Selasa, 08 Maret 2011

POSMODERNISME

POSMODERNISME

Andihakim03@yahoo.com


Postmodernisme, adalah istilah yang kerap muncul dalam wacana studi-studi sosial budaya belakangan ini. Istilah ini diperkirakan muncul dalam terminologi yang berkaitan dengan arsitektur sebagai sebuah proyek budaya. Kata posmodernisme adalah kata jadian dari modernisme, dimana penambahan -post- bermakna setelah, atau pasca. Pasca yang dimaksud adalah penolakan terhadap ide-ide geometris Euclidean yang kaku, terstruktur, dan penuh perhitungan dalam karya-karya bangunan era modern. Arsitektur posmodernisme menurut Rieff adalah arsitektur yang membebaskan orang dari setiap aturan-aturan baku, arsitektur yang menurutnya berbasiskan pada psiko-analisis Freud, arsitektur libido, arsitektur pelepasan hasrat.

Semangat gerakan merombak (dekonstruksi) aturan baku dalam dunia arsitektur ini yang dikemudian menggagas perkembangan gerakan anti-struktur (pasca- strukturalisme) dalam segala bidang seperti ekonomi, bahasa, sosial budaya, komunikasi dll. Gagasan posmodernisme yang diadopsi adalah kritik atas konsep-konsep konservantif yang melingkupi fisikal-mental kehidupan manusia, bahwa modernisme telah menjebak manusia ke dalam tiga fiksi besar ; representasi, reason, history. Fiksi yang lahir dari ketakutan dan kebutaan manusia untuk membedakan antara keharusan kebenaran (define truth) dengan mitos-mitos dan norma-norma yang dikembangkan masyarakat. Manusia terjebak dalam kebebasan dan aturan sosial yang menghegemoni. Ketabuan dan pamali (taboo) yang menyebabkan manusia cukup bangga dalam wilayah-wilayah reproduksi mental, atau konsep representasi pada masa lampau, kegiatan yang menjadikan manusia girang dengan kekakuan-kekakuan aturan yang melingkupi diri mereka.

Representasi dan Reason

Dimulai dari kritik mengenai fiksi representasi, penggagas postmodernisme mencoba menerangkan bahwa makna representasi (penghadiran kembali) yang didengungkan dalam masyarakat untuk memunculkan ide-ide spiritualitas, sains, atau apapun di setiap kegiatan manusia dalam ruang hidup, sebenarnya hanya reproduksi mental biasa dan tak memiliki makna apa-apa. Kegiatan seperti upacara bendera, maulud, natal, sebenarnya hanyalah kegiatan yang biasa dikerjakan oleh orang-orang di masa lampau, tanpa ada makna bahwa itu semua ditujukan sebagai representasi atau menunjukkan kecintaan pada bangsa, ideologi, nabi, atau Tuhan.

Istilah representasi ini oleh Peter Eisenman, dalam arsitektur diterangkan menjadi sesuatu yang kemudian berkembang menjadi konsep decoding, bahwa sebenarnya tidak pernah ada perbedaan antara konsep representasi dengan realitas. Apa yang dilakukan manusia hanyalah menafsirkan kode-kode masa silam dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial namun diasosiasikan kepada banyak hal. Dalam hal ini bisa agama, ideologi, sains, norma, atau aturan-aturan baku. Pada kenyataannya apa yang dilakukan oleh manusia hanyalah representasi, dan representasi atas realitasnya. Seperti pembabtisan dalam agama kristen, bukanlah kegiatan pembabtisan yang sebenarnya melainkan hanya representasi dari kegiatan pembabtisan yang dilakukan oleh Yesus terhadap murid-muridnya.

Konsekuensinya dari pendapat ini adalah batalnya segala bentuk pembenaran (reason) atas konsep yang dibangun, sebab pada kenyataannya tindakan manusia hanyalah resepresentasi dari simulasi-simulasi yang hadir melalui simbol-simbol. Semisal konsep baju koko, kopiah hanyalah simulasi yang mengatasnamakan kesucian kitab suci (scriptum), aliran modernisme dan positivisme hanyalah ideologi yang seledar simulasi dari ilmu pengetahuan (science). Apa yang ditampilkan sebenarnya bukanlah inti dari kesucian melainkan makna permukaan (face-value)[1]. Istilah yang dalam termin filsafat dikenal sebagai bentuk-bentuk imanen, alias bentuk realitas yang tak membutuhkan pondasi kebenaran apapun, kondisi bebas hasrat, tak memerlukan satu konsep autentik, dan tak perlu ada pembenaran orisinalitas. Dalam pandangan ini sebenarnya tak pernah dan perlu ada klaim pembenaran (reason), dan pemaksaan (hegemoni), serta tingkatan kesucian (hirarki) dalam setiap tindakan manusia.

Lebih jauh konsekuensinya adalah, bahwa segala sesuatu itu memiliki perbedaan yang sama dan setara, dan setiap sesuatu memiliki kebenaran argumennya masing-masing. Sebab sebagaimana maklum setiap sesuatu telah menjadi bukti atas dirinya sendiri (self-evident), sehingga setiap pendapat dapat dibenarkan dan relatif. Jika setiap sesuatu memiliki keswabuktian maka jelas bahwa tindakan manusia tidak akan pernah berhenti pada kurun sejarah tertentu dan pengertian tertentu. Di sinilah lahir makna difference (pembeda) dalam posmodernisme menjadi penunda (differ), setiap hasrat tindakan manusia adalah benar pada kondisi tertentu. Setiap kurun waktu hanya melahirkan makna-makna yang tertunda dan bukan menjadi penanda dirinya dalam ruang simulasi hasrat yang pada hakekatnya memang tak pernah memiliki batas.

Makna ter-Tunda

Merujuk kepada Baudrillard posmodernis mencoba memetakan pemikiran fiksinya sebagai satu pelampiasan hasrat yang tak berhenti pada satu titik. Ruang simulasi hasrat dimana manusia mampu menciptakan kondisi adaptatif terhadap keadaan apapun. Keinginan yang tak berbatas tadi secara langsung menciptakan percepatan yang berbanding lurus dengan hasrat. Menimbulkan chaos, sebab ruang simulasi tadi hanya bersifat kesementaraan, karena ia memiliki kemampuan bereproduksi secara liar[2]. Sehingga manusia senantiasa dikondisikan untuk melihat pada masa kini (present) sebagai sebuah temporalitas, dengan harapan besok akan ada perbedaan (difference), dalam posisi tunda (delay) inilah sebenarnya harapan (hope) tadi berubah menjadi kegelisahan (chaos). Namun kegelisahan tadi merupakan posisi krusial dan kritis untuk terus bergerak, menjajaki kemungkinan-kemungkinan (probabily of promises), menjadi semacam semangat zaman.

Dimana probabilitas ini tidak merujuk pada masa lalu, atau kaidah-kaidah baku, atau representasi sebelumnya, sebab apapun dimungkinkan pada posisi krusial seperti orang yang akan tenggelam yang mencoba meraih apapun yang ada didekatnya. Posmodernisms yang sebenarnya adalah yang memiliki makna seperti ini, yang menjadikan ke-absensi-an makna dalam waktu tunda tadi sebagai struktur ideologinya.

Posmodernisme dan Kebosanan baru

Kepanikan dari kekuasaan diri sendiri untuk berkehendak dan hasrat dalam ruang simulacra tadi, melahirkan heterogenitas, multiplisitas, keragaman bentuk-bentuk (polymorphous), ketidak-berhinggaan, ketidakberbatasan yang kesemuanya melahirkan produk yang akan terperangkap dalam keseketikaan (nir-waktu) dalam bentuk keusangan-keusangan baru (new-obelescent). Sebab kegelisahan dan panik/chaos hasrat tadi menciptakan simulasi keinginan yang datang-pergi dalam kecepatan tinggi. Sehingga makna dari post-modernisme sendiri adalah ketiadaannya waktu jeda dan interupsi, dengan kata lain tidak akan sempat ada intervensi order dan sakramen suci dalam tindakan manusia ini.

Mengutip wacana tubuh dari Foucault tentang teori, kekuasaan atas tubuh, dan kekuasaan yang memancar dari tubuh berupa kehendak dan hasrat[3]. Orisinalitas kemampuan ini melahirkan struktur ketidakhadiran dalam teks, keterbebasan makna, dan kelihaian arbitrasi dengan apapun dan kapanpun, dengan menjadikan posmodernise sebuah wacana yang independen[4].

Dalam ke-absensi-an dari orde dan order inilah maka semua konsep mengalir terus ke dalam poros promiskuitas (promiscuity), yaitu medan prinsip yang membolehkan kaidah apa saja tanpa batas. Sehingga perubahan dalam pandangan posmodernisme adalah semangat dari untuk mendekonstruksi setiap bentuk kemapanan apapun. Melahirkan semangat yang tidak mengharus-kan seseorang berpikir bahwa tindakannya perlu kepada alasan-alasan (reasons), sejarah (histories), acuan moral (references) serta butuh argumentasi kebenaran (representation of truth) apapun sebagaimana teori konservatif. Post-modernisme berpijak pada kemampuan manusia untuk membedakan makna mengetahui dengan “mengimani”, sebab kontek mengetahui jauh lebih berarti ketimbang sekedar mengimani masa silam dan “meng-amini” yang telah ada.

Dalam kondisi demikian manusia akan selalu menjaga makna krusial dalam semangat untuk terus bergerak dalam memenuhi motivasi hasrat tadi, inilah yang disebut sebagai permulaan motivasi (beginning). Di sisi lain kebergerakan dalam kondisi tidak stabil tadi memustahilkan akan adanya keberhentian (the end) maka inilah yang disebutnya sebagai keberakhiran segala permulaan (the ends of the beginning). Dengan cara yang sama maka makna yang terbangun tentang akhir dari permulaan ini adalah bahwa pikiran manusia tidak perlu memiliki permulaan atau akhir, landasan atau tujuan, manusia senantiasa dalam kondisi gerak dan berubah.

Posmodernisme dan budaya massa

Meskipun pada awalnya kajian posmodernisme banyak menggunakan terminologi tentang ruang representasi simulatif (simulacra) untuk menunjukkan ketakberbatasannya hasrat manusia, tetapi tidak dapat disangkal pada akhirnya terminologi post-modernisme sendiri kemudian terjatuh pada kontradiksi budaya dan kerancuan identitas hasrat itu sendiri. Ketika post-modernisme malah menjadi budaya pemicu pemerdekaan hasrat (the liberation of desire) yang tak terkendalikan lagi oleh kaidah yang dicanangkannya sendiri. Apa yang diketengahkan sebagai hasrat adalah apapun yang dapat menggugah selera manusia terhadap kesenangan (pleasure), termasuk di dalamnya hasrat untuk menyakiti, memusnahkan.

Euporia kebebasan yang berganti-ganti dengan kecepatan tinggi menjadikan kegelisahan dan kepanikan dalam masyarakat posmodern, sebab demikian kuatnya tarikkan konsumerisasi ideologi oleh sedotan mainstream kapitalisme-lanjut, membuat setiap produk kebudayaan terjebak ke dalam pola-pola trendi. Melahirkan kebosanan-kebosanan konsumtif, dimana masyarakat dihadapkan dalam pilihan untuk terus mengikuti perkembangan mode dan melahirkan perilaku konsumtif. Apabila ditilik lebih jauh, kepanikan ini akan berujung kepada pemuasaan belanja dan konsumsi kesenangan, baik itu bertema hiburan maupun keagamaan.

Bentuk-bentuk pencarian kesenangan tadi bergerak pada kondisi dilematis, dimana seseorang dipaksa mensimulasi kesenangannya massif melalui media massa dengan tontonan kebodohan (stupidity) dengan cara menertawakan lawakan yang mengeksploitasi kebodohan, hiburan kesalahan (false) ala sinetron, penderitaan (pain) orang yang dikerjai, kemalangan (poorness) copet yang dipukuli massa, kengerian (thillerness) film horor atau tayangan hantu, dan kesakitan (masochism) dalam bentuk diet, baju ketat, sepatu hak tinggi dll.

Tema-tema simulasi diri inilah yang kemudian dikembangkan oleh banyak pengamat kebudayaan posmodernisme dengan istilah realitas lampau yang melampaui (hyperreality). Sehingga ketika Jean Baudrillard mengkritik simulasi yang berlebihan dalam budaya baru ini, ia menulis ; “post-modernisme sebenarnya tidaklah pernah membuang ajaran moralitas lama, ia memakainya, akan tetapi dengan cara-cara yang menyimpang [5].



[1] Peter Eisenman, The End of The Classical, dalam Theorizing A New Agenda for Achitecture Princeton Architectural Press. ed,.Kate Nesbitt. hlm, 213.

[2] Yasraf A.Piliang, Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern., Journal Al Huda, hlm.66.

[3] Michael Foucault, The History of Sexuality : And Introduction, Penguin Books, 1978.

[4] Peter Eisenman, The End of The Classical, dalam Theorizing A New Agenda for Achitecture Princeton Architectural Press. ed,.Kate Nesbitt. hlm, 219.

[5] Jean Baudrillard, Fatal Stategy,Pluto Press, 1990.

Tidak ada komentar: