan moral lainnya, sejak awal periode pemikiran falsafi manusia, selalu dikaji dan dikaji oleh kalangan filsuf dan pemikir.hal ini tampak mencolok pada dialog Sokrates dan Athefronus, sesuai catatan Plato.[1] Sokrates bertanya, "apakah sesuatu itu baik karena tuhan memerintahkannya? Ataukah tuhan memerintahkan sesuatu itu karena ia baik? Dengan demikian, sokrates menelusuri permasaalahan dan terus bergulir sepanjang duapuluh lima abad di tengah perdebatan kaum filsuf, teolog dan agamawan. Sebagian mengiyakan penggalan pertama dari pertanyaan itu, sebagian lainnya mengiyakan penggalan kedua dan menekankan kemandirian/dikotomi total akhlak dari agama.

Sampai di ambang abad modern/renesains, kepercayaan umum pemikir-pemikir kristian menegaskan akselerasi/koherensi akhlak dan agama.[2] Kebanyakan ulama akhlak berusaha membetot hokum-hukum dan nilai-nilai moral dari kitab suci. Sepertinya, sulit untuk menisbahkan satu system moral yang utuh kepada Kristen. Segala apa yang ada di dalam kitab suci itu tidak lebida ri serangkaian nasihat dan anjuran moral yang tebingkai dalam "sepuluh titah" dan "nasihat di puncak gunung". A.McTyer mengatakan, "almasih dan St. Polis merumuskan seuatu moralitas untuk semester pendek dan terbatas , sebelum akhirnya Tuhan mendirikan kerajaan yang dijanjikan dan sejarah menutup catatannya di sana. Oleh krena itu, sulit mengharapkan adanya prinsip/satu asas hidup dalam suatu masyarakat di celah-celah sabda mereka.lain dari itu, almasih tidak bermaksud sama sekali mengembangkan undang-undang tersurat, ia hanya melakukan koreksi/revisi atas moralitas.[3]

Pada saat yang sama, tokoh-tokoh besar kristian sebelum renesains, khususnya Augustinus[4] dan Aquinus[5], selalu berupaya membangun prinsip-prinsip moral Kristen dengan mengandalkan kaidah-kaidah falsafi Platonik, Arestotelian, Neoplatonik dan Stoik.[6]

Hingga menjelang renesains, kristen yang merupakan agama yang resmi dan umum di bumi Eropa, pepegang kekuasaan penuh/total atas seluruh aspek kehidupan warga, mulai dari budaya, sosial, politik, moral sampai sains. Tetapi, setelah renesaians dan ambruknya otoritas gereja serta menyebarnya semangat anti agama dan mewabahnya semangat saintis, rasionalis dan sekular di tengah kehidupan, kecenderungan kepada Humanisme secara perlahan-lahan merebut habis posisi kecondongan pada Tuhan dan agama. Sehingga orang-orang seperti August Comte, kendati jaman agama sudah berlalu, menyajikan[7] "pemujaan kemanusiaan" untuk mengisi kekosongan spiritual dan kehampaan religius warga Eropa.

Jelas, tranformasi intelektual dan kultural pasca renesains melahirkan banyak haluan yang tidak sedikit saling berbenturan. Di dalamnya tdak terbentuk satu kesatuan yang utuh. Kenyataan ini terus berlanjut, sementara haluan pemikiran yang datang silih menentang di hampir semua bidang budaya dn falsafi terus d6eras mengalir. Ironisnya, karya-karya tulisan yang dialihbahasakan di negara-negara muslim umumnya mengarahkan pada satu haluan dan satu bentuk pemikiran yang khas yang lebih berkesan sekular dan ateistis. Satu hal yang bear-benar berbeda denagn apa yang terjadi di bumi asalnya.

Walhasil, dengan segala macam bentuk dan sikap anti agama dan anti moral, persoalan agama dan akhlak kembali diangkat sebagai sebagai isu penting dan gereget besar para filsuf modern. Bahkan, filsuf-filsuf ateis dan antiagamis, dengan suka rela melibatkan diri mereka dalam perdebatan, seprti Nietche (1844-1900), Marx (1818-1883), G.L. Mackie. Hal inilah yang menyemarakkan kembali persoalan di sepanjang abah rekhlir ini. Di dalamnya kita temukan banyak penelitian-penelitian agama dan moral dari filsuf-filsuf Barat.

Beralih ke dunia Islam, persoalan korelasi agama dan akhlak tidak begitu disoroti sebagai sebuah objek penelitian secara terpisah. faktor-faktor apa saja yang membedakan suasana kesemarakan ilmiah di dua belahan dunia ini? Perlu studi yang cukup untuk menuntaskannnya.

Yang pasti, jika kita hendak menilai sebab kekurangan penelitian dalam persoalan-persoalan semacam ini secara jujur dan optimis, kita camkan diri kita baaahwa di hegar-hegara muslim, berkat Islam dan ajaran-ajarannya, khususnya ahlulbayt, didirasakan besarnya keperluan untuk mengkaji persoalan ini. Bagi masyarakat-masyarakat agamis, permaslahan agama dan permaslahan akhlak sedemikan jelas, sehingga pertanyyaan "apakah posisi agama dalam akhlak/moralitas? Apakah posisi akhlak dalam agama? Apakah realsi di antara kduanya? Manakah yang otentik? tidak begitu penting dan membingungkan.

Kendati demikian, harus diakui bahwa kita sebagai umat islam tidak berupaya secara proporsional melakukan kajian dan penlitian serius atas persoalan-persealan semacam ini. Kami berharap dengan berkah revolusi Islam di Iran dan terangkatnya kembali topik-topik keislaman serta perhatian mayarakat duniakepada sumber-sumber oetntik Islam, bisa menempatkan persoalan ini dan semacamnya pada posisinya yang laik.[8]

Tanpa harus diacuhkan, bahaw ada sejumlah permaslahan yang mertalian dengan persoalan ini di dalam literatur Kalam dan Usul Fiqh. Misalnya, permaslahan Al-husn wa Qubhul fi'l, yang didiskusikan sejak bergulirnya pembahsan-pembahasan ketuhanan/keimanan di kalangan kaum muslim. Bahkan, sejak jaman Yunani kuno hingga kini menjadi topic pokok kajian di seputar persoalan korelasi agama dan akhlak. Tentunya, tujuan utama teolog-teolog muslim berbeda dari apa yang dicari filsif-filsuf Barat.

Sebagaimana yang telah lalu, kaum Adliyah yang meyakini perintah dan larangan Tuhan sebagai akibat dari kebaikan dan keburukan esensial tindakan, pada hakikatnya menekannkan sebuah corak/ independensi akhlak dari agama pada tataran realitas. Sebaliknya, kaum Asy'ariyah yang mengangkat perintah dan lanrangan Tuhans ebagai sebab baik dan buruknya tindakan, juga menegaskan kebergantungan akhlak pada agama pada tataran yang sama.

Begitu pula pada tataran perceptual, kebanyakan penganut Adliyah menganggap bahwa akal budi manusia –terlepas dari agama- mampu menguak kebaikan dan keburukan sebagian tindakan. Sementara Asy'ariyah pada tataran kedua ini berusaha meyakinkan kita bahwa tanpa arahan wahyu, akal budi sama sekali tidak akan bisa menyentuh kebaikan atau keburukan tindakan apapun.

Masuknya permaslahan teologi dan moral itu ke dalam Usul Fiqh pada beberapa decade terakhir ini mengembangkan penelitian secara lebih luas dan dalam serta menambah kekayaan ilmiah dan membuka dimension-dimensi baru permasalahan, dan tidak jarang mampu menjelsakan sejumlah kekaburan yang menyelubunginya. Kendati demikian, harus diterima bahwa permaslahan korelasi akhlak dan agama belum samapi pada titik yang memuaskan, dan masih mnemerlukan studi lebih serius dan teliti.

BEBERAPA PANDANGAN

Secara umum, ada beberapa pandangan yang bisa dirangkum kedalam tiga pandangan besar; dikotomi, unitas dan interaksi.

Sebagian filsuf menganggap bhawa ruang lingkup agama terpisah jauh dari ruang lingkup akhlak, tidak ada hubungan apoapun di antara keduanya. Ada pula pemikir-pemikir yang memandang organisme agama dan akhlak, dan bentuk hubungan di antara keduanya dalah unitas. Akhirnya, kelompok ketiga menyakini bahwa kendati agama dan akhlak mempunyai ruang lingkupnya masing-masing, namun ada imbal balik dan hubungan mempengaruhi dan dipengar uhi antara satu dengan lainnya.

Pada uraian selanjutnya, kita akan memperinci masing-masing pandangan, untuk kemudian menawarkan pandangan alternative kami.

  1. Dikotomi

Berdasarkan pandangan ini, agama dan akhlak adalah dua kategori yang berbeda mutlak/total. Masing mempunyai batasan, cakupan dan kawasan yang khas yang tidak bisa dijamah. Tidak ada hubungan logis di antara keduanya. Laksana dua lingkaran terpisah, tidak ada satu titik pertemuan di antara agama dan akhlak. Jika suatu saat ada semacam hubungan atau persinggungan satu permasalahan agama denagan akhlak, hubunagan tidak lebih dari aksiden dan kebetulan, tidak bersifat logis, persis dengan dua penumpang yang masing-masing bergerak dari asal yang berbeda ke tujuan yang berbeda pula, di tengah perjalanan keduanya saling bertemu secara kebetulan saja. Kertemuan kebetulan ini tidak berarti hubungan logis yang nekaknkan keniscayaan.[9]

Bagi penggagas pandangan ini, agama adalah perihal hubungan manusai dengan Tuhannya, semetar akhlak menjelaskan hubungan-hubunagan manusia dengan sesamanya. Oleh karena itu, agam dan akhlak dari aspek subjek tidak mempunyai titik kesamaan. Bahkan, sebagian melangkah lebih jauh dan memandang bahwa agama dan kepercayaan-kepercayaan religius adalah penghambat/kendala besar akhlak dan secara perlahan-lahan memberantas habis akhlak. Secara secara tidak tegas mereka mngatakan, "kebergantungan akhlak pada agama mungkin berakhir pada pembersihan akhlak".[10]



[1] Morality and Religion, in Philosophy of Religion: An Anthology, p.496-497. daureye atsar Aflaton 1/248-252

[2] jurnal Qobasat no.13, th 2000, p.31-32

[3] tarihkceh falsafeh akhlak, A.Mctyier, p.232.

[4] ibid, p.235

[5] ibid, p.236-239

[6] History of Westen ethics, Scott Davis, in Encyclopedia of Ethics 1/480-490

[7] Saire Hikmat dar Urupa 3/114-119

[8] din wa akhlak, Jurnal Qobasat, no.13, Th.2000, p.13

[9] Jurnal Qobasat, din wa akhlak, misbah yazdi, no.13, Th.2000, p.32

[10] Falsafeh din, John Haspers p.80

TANGGUNG JAWAB MORAL

TANGGUNG JAWAB MORAL

Tanggung jawab moral adalah salah satu konsep penting yang sejak dahulu menjadi perhatuian serius filsuf-filsuf moral. Dalam pasal ini, kita pun baerusaha mengisyaratkan sebagian dimensi persoalan dan berupaya menuntaskan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang terkait. Di antaranya adalah, apakah yang dimaksud dari tanggung jawab? Apakah tanggung jawab berarti keberhakkan/kepatutan disanjung atau dikutuk? Apakah tanggung jawab hanya berurusan dengan dampak langsung suatu tindakan, ataukah juga mencakup dampak-dampak yang tidak langsung dan tidak terduga/terkendali dan di luar pilihan?

(hal 122, baris 7)

danm tanggung jawab prospektif atas sesuatu yaitu suatu tugas atau kewajiban yang mengarah/dimaksudkan untuk menjamin realisasi sesuatu itu. Tatkala kita mengatakan, "Regu pemyelamat bertanggung jawab atas keselamatan perenang", umumnya menjelaskan tanggung jawab prospektif. Artinya, sesuatu yang ditanggungjawabkan oleh regu penyelamat berada dalam konteks futural. Demikian ini bebeda dengan kita mengatakan, "Regu penyelamat bertanggung jwab atas kematian perenang itu", yang biasanya menggambarkan tanggung jawab retrospektif, karena kematian si perenang itu adalah satu kasus yang telah terjadi, dimana regu penyelamat bertanggung jawab karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, tanggung jwab retrospektif bertalian dengan tindakan-tindakan yang dilakukan atau ditingggalkan seseorang. Sementara, tanggung jawab prospektif berurusan dengan tugas-tugas yang mesti dilakukan sesorang pada saat kemudian.

(hal 124, baris 7)

Syarat-Syarat Tanggung jawab Moral

penyelidikan syarat perlu dan syarat cukup pada tanggung jawab saelalu membuka lebar perdebatan di kalangan filsuf. Tidak jarang didulang banyak komentar di seputar upaya tersebut.

Secara umum, seseorang hanya akan dianggap secara moral bertanggung jawab atas suatu tindakan atau kasus bilamana pertama; mempunyai kemampuan untuk melakukannya, kedua; melakukannya dengan pengetahuan dan kesadaran, ketiga; secara bebas menghendaki dan memilihnya.[1]

Bisa dikatakan bhawa seluruh filsuf sepakat dengan tiga syarat di atas. Kalaupun terjadi perselisihan, demikian ini umumnya pada penafsiran dan pembatasan jangkauan syarat-syarat itu. Tentunya, hal ini tidak berartio bahwa merekas emua mengakui otentisitas ketiga sarat itu, lalu menekankan tanggung jawab m,oral manusia. Tetapi, sebagaimana yang akan kita simak, bagi pihak-pihak yang menekankan kepemilihan bebas sebagai syarat tanggung jawab moral menganggap bahwa manusia majbur (dipaksa) dalam melakukan sagala tindakannya, dan dengan demikian meraka menolak tanggung jawab moral. Berikut ini penjelasan tiga syarat tersebut secara terpisah.

  1. Kemampuan

Sekali lagi, kemampuan melakukan/meninggalkan kewajiban adalah syarat perlu pada tanggung jawab moral. Maka, jika tindakan yang diwajibkan di laur dari batas-batas kemampuan dan kesiapan manusiawi, sudah barang tentu tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab secara moral atas tindakan tersebut. Atas dasar ini, kita menyakini taklif bima la yuthoq qobih, bahwa memerintahkan/membebankan sesuatu yang tidak sanggup ditanggung adalah buruk. Dan, Tuhan, Dzat Yang Maha Bijaksana, tidak menuntut tindakan-tindakan yang di luar kemampuan hamba-hambanya. La yukallifullahu nafsan illa wus'aha.[2]

  1. Pengetahuan dan Kesadaran

Syarat perlu kedua pada tanggung jawab adalah bahwa manusia tahu akan sesuatu yang dibebankan atasnya, ia menyadari kewajiban/tugasnya terhadap sesuatu itu.[3] Maka, seseorang hanya dinyatakan bertanggung jawab atas suatu tindakan dan pantas disanjung atau dihujat secara moral karenanya, tatkala ia mampu melakukannya dan tahu akan nilai (benar dan salahnya) tindakan itu.[4]

Al-qor'an menegaskan, "sesungguhnya kami telah ciptakan manusai dari nutfah yang bercampur, untuk kemudian kami uji, maka Dario itu kami jadikan dia mendengar dan melihat".[5]

Selekas menjelaskan penciptaan manusia dari air mani yang bercampur, ayat ini menyuratkan tujuan dan hikmah dari penciptaan tersebut, yaitu ujian. Allah swt. Sedemikian rupa menciptakan manusia, sehinggga ia memiliki kecenderungan, kecondongan, keinginan dan hasrat yang bermacam-macam dan saling bertentangan. keberagaman dan pertentangan inilah yang membuka medan uji coba, tanggungjawab dan kepatuhannya. Ayat itu melanjutkan bahwa Allah memberikan kemampuan untuk tahu dan sadar, maka Dia ciptakan manusia sebagai makhluk yang mendengar dan melihat. Dalam kapassitas inilah manusia dapat mengenal tugas dan kewajibannya, dan dapat memilih satu di antara jalan-jalan yang saling berseberangan.

Jelas, tuhan tidak sekedar membekali manusia dengan perangkat pengetahuan biasa seperti akal dan indera, tetapi juga mencerdaskan dan menunjukkan jalan hidup yang lurus dengan menurunkan wahyu lewat rasul-rasulnya. Dengan cara inilah kerangka uji coba dan tanggungjawab itu menjadi lengkap, dan tidak ada satu celah pun yang mungkin dijadikan sebagai alasan atau uzur untuk mengelak.

Wal hasil, pengetahuan dan kesadaran akan kewajiban merupakan sebuah syarat perlu terbentuknya tanggung jawab. Dengan dalil ini pula, kita tidak pernah menilai secara moral tingkah laku anak-anak di bawah usia. Kalaupun kita m,emberikan sanjunagn atau ancaman terhadap mereka, itu lebih merupakan pendidikan atas mereka, tidak ada kaitannya dengan tanggung jawab moral. Seorang anak bebas memilih untuk memecahkan kaca rumah tetangga atau untuk tidak memecahkannya. Namun, jika ia menghendaki pilihan buruk dan melemparkan batu ke kaca lalu kita menegur dan memperingatkannya, sikap kita ini tidak lebih dari upaya memdidik, tidak dalam rangka mempertanyakan kehendaknya. Demiikian ini , karena anak itu tidak mempunyai pengetahuan dan kesadaran akan karakter moral tindakannya.

  1. Pilihan dan Kehendak yang Bebas

Syarat lain yang terlibat dalam pembentukan tanggung jawab adaalah pilihan dan kehendak yang bebas. Arestoteles mengatakan, "syarat tanggung jawab dan di ambang sanjungan dan hujatan adalah kehendak bebas".[6] Maka, setiap tindakan yang menjadi akibat pemaksaan, bukan tindakan sengaja dan pelakunya tidak bertanggung jawab atas tindakan tersebut sama sekali.[7]

Tindakan paksaan, menurut Arestoteles, adalah "tindakan yang factor/sebabnya di luar kendali kita, laksana perahu yang bergerak/berlayar karena adanya kekuatan selainnya, atau angin yang membawanya ke satu arah".[8]

Untuk lebih jelas syarat ini, perlu kita bawakan beberapa pengertian pilih/kehendak,[9] lalu kita paparkan maksud kita dari kehendak dan kepemilihan sebagai syarat perlu tanggung jwawb.

  1. Sebagai lawan dari idhtiror (keterdesakan); misalnya memakan daging manusia yang telah mati dengan kehendak penuhnya adaalah haram. Tetapi dalam kondisi keterdesakan, tindakan itu menjadi boleh. Artinya, dalam mkondisi-kondisi dimana menahan diri dari memakan daging mayat manusia dapat meyebabkan bahaya/kerugian yang serius/fatal pada dirinya.
  2. Sebagai lawan dari ikrah (keterpaksaan); suatu kondisi akan di sebut ikrah (keterpaksaan) tatkala sesorang diancam, dan ia melakukan perbuatan karena ancaman-ancaman eksternal. Sekiranya ia dalam kondisi normal dan bebas memilih, ia tidak siap melakukannya.
  3. Sebagai lawan dari jabr (kedipaksaan): dalam banyak kasus, kehendak digunakan secara umum dan luas dalam pengertian terakhir ini, yaitun bahwa pelaku melakukan tindakannya hanya berdasarkan hasrat dan keinginan dirinya, dan tidak ada faktor atau oknum lain yang menekan dirinya. Sebaliknya, tindakan determinatif/jabri yaitu tindakan yang terjadi tanpa ada peran pilihan dan kehendak manusia di dalammnya sedikitpun, tindakan itu terjadi sebagai akibat dari tekanan kekuatan internal atau eksternal.

Lalu, pengertian manakah yang dimaksudkan dari kehendak sebagai syarat perlu pada tanggung jawab di sini?

Sebagaimana yang telah lalu, bahwa seuatu yangb memnyebabkan bernilainya tindakan manusia, sehingga ia berada di ambang sanjungan dan hujatan adalah bahwa ia memilih tindakan-tuindakannya dari sekian banyak alternative. Tuhan menciptakan manusia dengan menanamkan berbagai kecenderungan yang tidak jarang saling bertentangan, masing-masing menarik manusai ke arah yang berlawanan. Tetapi, tidak berarti bahwa dimana ada tarikan yang lebih kuat, akan menentukan tindakan manusia, dan ia tertarik olehnya secara tidak memilih dan tidak menghendaki.



[1] Ma'ariful Qur'an, Misbah Yazdi p.394-395

[2] Al-Baqoroh 282

[3] Ma'ariful Qur'an, Miasbah Yazdi p.394

[4] Responsibility, by M.J.Zimmerman, in Encyclopedia of Ethics, 2/1093

[5] Al-dahr/2

[6] History of Philosophy, F.Copleston 1/386

[7] falsafah Akhlak, W.Frankena, 158. Arestoteles, David Russ, 301-303

[8] Nicomachucian Ethica 1/60

[9] MA'ariful Qur'an, 375-377

NILAI MORAL

NILAI MORAL

Hal pertama yang perlu diingat di sini adalah bahwa istilah nilai moral dan konsep-konsep evaluatif yang digunakan dalam literature-literatur akhlak, sedikitnya, mempunyai dua fungsi yang berbeda. Di celah-celah pembahasan yang lalu, kita cukup mengenal satu dari istilah-istilah tersebut., yaitu pembagian predikat statemen-statemen moral kepada konsep obligatif dan konsep evaluatif. Yang dimaksudkan dari konsep evaluatif dalam istilah ini adalah sekumpulan konsep moral yang mengandung muatan nilai dan keutamaan seperti konsep; baik, buruk, benar, salah. Adapun konsep obligatif yaitu konsep yang membawa muatan tuntutan dan pembebanan seperti konsep; harus dan jangan.

Tetapi, adakalanya kata nilai dimaksudkan dengan arti yang lebih luas dan lebih umum, yang mencakup seluruh konsep-konsep moral, baik yang berupa obligatif maupun evaluatif. Jadi, konsep-konsep moral dalam istilah di sini identik dengan konsep-konsep moral yang sebagai sebagai lawan dari konsep-konsep nonmoral.

Perlu ditekankan bahwa kata nilai dalam istilah kedua ini tidak hanya mengandung muatan positif dan menunjuk tindakan-tindakan yang patut, tetapi juga mencakup niali-nilai negatif, yaitu tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya.

Dalam pembahasan sekarang ini, yang kita maksudkan dari konsep-konsep evaluatif dan nilai mral adalah istilah kedua. Dalam pada itu, kita akan merusaha mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan berikut ini, dalam kondisi apakah dan dari persepktif apakah satu tindakan itu kita nyatakan bernilai moral? Dengan kata lain , apakah yang kita maksudkan tatlaka kita nyatakan bahwa ada sebagian tindakan yang mempunyai nilai moral dan ada pula sebagian lainnya yang tidak bernilai moral? Pada dasarnya, dari manakah menusia menemukan nilai-nilai moral tindakannya? Apakah criteria/standar tindakan yang bernilai moral itu?

Pentingnya Studi Nilai Moral

Pembahasan nilai dan mengenal esensinya merupakan salah satu permaslahan yang sejak dahulu menyedot banyak perhatian para filsuf moral. Semua berusaha sedemikian rupa, untuk menemukan satu standar penilaian moral. Tidak syak lagi, kita mengetahui secara yakin akan sejumlah tindakan yang bernilai moral, dan kita menyanjung atau mengutuk pelakunya. Kita juga mengetahui adanya sebagian tindakan yang nirnilai moral, sehingga kita tidak memberikan penilaian apapun berkaitan dengannya.

Namun, permasalahannya adalah apakah perbedaan dinatara dua bentuk perbuatan itu? Adakah sesuatu yang menyebabkan satu perbuatan itu mengandung dimensi kekuduasan dan transendenta, hal yang tidak kita temukan pada serangkaian tindakan lainnya? Dan pertanyaan lainnya yang mengundang berbagai pendapat dalam menentukan standar dan norma nilai moral dan menjelaskan esensinya.

Perlu divcatat di sini bahwa pentingnya persoalan nilai moral tidak hanya menonjol dalam Filsasafat Akhl;ak, tetapi juga mendapatkkan porsinya yang cukup besar dalam semua bidang sosial dan Humaniora. Dalamm berbagai disiplin ilmu seperti Psikologi, Sosiologi, Politik, Ekonomi, dari berbagai aspek dan dimensi. Mereka membahas persoalan nilai secara luas dan mendalam termasuk isu-isu marginal yang menyertainya. Salah satu peneliti di Barat menemukan hampir 140 definisi nilai dari berbagai disipilin ilmu, se5telah menelaah sekitar 4000 karya.[1]

Nilai Ekonomis

Kendati analisis-analisis linguistik byukan metode yang tepat dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan falsafi dan rasional, namun penggunaan nonmoral kata nilai dapat memudahkan kita dalam memahami esensi dan kriteria nilai moral.

Menurut hemat kami, ada satu unsur kesatuan di dalam semua definisi-derfinisi yang pernah dibawakan berkaitan dengan nilai di berbagai ilmu pengetahuan, yaitu ke-penting-an dan kebermanfaatan. Tanpa harus menelusuri unsur ini di setiap bisang ilmu, kita pusatkan penelitian kita pada nilai dalam Ekomoni.

Pembahasan nilai dan standar pematokan nilai suatu barang telah menjadi sorotan para ahli ekonomi. Masing-masing mengemukakan pandangannya. Sebagain membatasi nilai suatu barang dengan kadar pekerjaan atas barang tersebut. Ada lagi yang menekankan segi kelangkaan dalam definisi nilai. Adapula kelompok ketiga yang menegaskan unsur permintaan dan penawaran sebagai standar pematokan nilai batrang. Sementara kelompok keempat menunjuk unsur ke-penting-an dan kebermanfaatan.[2]



[1] Jurnal Qobasat, no.13, Th.2000, P.114

[2] tarikh aqo’ide iqtishadi, Luwis Boudian, p.86-89, terj. parsi