Selasa, 08 Maret 2011

Akal

Akal

Misbahudin

Ketika kontroversi masalah fatwa haram bunga bank oleh MUI ‘kembali’ terjadi, seorang pendengar mengungkapkan, “Masa sebagai seorang yang beragama Islam yang percaya bahwa Al Quran sebagai kitab sucinya, masih ada pihak-pihak yang menolak pendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba, itu jelas-jelas haram menurut Al-Quran. akalnya ditaruh di mana sih?”.

Ungkapan tersebut, bisa jadi merupakan sebuah bentuk keheranan, ketidakpercayaan, atau kekesalan masyarakat terhadap suatu fenomena.Ada satu kata yang menarik dari kedua ungkapan tadi, yaitu kata akal. Apa yang menyebabkan sesuatu tidak masuk akal? Makhluk apa pula yang bernama akal itu sehingga bisa ditaruh-taruh dan dimasuki sesuatu?

Definisi Akal

Dalam Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang mencantumkan kata yatafakkaruun diujungnya. Kebanyakan menyuruh atau memperingatkan manusia untuk berpikir, merenung atau bertafakkur.

Secara istilah akal (aql) berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengetahui, membedakan baik dan buruknya sesuatu sehingga manusia mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Akal akan selalu menuntun manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan. Akal menjadi ciri kemanusiaan seseorang yang membedakannya dari binatang. Akal membuat manusia mampu menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Dengan akalnya pula sebagai salah satu sumber pengetahuan yang terdapat dalam dirinya manusia menemukan Tuhan.

Imam Ali, dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan bahwa akal adalah kekayaan manusia yang utama. Harta manusia yang paling berharga. Sementara kemiskinan manusia yang paling utama adalah kebodohan manusia itu sendiri. Akal dikatakan sebagai sesuatu yang berfungsi untuk mengendalikan, meredam, dan menolak serta menyingkirkan dorongan dan hasutan jahat hawa nafsu dalam hati manusia.

Akal dan Agama

Dari pengertian tersebut tadi jelaslah bahwa akal akan selalu menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhannya. Akal akan cenderung untuk selalu menyembah kepada pemiliknya, suatu dzat maha sempurna yang menjadi tempatnya bergantung. Orang yang memaksimalkan fungsi akalnya tentu saja akan semakin kuat keberagamaannya. Karena apa yang diinginkan akal juga sesuai dengan apa yang diajarkan agama melalui Rasul dan kitab sucinya. Akal dan Agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.

Allah swt dalam surat al-Rum ayat 30 berfirman : “...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”.

Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Syariat agama merupakan faktor eksternal (akal luar) yang menyuruh manusia untuk menyembah Tuhan dan Akal adalah faktor internal (dalam diri) manusia yang menuntunnya untuk menyembah Tuhan. Yang membedakan hanyalah faktor dari mana berasalnya saja, internal dan eksternal.

Lalu bagaimana dengan permasalahan banyaknya para ilmuwan (saintis) sekuler yang mengaku tidak beragama, padahal mereka adalah orang-orang pintar yang telah memaksimalkan fungsi akalnya? Tidakkah ini bertentangan (kontradiktif) jika di awal dikatakan bahwa akal dan agama itu mempunyai kesamaan visi dan tujuan? Mengapa pula kebanyakan dari mereka yang berasal dari dunia belahan barat itu yang lebih maju peradabannya tanpa agama? Bukankah peradaban itu merupakan hasil olah pikir akal manusia? Mengapa di dunia belahan timur yang mengaku beragama masyarakatnya justru tertinggal? Adakah yang salah antara hubungan akal dan agama yang berdasarkan pengertian awal bahwa keduanya adalah ibarat dua sisi mata uang?. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang akan dan harus dimunculkan jika masalah hubungan antara akal dan agama ini dibahas.

Beberapa alternatif jawaban bisa diberikan berkenaan dengan masalah tersebut. Logika apa yang terjadi dalam hubungan antara akal dan agama yang sesuai menurut teori tapi pada praktek (kenyataan)nya bertentangan dengan apa yang terjadi di sekitar kita saat ini.

Pertama, ada agama yang mematikan pertanyaan akal (membunuh akal). Sehingga tidak mampu menghasilkan masyarakat yang tinggi tingkat intelektual sekaligus spiritualnya.

Kedua, ada agama yang memberikan peran kepada akal, tapi tidak dikenal atau belum dipelajari oleh ilmuwan (saintis) atau masyarakat yang mengaku tidak memeluk agama tersebut. Hal tersebut terjadi karena kebelumtahuan, keengganan, atau kemalasan saja untuk mempelajari pengetahuan agama. Dengan kata lain, di antara sekian banyak ajaran agama yang ada, terdapat agama yang ajarannya rasional/masuk akal. (Lihat syarat-syarat agama yang benar pada edisi jumat yang lalu dari buletin ini-pen)

Ketiga, harus dibedakan antara agama dan tafsiran terhadap agama. Sebagai contoh, bisa jadi tafsiran sebagian orang Islam terhadap Islam salah. Sementara Islam sendiri tetaplah sebuah ajaran agama yang lurus/haq. Kesalahan penafsiran ini menjadikan masyarakat Islam mengalami kemunduran.

Jika ajaran Islam menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya maka sebagian umat Islam saat ini ternyata masih mengunci mati, membunuh atau belum mengoptimalkan akal nya .

Keempat, kenyataan saat ini yang terjadi adalah masih banyaknya manusia (baik yang mengaku beragama ataupun yang tidak) belum mampu menggunakan akalnya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dorongan hawa nafsu dapat menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan kehidupan baik alam maupun sosial.

Hawa nafsu ingin berkuasa yang berlebihan menjadikan seseorang menindas manusia yang lain. Hawa nafsu terhadap kekayaan yang berlebihan menjadikan seseorang mengeksploitasi alam dan sesama manusia secara tidak adil. Sementara hawa nafsu syahwat yang berlebihan menjadikan orang kalap sehingga melupakan tata cara dan etika yang benar dalam melakukan kehidupan seksualnya.

Dari alternatif jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui bahwa manusia yang menemukan agama yang rasional serta mampu mengendalikan hawa nafsunya melalui akal akan mampu membangun masyarakat berperadaban tinggi, berkeadilan, yang ditopang oleh sains dan teknologi yang maju tapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai agama (religius).

Peran akal

Permasalahan selanjutnya ketika masalah hubungan akal dan agama sudah terjawab adalah bagaimana sebenarnya peran akal itu?

Peran penting akal tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian (dalam Hawa Nafsu, karya Muhamad Mahdi al Ashify, 72)

1.Mengenal Allah swt. sebagai pangkal dan titik tolak tugas akal.

2.Ketaatan mutlak kepada segala perintah Allah swt

3.Ketakwaan kepada Allah swt, yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah, yang berupa melaksanakan kewajiban dan menjauhi laranganNya.

Berdasarkan hadits, Rasulullah saww bersabda: “akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa menyandangnya maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, maka dia tidak berakal.

1. Mengenal Allah swt secara benar

2. Ketaatan yang mutlak kepada Allah swt

3. Kesabaran yang mendalam untuk menjalankan perintah-Nya” (Biharul Anwar 1 : 106)

Penutup

Setelah mengetahui hubungan mengenai akal dan agama serta peran akal yang benar, maka dapat disimpulkan bahwa sumber pengetahuan dalam diri manusia berupa akal adalah alat maha penting yang harus benar-benar dioptimalkan agar manusia dapat mengenal Tuhannya.

Munculnya keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada yang maha sempurna merupakan tanda-tanda telah difungsikannya akal seorang manusia. Akankah kita terus mengikuti godaan gejolak hawa nafsu yang buruk, menutup peran akal yang merupakan pengendalinya dan terus-menerus enggan mengenal dzat yang menciptakan kita melalui pengetahuan agama yang sejalan dengan akal?.

Wallahu a’lam bisshawab

Tulisan ini diterbitkan di buletin jumat nurul falah

Masjid nurul falah, gerlong girang Bandung

Tidak ada komentar: