Selasa, 08 Maret 2011

ESENSI KONSEP-KONSEP MORAL (1)

ESENSI KONSEP-KONSEP MORAL (1)

Apakah esensi konsep-konsep yang digunakan dalan statemen-statemen moral? Bagaimana mental manusia menemukan konsep-konep itu? Apakah ia berupa konsep universal esensial ataukah konsep universal falsafi? apakah ia seperti universalia yang merupakan atribut untuk konsep-konsep yang ada dalam mental, ataukah seperti konsep sebab yang merupakan atribut untuk entitas-entitas objektif di luar? Benarkah konsep-konsep akhlak itu tidak berkaitan sama sekali dengan realitas objektif, tetapi hanya mengungkapkan emosi dan perasaaan subjektif sesorang atau satu bentuk respon terhadap suatu kasus?

PEMBAGIAN KONSEP UNIVERSAL

Sebelum membahas persolan-persoalan di atas, kita perlu mencermati macam-macaam konsep universal berikut ciri-ciri khasnya, sehingga menjadi jelas apakah esensi konsep-konsep akhlak itu, apakah ia masuk dalam pembagian konsep universal, atau macam khas yang berbeda dari konsep universal dalam pembagian tersebut.

Konsep-konsep universal dapat dibagi kepada tiga macam: satu, konsep esensial seperti manusia, putih. Dua, konsep falsafi seperti kausalitas, satu. Tiga, konsep logis seperti universalia dan partikularia. Pembagian ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh kaum filsuf muslim, sebagai konstribusi yang besar dalam pengunaan masing-masing konsep secara proporsional dan dalam menghindari fallacy dan keraancuan berfikir. di sini kitya akan menjelaskan ketiga konsep tesebut secara singkat.[1]

1. Konsep Esensial

yaitu konsep-konsep universal yanag diabstraksi akal setelah menagkap konsep-konsep partikular. Artinya, akal manusia secara otomatis mnengabstraksi konsep universal esensial dari beberapaa pengetahuan partikular yang didapatkannya dari indera atau intuisi. Dari satu sisi, Konsep esensial merupakan segi kesamaan sekelompok pengetahuan partikular, dan dari sisi lain, konsep ini terlepas/bebas dari ciri-ciri khusus setiap pengetahuan partikular tersebut. Oleh karena itu, konsep esensial mempunyai person-person dan bisa ditetapkan pada mereka semua. Konsep esensial menjelaskan keapaan atau esesnsi (batas-batas eksistensial) realitas objektif. Mereka tak ubahnya wadah kosong entitas-entitas. Oleh karena itu, mereka disebut juga dengan wadah-wadah konseptual (qoqalib mafhumiyah). Konsep-konsep esesnsial adalah konsep-konsep yang paling akrab dan biasa digunakan dalam kehidupan dan percakapan umum. konsep-konsep seperti manusia, binatang, tumbuhan dan semacamnya, diperoleh setelah melakukan kontak dengan bererapa entitas. Atau putih yang diperoleh stelah mempersepsi satu atau lebih entitas yang berwarna putih, atau konsep takut yang ditangkap akal setelah timbulnya satu atau lebih rasa takut dalam diri.

Perlu ditegaskan bahwa ada sebagian konsep esensial yang tidak diperoleh dan diabstraksi akal dari pengetahuan-pengetahuan inderawi, akal mengabstraksikannya dari pengetahuan-pengetahuan intuitif dan presentif, seperti konsep jiwa dan konsep-konsep universal yang diabstraksi dari kondisi-kondisi sikologis dan daya-daya spiritual.[2] Atas dasar ini, diktum yang berbunyi “Sesuatu itu akan ditangkap akal setelah lebih dahulu dicerap indera” benar-benar valid jika yang dimaksudkan dari indera disini adalah indera eksoterik (dzahir) dan indera esoterik (batin).

2. Konsep Logis

Yaitu konsep universal yang hanya menjelaskna cri-ciri khas konsep-konsep di mental. Konsep ini tidak berlaku dan tidak bisa dipredikasikan pada entitas-entisa di luar. Oleh karena ini, konsep logis tidak berurusan sama sekali dengan segala realiatas objektif.

Adapun proses kemunculan konsep logis adalah pertama-tama mental menagkap konsep-konsep esensial, lalu ia mengamati konsep-konsep esensial tersebut, dari pengamatan itu ia menemukan atribut-atribut/cirri-ciri khas yang menyertai konsep-konsep esensial. Atribut-atribut itulah yang kita sebut dengan konsep-konsep logis di sini. Maka, konsep-konsep logis hanya berlaku pada konsep-konsep yang ada pada mental. Misalnya, universal sebagai sebuah konsep logis yang hanya bisa diterapkan/dipredikasikan pada manusia sebagai konsep esensial yang ada pada mental. Konsep universal tidak bisa diterapkan/diafirmasikan pada manusia yang ada di luar, karena manusia sebagai realitas objektif diluar adalah parsial dan personal, tidak universal.

Singkatnya, karakter/ ciri dasar konsep-konsep logis adalah keberlakuannya hanya pada konsep-konsep di mental. Seluruh konsep yang digunakan dalam ilmu logika (mantik) seperti persepsi (tasawwur), asensi (tasdiq), proposisi, silogisme, induksi, deduksi, universalia, parsialia adalah konsep-konsep logis. Dalam terminologi falsafi Islam, konsep logis disebut juga dengan ma’qul stani mantiqi.

3. Konsep Falsafi

Yaitu konsep universal yang diperoleh manusia lewat pengamatan akal atas beberapa hal dan mengkomparasikan mereka. Umumnya, konsep-konsep falsafi ini menjelaskan hubungan-hubungan di antara entitas-entitas di luar dan ciri-ciri khas eksistensialnya. Kendati tidak ada terapannya/ekstensinya di luar, konsep-konsep falsafi merupakan kualitas atau atribut untuk realitas-realitas objektif, seperti konsep sebab dan konsep akibat yang diperoleh setelah akal melakukan komparasi antara dua entitas, lalu mengamati relasi di antara mereka. Misalnya, akal mengkomparasikan api dengan panasnya, lalu mengamati relasi di antara keduanya, yaitu relasi ketergantungan realitas panas kepada realitas api. Dalam pengamatan ini, akal menangkap konsep sebab dari api dan konsep akibat dari panas. Sekiranya pengamatan dan komparasi demikian itu tidak dilakukan akal, manusia tidak akan dapat menemukan kedua konsep falsafi itu. seribu kali kita melihat api dan menyentuh panasnya, tanpa disertai komparasi dan pengamatan rasional atas relasi keduanya, niscaya sebab dan akobat, sebagai dua konsep falsafi, tidak akan muncul dalam layar mental kita.

Jelas bahwa sebab bukanlah api sebagai substansi yang konkret di luar. Dan, akibat juga bukan panas sebagai aksiden panas yang objektif di luar. Sebab dan akibat tidak mempunyai objektifitas di alam luar. Kendati demikian, realitas objektif api di luar itu benar-benar tersifati oleh konsep sebab, sebagaimana realitas panas di luar itu juga tersifati oleh konsep akibat.

Konsep-konsep falsafi seperti, satu, banyak, mungkin, niscaya, mustahil, potensi, akan mudah ditemukan dalam studi-studi filosofis. Konsep falsafi biasa disebut juga dengan ma’qul stani falsafi.

Ciri dasar konsep gfalsafi adalah menjelaskan karakter dan segi eksistensial entitas-entitas dan diperoleh lewat komparasi akal dan pencermatannya atas dua sesuatu atau lebih. Dari sisi keberadaannya yang hanya di mental, konsep falsafi ini mirip dengan konsep logis, namun dari sisi keberlakuannya pada realitas-realiatas konkret di luar, konsep ini mirip konsep esensial. Dua sisi kemiripan inilah yang membuat konsep falsafi seringkali disalahfahami dan disalahgunakan. Karena itu, perlu ketelitian dan kejelian secara lebih khusus pada ciri-ciri dasar dan titik-titik perbedaaan di antara tiga konsep universal ini, sehingga tidak terperosok ke dalam fallacy.

Memilah konsep falsafi dari selainnya tidak semudah mengiedtifikasi konsep logis. Seperti yang telah dijelaskan, konsep logis bisa dipilah dari konsep universal lainnya dengan menunjuk ciri dasarnya yang cukup sederhana, yaitu bahw konsep logis tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas apapun di alam luar, tetapi mereka hanya sebagai kalutas-kualitas dan atribut untuk konsep-konsep di mental. Namun, membedakan konsep gfalsafi dari konsep-konsep unibversal lainnya, khususnya dari konsep universal esensial, tidak segampang itu, sehingga tidak jarang filsuf-silsuf secara ceroboh mencampuradukkan keduanya.

perbedaan mendasar di antara konsep falsafi dan konsep esensial adalah bahwa konsep esensial menjelaskan batas-batas esensial entitas-entitas, adapun konsep falsafi menjelaskan karakter dan segi eksistensial entitas-entitas tersebut. Konsep esensial diperoleh akal hanya dengan didahului oleh satu persepsi partikular atau lebih, sementara kemunculan konsep falsafi, disamping itu, juga perlu adanya pengamatan dan kompaeasi akal diantar entitas-entatas dan realsi dintara mereka.

SUBJEK STATEMEN-STATEMEN MORAL

Berdasarkan pembagian konsep universal tersebut di atas tadi, apakah macam konsep-konsep moral? Apakah ciri dasar konsep-konsep moral? apakah konsep-konsep moral terdapat dalam pembagiann konsep universal? Ataukah ia satu macam konsep yang berbeda dari ketiga konsep unversal?

Sebagaiamana yang telah disebutkan bahwa statemen moral bisa dituangkan ke dalam dua bentuk; afirmatif seperti “Keadilan adalah baik”, dan normatif seperti: “Harus berbuat adil!”. Maka, konsep-konsep yang digunakan dalam statemen-statemen moral bisa dibagi kepada dua macam; pertama, konsep-konsep yang berlaku sebagai subjek statemen seperti: keadilan, kedzaliman, kejujuran, kebohongan, dengki, marah, unjuk diri, malu, aborsi, dsb. Kedua, konsep-konsep yang berfungsi sebagai predikat statemen moral seperti: baik, buruk, harus, tidak boleh, dsb.

Konsep yang berfungsi sebagai subjek statemen moral tidak termasuk dalam kategori konsep esensial yang punya person-person di alam luar, tetapi ditangkap akal dari pengamatannya atas konsep-konsep esensial itu sendiri. konsep-konsep ini digunakan dalam rangka melangsungkan kontrak dan konvensi, berdasarkan kebutuhan dan kepentingan praktis manusia dalam lingkup individual dan sosialnya. Misalnya, untuk menegndalikan nafsu kekuasaan dan menjaga rambu-rambu pergaulan, maka dikonvensikan dan ditetapkan aturan-aturan, sehingga segala tindakan yang dilakukan di luar aturan-aturan tersebut dinyatakan sebagai kedzaliman, dan segala tidakan yang dilakukan di dalamnya dinyatakan sebagai keadilan.

Dari aspek epistemologis, timbul persoalan penting dan kontraversial yang penyedot berbagai pendapat dari para pemikir dan filsuf, yaitu apakah konsep-konsep moral macam ini dikonvensikan dan dibuat berdasarkan selera subjektif individu atau suatu masyarakat, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas objektif, sehingga tidak bisa dianalisis secara falsafi dan rasional? ataukah mereka itu berakar dari realitas objektif, sehinga bisa dicermati akal berdasarkan hubungan-hubungan kausalitas?

Sejatinya, meski konsep-konsep ini bersifat konvensional/artifisial dan penetapan (i’tibari[3]), namun hal ini tidak berarti bahwa konsep-konsep ini terputus total dari realitas-realitas objektif dan berada di luar jaringan hukum kausalitas.

Penetapan/konvensi konsep-konsep ini didasari oleh serangkain kemaslahatan-kemaslahatan objektif yang diyakini penetap/konventor dapat memenuhi kesempurnaan dan kebahagian dirinya. Tentunya, keyakinann dia tidak berbeda dengan keyakinan-keyakinan lain yang bisa salah; tidak sesuai dengan fakta objektif, juga bisa benar; sesuai dengan fakta objektif di luar. Begitu pula, bisa saja seseorang menetapkan konsep-konsep ini sekedar untuk meraih keuntungan-keuntungan pribadi, dan bahkan memberlakukannnya secara paksa atas lingkungannya. Jadi, bagaimanapun konvensi/penetapan itu, tidak bisa dianggap asal-asalan, dibuat tanpa dasar. Hal ini tampak lebih jelas lagii dengan mungkinnya penetapan konsep-konsep ini didiskusikan, diperdebatkan dan diargumentasikan kebenaran dan kesalahannya. Kerana, jika penetapan tersebut hanya refleksi dari selera dan kepentingan subjektif suatu pihak, tak ubahnya dengan selera seseorang dalam memilih warna pakaian atau menu sarapan, maka penetapan itu tidak perlu disanjung atau dihujat. Apapun sikap mendukung atau menolak tidak lebih dari ekspresi setuju atau menentang suatu selera.

Walhasil, penetapan konsep-konsep yang berfungsi sebagai subjek statemen-statemen moral, kendati bersifat konvensional, tetapi pada hakikatnya, penetapan itu didasari oleh pertimbangan akan hubungan-hubungan faktual dan nyata di antara tindakan manusia dan dampaknya. Dengan demikian, konsep-konsep ini bukan berupa konsep unversal esensial yang menjelaskan suatu entitas konkret di luar, juga bukan berupa konsep unioversal logis yang hanya menjelaskan kualitas dan atribut konsep-konsep yang ada di mental. Mereka adalah konsep universal falsafi.

"Keadilan adalah baik", keadlian sebagai subjek statemen moral ini bukan berupa entitas di luar, tetapi satu konsep yang diabstraksi akal setelah melakukan komparasi di antara beberapa entitas dan mengamati hubungan mereka. Tindakan adil, sebagai sebuah kasus parsial yang objektif, tidak terlibat dalam proses akal mengabstraksi konsep keadilan. Keadilan bias berupa ucvapan seseorang atau tindakannnya. Mencubit lengan anak yang tak bersalah adalah kedzaliman. Tetapi mencubit itu adalah keadilan jika dipandang sebagai sanksi. Mencubit adalah sebuah tindakan yang ada realitasnya di luar. Tindakan ini bebas nilai moral; ia tidak bersifat adil, juga tuidak bersifat dzalim.

Seringkali kita menilai suatu objek di luar dengan nilai-nilai moral, seperti dalam statemen "Berjalan di tanah milik orang lain adalah kedzaliman". Jelas bahwa berjalan adalah realitas objektif di luar. Tindakan ini menjadi subjek dalam statemen moral, bukan karena sebagai realitas objektif, tetapi karena kapastisnya sebagai ekstensi dari konsep ghashab. Oleh karena itu, realitas objektif bias menjadi subjek statemen moral dalam kapasitasnya sebagai terapan/ekstensi konsep moral.

PREDIKAT STATEMEN MORAL

Pembahsan initi dalam konsep-konsep moral adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konsep-konsep yang berfungsi sebagai predikat statemen-statemen moral seperti: baik, buruk, harus, tidak boleh. Banyak dari kaum filsuf yang berusaha merumuskan teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep tersebut.

Pada prinsipnya, analisis atas konsep-konsep moral merupakan langkah awal untuk kemudian memasuki pembahasan imperatifitas dan deklaratifitas statemen-statemen moral. Maka, merumuskan satu eksplanasi yang logis dan jernih tentang asal ususl kemunculan konsep-konsep ini, tentang definisi, dan tentang bermakna atau tidaknya statemen-statemen moral, akan membantu banyak dalam membingkai satu teori yang kokoh dan bertanggung jawab sehubungan dengan imperatifitas dan deklaratifitas statemen-statemen moral.

Untuk itu, di sini kita membawakan beberapa teori-teori penting berkaitan dengan pendefinisian konsep-konsep moral serta asal usul kemunculannya di mental. Dengan izin Tuhan, kita akan mencoba menguraikan teori alternatif secara saksama dapat pasal-pasal berikut nanti. Dalam penguraian itu akan tampak jelas kerapuahan dan kebuntuan yang dihadapi teori-teori tersebut.

BEBERAPA TEORI

Secara umum, ada tiga aliran besar di kalangan filsuf-filsuf moral, khususnya di Barat; Definitifisme, Intusionisme dan Nonkognitifisme.

  1. Definitifisme

Aliran ini menghimpun sejumlah teori yang semuanya sepakat bahwa konsep-konsep moral itu bias didefinisikan dan dianalisis, tanpa perlu melibatkan konsep-konsep moral lainnya.[4] Menurut mereka, setiap konsep moral bias didefinisikan dan diperjelas hanya dengan konsep-konsep nonmoral. Mereka menganggap bahwa konsep-konsep moral itu sekedar symbol-simbol yang menjelaskan ciri-ciri khas dan sifat-sifat segala sesuatu di luar. Maka, "harus" bisa diperjelas oleh "adalah". Artinya nilai bisa difdefinisikan oleh realitas.[5]

Teori-teori yang bernaung di bawah Definitifisme ini terpecah kepada dua pandangan:

a. Naturalisme etis yang menganggap bahwa konsep-konsep moral bisa diperjelas dengan data-data empirik yang diperoleh dari alam natural, dan bhawa statemen-statemen moral adalah satu bentuk ungkapan-ungkapan dari fakta-fakta empiric.[6] Maka, sebagaimana konsep-konsep statemen empiris yang berkaitan dengan realitas konkret itu bisa didefinisikan oleh empiris dan pengalaman inderawi, semua statemen-stemen moral juga bisa diuji dan diverifikasi oleh metode penelitian ilmiah dan empiric.

Data-data dan konsep-konsep empiric manakah yang bias memperjelas konsep-konseop moral? Adalah persoalan yang memecah belah Naturalisme Etis ini menjadi, paling sedikitnya, tiga pandangan kecil; satu, pandangan biologis yang beranggapan bahwa data-data biologislah yang bisa memperjelas konsep-konsep moral. Kedua, pandangan Sosiologis beranggapan bahwa data0-data sosiologislah yang bisa medefinisikan konsep-konsep moral. Dan ketiga, pandangan psikologis yang beranggapan bahwa data-data psikologis yang bisa menguraikan konsep-konsep moral.

b. Metafisikalisme. Pandangan ini berusaha menjelaskan dan menguraikan konsep-konsep moral dengan data-data filosofis dan teologis. Menurut mereka, statemen-statemen moral adalah ungkapan-ungkapan dalam bentuk lain dari realitas-realitas metafisik, yang bisa diuji benar salahnya dengan metode pembuktian yang digunakan dalam studi-studi metafisika.[7] Seperti teori kehendak Tuhan (Divine Commond Theory) sebagai perwakilan metafikalisme, menjelaskan konsep-konsep moral sebagai perintah dan larangan Tuhan. Menurut teori ini, konsep "harus" berarti sesuatu yang diperintahkan Tuhan. Dan, statemen "Harus bersikap adil!" yaitu bahwa "Keadilan adalah sesuatu yang diperintahkan Tuhan".

  1. Intuisionisme

Intusionisme sepandangan dengan Definitifisme bahwa konsep-konsep moral seperti: baik, buruk, adalah symbol-simbol yang menjelaskan sifat-sifat entitas di luar, persis seperti sifat diperlukan, penting, sifat menunjang kebahagianaan. Hanya saja, Intuisionisme menolak bahwa sifat-sifat itu bisa didefinisikan oleh konsep-konsep nonmoral.[8]

Buthler, Moore, Prichard, Royce, Hartmann, Ewing adalah tokoh-tokoh intuisionisme. Meski berselisih pendapat dalam beberapa isu, mereka sepakat bahwa adaa sebagian konsep-konsep moral yang aksiomatis, presentif, sederhana dan tidak bisa didefinisikan. Paling tidak, mesti ada satu konsep moral yang mempunyai cirri-ciri tersebut, sehinggga ialah yang berfungsi sebagai norma dalam menjelaskan semua konsep-konsep moral. Dengan ungkapan lain, Intuisionisme membagi konsep-konsep moral kepada dua macam: satu, konsep dasar (basic) dua konsep turunan (derivative). Ciri khusus konsep dasar adalah intuitis, sederhana, aksiomatis. Konsep dasar ini tidak bisa diperjelas oleh konsep-konsep lain. Ia sudah jelas dengan sendirinya. Tentunya, statemen-statemen yang emmuat konsep-konsep macam ini tidak perlu veifikasi dan pembuktian (self evident).[9] Adapun koonsep-konsep turunan mesti diurai dan didefinisikan oleh konsep-konsep dasar itu, karena karakter dasarnya yang nonintuitis dan tersusun.

Perselisihan dan poerdebatan bergulir di antara mereka tatkala masing-masing berysaha mengidentifikasi mana konsep moral yang benar-benar dasar dan mana konsep moral yang turunan. Moore menunjuk konsep "baik" sebagai konsep dasar, Sigwich menunjuk konsep harus, Royce menunjuk konsep baik dan harus. Adapula yang menunjuk konsep baik dan benar (right).[10]

3. Nonkognitifisme

Kendati banyak perselisihan pendapat di antara tokoh-tokoh aliran ini[11], mereka sepaham bahwa konsep-konsep moral itu tidak bermakna (unless meaning) dan tidak bisa didefinisikan, dianalisis dan diurai., baik dengan pendefinisian kaum definitifis yang bertolak dari konsep-konsep empirikal atau metafisikal, ataukah dengan pendefinisian kaum intuisionis yang mengandalkan konsep-konsep dasar.

Pada hakikatnya, mereka menolak aspek kognitif konsep-konsep moral, karena konsep-konsep itu, pada hemat mereka, tidak ada kaitannya dengan realitas objektif apapun.[12] Emosionalisme versi Ayer (1910-1989), Stevenson (1908-1979) dan Preskriptifisme Hare (1919-) menginduk pada aliran ini.

Kaum nonkognitifis memandang bahwa konsep-konsep moral sekedar ekspresi-ekspresi emosi dan suasana-suasana batin atau anjuran, seruan, ajakan, persuasi dan semacamnya.. Konsep-konsep itu tidak berurusan samas ekali dengan fakta apapun di alam luar. Ayer menambahkan bahwa statemen "Kejujuran itu baik" tidak ubahnya dengan pernyataan "Wow, kejujuran!". Atau, styatemen "Mencuri itu buruk" sama dengan pernyataan "Aah, mencuri!". Baik dan buruk dalam dua statemen itu kosong dari muatan kognitif. Dua kata itu tidak memberikan penghetahuan apapun tetang tealitas objektif di luar.[13]

Ayer mempertegas, "Gaya ekspresi dan pengunaan tanda-tanda takjub /heran, umunnya menunjukkan bahwa statemen moral tersebut adalah ungkapan emosional. Di sini, jelas bahwa tidak sesuatupub yang disingkap oleh statnmen itu, sehingga bisa diverifikasi benar salahnya. Dan dengan statemen itu saya tidak melaporkan satui fakta konkret ataupun suatu konsdisi mental saya. Lewat statemen itu saya hanya ingin mengekspresikan sebagian emosi moral saya.[14]

Walhasil, menurut aliran Nonkognitifisme, selama konsep-konsep seperti baik, benar dan harus hanya mengungkapkan emosi dan perasaan subjektif, selama itupula konsep-konsep itu mengandung arti dan pesan moral. Kendati demikian, konsep-konsep itu tidak memastikan bahw kita benar-benar mengalami emosi seperti yang diungkapkannya.[15]

ASAL USUL KEMUNCULAN KONSEP MORAL

Setelah cukup mengenal sebagian aliran terpenting dalam persoalan pendefinisian konsep moral, kita beranjak ke persoalan asal ususl munculnya konsep moral, dengan mengurut beberapa pandangan.

1. Konsep Moral sebagai Realitas Objektif

Yaitu bahwa konsep-konsep moral adalah entitas-entitas yang dipersepsi akal atau intuisi. Arti baik yang ada pada suatu tiondakan moral persis seperti arti indah yang ada pada entitas-entitas yang terindera (sensibel). Indahnya sekuntum bunga adalah sebuah realitas yang ditangkap indera manusia. Arti indah demikian ini juga bisa dijumpai pada sebagian tindakan manusia. Maka, ada sebagian tindakan yang menyandang arti khas dari keindahan. Arti indah itu benar-benar berupa realitas objektif di luar. Apakah akal manusia menangkapnya atau tidak, yang pasti bahwa arti indah itu ada di luar sebagai realitas mandiri dan ajek. Akal hanya menyingkap apa yang ada di luar tersebut.

Berkenaan dengan keindahan itu sendiri, banyak studi yang secara khusus dan luas dibahas dalam Estetika seperti; apakah keindahan itu sesuatu yang objektif ataukah subjektif dan nisbi? Apakah keindahan dan kejelekan itu tetap ada, sekalipun amnesia tidak memahaminya?

Sebagian besar penganut Positifisme menganggap konsep-konsep seperti indah dan jelek digunakan persis sebagaimana konsep-konsep moral yang tidak mengandung data apapun berkenaan dengan realitas di alam luar. Indah, jelek dan semacamnya adalah konsep-konsep yang hanya berfungsi sebagai ungkapan emosi-emosi tertentu dan untuk menstimulasi dan menarik reaksi serta respon audien.[16]

Kalaupun objektifitas keindahan pada hal-hal inderawi dianggap valid, maka objektifitasnya pada tindakan-tindakan manusia malah menaburkan polemik serius. Sejatinya, asumsi bahwa keindahan itu sesuatu yang objektif hanya akan menjadi benar dan valid tatkala kita kaitkan dengan hal-hal yang terindera dan yang terbayang dalam benak. Namun, kaitannya dnegan hal-hal yang terpikir dan intelektual, keindahan itu tidak ada objektifitasnya. Keindahan data-data intelektual adalah penetapan/konvensi akal dalam artian yang khas seperti yang akan kami ulas nanti.

Tentunya, seorang yang berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan moral adalah realitas-realitas objektif yang diketahui oleh akal, ia akan memilih deklaratifitas statemen-statemen moral, ketimbang mengambil imperatifitasnya. Karena, dalam pilihan inilah statemen-statemen moral bisa diverifikasi benar salahnya, bisa diuji apakah sesuai dengan fakta di luar atau tidak sesuai.

2. Konsep Moral sebagai Penetapan/ konvensi/I'tibar/

Pada titik yang berlawanan, sebagian filsuf moral berpandangan bahwa asal usul kemunculan konsep moral adalah penetapan dan konvensi. Konsep-konsep moral tidak ada kaitannya dengan realitas objektif. Mereka tidak lebih dari peletakan dan konvensi yang didasari oleh kehendak subjektif si peletak, persis sebagaimana kalimat tanya dan kalimat perintah yang tidak menjalesakan sesuatu apapun di luar. "Pergi keluar!" adalah kalimat perintah yang hanya menunjukkan adanya kehendak dan tuntutan subjektif seseorang. Begitupula konsep-konsep moral, meraka tidak punya aspek signifikatif akan realitas apapun, walaupun secara implikatif konsep-konsep itu menunjukkan adanya kehendak dan keinginan pada diri si pembicara.

penganut Sosiologisme dan Teori Kehendak Tuhan (divine commond theory) termasuk juga Asy'ariyah di dalam alam pemikiran Islam, mencapai titik konsensus di bawah pandangan di atas tersebut. Tentunya, terdapat perbedaan tajam di antara mereka, misalnya Sosiologisme meyakini bahwa asal usul kemunculan konsep-konsep moral adalah akal sehat/kesadaran kolektif (common sense)[17], sedangkan Asy'ariyah dan pengikut teori Kehendak Tuhan meyakini bahwa perintah dan larangan Tuhanlah yang membentuk konsep-konsep moral. Lagi-lagi menurut Asy'ariyah, baik yaitu sesuatu yang diperintahkan Tuhan, dan buruk yaitu sesuatu tang dilarang-Nya.[18] oleh sebab itu, jika Tuhan tidak memerintahkan juga tidak melarang, maka manusia sama sekali tidak akan bisa memahami arti baik, buruk, benar , salah, tugas, tangung jawab dan selainnya. Bahkan, kita sama sekali tidak akan bisa memastikan apakah kedzaliman itu baik ataukah buruk, apakah mengembalikan amanat itu baik ataukah bururk/terpuji ataukah tercela.

Berdasarkan pandangan ini, Ilmu Akhlak termasuk dari ilmu normatif, bukan ilmu deskriptif. Ia tidak punya karakter penyingkapan terhadap sesuatu apapun. Ilmu Akhlak hanya serangkaian perintah dan larangan. berbeda dengan ilmudeskriptif yang berusaha menjelaskan fakta-fakta di luar sebagai objek penelitiannya. Objek-objek di luar itu punya realitas objektif, dan tidak terkait sedikitpun dengan pemahaman manusia. Di sini, peran manusia hanya menyingkap realitas objektif tersebut.

Pada pembahsan yang akan datang, dengan izin Tuhan kita akan mempelajari, secara khusus dan teliti, imperatifitas statemen-statemen moral, pandangan moral Asy'ariyah, Sosiologisme serta aliran-aliran moral lainnya.

Poin yang perlu ditekankan disini adalah bahwa sebagian statemen-statemen moral itu berbentuk imperatif, misalnya "Berbuat adillah!”, “Harus besikap jujur” dan “Jangan berbohong!”. Namun, karena akhlak berurusan dengan tindakan sengaja manusai, dan karena hubungan tindakan itu dengan dampak2nya adalah riel dan objektif, maka konvensi dan pembuatan (i'tibar) statemen-statemen moral bisa dilakukan berdasarkan hubungan objektif tersebut. Dengan demikian, semua hukum moral bisa dirujukan ke statemen yang berbentuk deklaratif. Pada gilirannya, Ilmu Akhlak termasuk dalam kategori ilmu deskriptif.

3. Konsep Moral sebagai Naluri

pandangan ketiga berkenaan dengan asal usul kemunculan konsep-konsep moral adalah bahwa konsep-konsep itu bersifat fitriah, naluriah, intrinsik dan terpatri pada kodrat manusia, sehingga persepsi akan konsep-konsep moral ini merupakan satu karakter wujud manusia.[19] Bahwa manusia diciptikan oleh tuhan sesuai dengan tampilan moral Tuhan. Artinya, kesaksian-kesaksian batin kita yang paling mendasar berkenaan dengan nilai-nilai moral adalah manifestasi dari prinsip-prinsip moral Tuhan. Dengan ungkapan lain, setidaknya ada sebagian prinsip moral yang diyakini oleh umat manusia, tanpa perlu proses pembelajaran. "Sebagai makhluk Tuhan, kita dilahirkan di dunia dengan membawa prinsip-prinsip moral itu".[20]

Berdasarkan pandangan ini, jika tuhan menciptakan kita dalam bentuk lain, niscaya kita akan memahami segala sesuatu dalam bentuk lain pula. Artinya, mungkin saja sesuatu yang kita fahami sekarang sebagai kebaikan, kita akan menahaminya sebagai buruk, atau sebaliknya satu tindakan yang kita nilai sekarang ini sebagai keburukan, kita akan menilainya sebagai kebaikan. Atau, mungkin saja Tuhan menciptakan kita sedemikian rupa, sehingga kita sama sekali tidak bisa mengetahui baik dan buruk.

Konsep naluriah ini berkaitan erat sekali dengan permasalahan penting epistemoologis, yaitu apakah manusia -pada sejak awal penjelmaannya- membawa pengetahuan fitriah dan inheren itu ataukah tidak? Apakah pada detik pertama kelahirannya, manusia sudah mempunyai serangkaian konsep2 dan pengaetahuan yang terpatri pada kodrat dirinya, ataukah ia memulai hidupnya di dinia ini dari ketidaktahuan?

Plato (347-430 SM)[21] meyakini bahwa manusia sejak kelahirannya di alam materi ini sudah mengetahui kahikat segala sesuatu, karena jiwa manusia sebelum lahir didunia sudah ada di alam ide, yaitu alam yang mewadahi hakekat segala sesuatu. Di alam ide itu manusia mengetahui seluruh hakikat tersebut.

Namun turunnya jiwa manusia ke alam materi dan keterikatannya dengan badan fisikal mengakibatkan dirinya lupa dengan setiap hakekat yang telah diketahuinya secara inheren, sehingga untuk mengetahui hakikat-hakikat tersebut, ia hanya perlu mengenang dan mengingat (anamnesis), bukan pencarian dan penemuan. Oleh karena itu, tujuan dasar pengajaran dan pendidikan, menurut Plato, menyadarkan kembali akan pengetahuan-pengetahuan fitriah, dan menyingkapkan hijab materiil yang menyelubungi pengetahuan-pengetahuan tersebut. Plato meyakini bahwa indera dhahir dan batin serta seluruh perangkat kognitif tidak bisa memberikan satu pengetahuan yang sesunggguhnya (valid dan akurat) pada manusia.

Realitas pengetahuan fitriyah juga diakui oleh Rene Descatres (1596-1650). Ia pernah membagi konsep-konsep kepada tiga macam:[22]

a. konsep inderawi (factitae) yang ditenmuakan lewat panca indera, seperti warna, cahaya, bau, rasa, panas dan suara.

b. Konsep khlayali (adventitae) yang muncul karena kreasi dan daya khayal dan imajinasi mental manusia, seperti kuda bersayap dan khayalan2 lainnya.

c. Konsep akli (innate) yang dipatrikan oleh Tuhan dalam kodrat akal manusia seperti; konsep Tuhan, waktu, jiwa dan dimensi.

Konsep akli itu tidak bisa diperoleh lewat indera dan empirik. Descartes menegaskan bahwa dari ketiga pengetahuan itu, hanya konsep akli bernilai valid .

Serupa dengan pandangan Plato, Descartes dan filsuf rasionalis lainnya, Immanuel Kant (1704-1784) juga menerima otentisitas konsep-konsep fitriah dan apriori.[23] Bahwa ada serangkaian konsep yang ada pada mental maenusia secara apriori, seperti konsep waktu dan tempat yang ada pada tataran sensualitas, dan kategori dua belas[24] yang ada pada tataran intelektualitas/pemahaman/pemikiran (fahiumah).

Sementara itu, filsuf-filsuf empiris yang meyakini bahwa mental manusia tak ubahnya kertas putih (tabula rasa) yang bersih dari segala gambaran pengetahuan dan konsep. Gambaran pengetahuan itu baru muncul di dalamnya ketika indera melakukan kontak dengan objek-objek di luar.[25]

Apicurus (270-341) menganggap bahwa pengetahuan inderawi adalah bahan-bahan dasar (basic knowledge) pengetahuan. Kaum apicurean meyakini bahwa "Akal –yang merupakan juri dalam menilai data2 sensual- secara total juga bersandar kepada indera. Jika indera tersebut melakukan kesalahan, maka seluruh data2 akal juga salah".[26] Mereka menempatkan pengetahuan2 inderwi sebagai standar kebenaran. Mereka menggarisbawahkan bahwa sesuatu itu tidak akan pernah ditangkap akal kecuali ada pada indera pada tahapan sebelumnnya.

John Locke (1632-1704) secara getol menentang pengetahua2 inheren/fitriah, khususnya yang berkenaan dengan konsep2 moral. Ia menilai bahwa argumentasi-argunmentasi atas pengetahuan tersebut juga tidak valid. Dalam menjawab pertanyaan “Dari manakah mental mendapatkan bahan2 pengetahuannya?" Ia menjawab pertanyaan dengans satu kata, Empiris. Bahwa landasan seluruh pengetahuan kita adalah empiris. Dan pengetahuan yang utuh adalah pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi.[27]

Ada dua poin yang perlu dicatat berkaitan dengan pengetahuan2 fitriah; satu, asumsi bahwa akal manusia sejak awal membawa serangkain pengetahuan2, baik yang bersifat perseptual, abstraktual ataupun bersifat kedua-aduanya, adalah invalid. Setiap manusia yang insaf dan sadar, hanya dengan merujuk kembali ke dalam dirinya, tidak akan menemukan pengetahuan dan konsep seperti itu, bahkan tidak ada satu manusia pun yang menemukan, secara intuitif, akan konsep-kopnsaep fitriah dan pengetahuan/pengetahuan apriori; yang diperoleh sebelum menjalani upaya dan kontak empirikal, dan sebelum ia sampai pada jenjang kesempurnaan akal dan mentalnya. Sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Sina, "Bagaimana mungkin kita mempunyai suatu pengetahuan yang kita sendiri tidak mengetahuinya, kecuali di saat mikiran dan kesadaran akal kita menjadi sempurna. Jika jauh sebelumnya kita sudah tahu, lalu kita lupa selekas kelahiran kita, maka pada saat apakah kita pernah mendapatkan pengetahuan seperti itu dan pada saat apakah kita melupakannnya? Bagaimana mungkin kita mengetahuai pengetahuan2 itu di awal kelahiran, tetapi stetalah kita tuimbuh besar dan sempurna kita menjadi lupa, lalu selang beberapa saat kita kembali mengingatnya".[28]

Berdasarakan asumsi adanya serangkaian pengetahuan2 sebagai bagian dasar kodrat dan fitrah akal, kita tidak bisa membuktikan signifinkasi pengethauan2 itui terhadap fakta-faktanya, kita tidak bisa memastikan bahwa konsep2 itu menunjukan objek-objek di luar. Kita hanya bisa mengatakan bahwa pengetahuan demikian itu adalah konsekusensi natural fitrah akal. Hanya satu keraguan yang masih tersisa, yaitu bahwa jika akal diciptakan dalam bentuk lain, niscaya ia akan memahami pengetahuan2 itju dalam bentuk lain pula. Keraguan inilah yang banyak melahirkan absurditas yang sulit diterima oleh para pengagas pandangan pengetahuan fitriah itu.

Pada hakikatnya, manusia sejak kelahirannnya tidak membawa pengetahuan dan konsep apapun, tetapi ia menukan pengetahaun dan konsep itu secara bertahap dan berproses, dengan dibantu oleh aktifitas akal. Ketika manusia sampai pada kesempurnaan akalnya, ia akan menemukan konsep-konsep itu dengan cara mempersepsi, mengabstraksi, mengurai dan menggabungkan konsep2 itu dalam bentuknya yang bermacam2. Al-quran menyebutkan, “Sesunggugnya Allah mengeluarkan klalian dari rahim2 ibu kalian dalam keadaan tidak tahu”.[29] Bahkan pada hemat kami, pengethaua-pengetahuan aksiomatis pun tidak sejak awal terpatri pada kodrat manusia. Artinya, si bayi sejak awal kwelahirannnya tidak mengetahui bahwa "Keseluruhan itu lebih besar daripada bagiannya” atau “Ada dan tiada tidak bertemu”, karena ketika dia tidak memilkiki pengetahuan konseptual tentang seluruh, bagian, besar, kesil, atau pertemuan, kontardiksi, ada dan tiada, bagaimana dia bisa mengethaui proposisi-proposisi yang tersusun dari pengetahuan konseptual tersebut. Jelas abahwa konsep2 di atas tersebut semua dari kategori konsep2 universal falsafi yang diperoleh lewat pengamatan akal terhadap relaitas-realitas objektif di luar. Artinya, bayi itu hanya akan membentuk proposisi-proposisi itu ketika ia punya kemampuan mengenal konsep2 itu dan mampu mengamati serta mengkomparasikan realitas2 di luar.[30]

Dalam pemikiran falsafi Islam, kebanyakan filsuf muslim menolak realitas dan otentisitas penetahuan-pengetahuan fitriah dan apriori; yang sudah dimiliki manusia sebelum melakukan kontak inderawi apapun. Maka, dalam pandangan mereka, konsep-konsep moral adalah konsep-konsep yang tidak terpatri pada kodrat mansuia. Hal ini tidak berarti bahwa konsep-konsep itu relatif dan kehilangan landasan rasionalnya, sebagaimana yang akan disinggung dalam pembahasan berikut nanti. Ibnu sina sendiri beberapa kali dalam tulisannya menyatakan bahwa tanpa bantuan indera eksternal dan internal, jiwa manusia tidak akan mendapatkan pengetahuan fitriah itu. Ia menambahkan, "Pertama kali kita ketahui adalah pengatahuan inderawi dan pengetahuan khlayali (imajinatif) yang kita persepsi dari pengetahuan inderawi tersebut, kemudian dari dua macam pengetahuan itu, kita menemakan pengetahuan akli (dengan akal/intelektual)."[31]

Nasiruddin Tusi juga menegaskan, "Kendati indera dengan sendirinya tidak melaporkan satu pengetahuan universal, namun harus dicamkan bahwa kunci pintu-pintu pengethaun parsial dan universal adalah indrea, karena jiwa manusia dari sejak diciptakan lahir hinggga mendapatkan sejumlah pengetahuan esensial, ia mampu menenmukan dasar2 pengetahuan konseptual dan asentual berkat indera. Oleh karena itu, Arestoteles mengatakan bahwa seseorang yang tidak mempunyai indera, tidak akan mendapatkan pengetahuan".[32]

Disusul Fakhrurrazi dalam kesempatan menafirkan ayat 78 anahl. Beliau mengatakan, "Jiwa manusia -sejak awal penciptaannya- bersih dari segala gambaran pengetahuan, baik yang bersifat aksiomatis ataukah spekulatif, dan ini adalah permasalahan yang gamblang. Karena ini pula, kita tahu dengan jelas bahwa pada masa kehamilan atau momongan, kita tidak pernah mempunyai pengeetahuan tentang “menolak itu tidak bertemu dengan menerima” atau “keseluruhan lebih besar daripada bagiannnya”. Oleh sebab itu, Fakhrurrazi memandnag bahwa seluruh pengetahuan konseptual dan asentual, aksiomatis ada spekulatif, pasti didahului oleh data-data indera batin dan dahir. Dalam mabahis masyriwiyah,[33] sehubungan dengan tema “ Fi Anna ta'aqululn-nafs lighoiriha laisa amron dzatiyyan wa la laziman" dan tema "fi anna al-ta'allum laisa bi tadzakkur", beliau membahas secara kritis pengetahuan-pengetahuan fitriah.

Mula sodrapun dalam tema yang sama di dalam hikmah mutaaliyah 3/487-492 [34]membahsa secara teliti dan saksama pengetahuan2 fitri itu.



[1]lebih rincinya, dapat dilihat di buku omuzesye falsafeh 1/176-178, ideology tatbiqi, p.90-95., ssyarah babsuth Mandzumah, 2/59-122, ma'qyul stani, fanaei esykevari

[2]ideology tathbiqi, misbah yazdi p.90, 132-134

[3] maksud definitif dari istilah I’tibari bisa dilihat di pasal....hal....

[4] pronlems of Ethics, in The Encyclopedia of Philosophy, 3/127

[5] falsafeh akhloq, frankena 208

[6] ibid, 206-207

[7] falsafeh akhlaoq, Frankena 208

[8] ibid, 215

[9]Moral Reasonning, in Encyclopedia of Ethics, 2/852-853

[10] Problems of Ethics in The Encyclopedia of Philosophy, 3/128. falsafeh akhloq, Frankena, 216

[11] Problems of Ethics in Encyclopedia of Philosophy, 3/129

[12] Moral Vision, p.8-10

[13] pandangan ini disebut juga dengan Boo-Hurrah Theory of Ethics (Moral Vision p.17)

[14] Language, Truth and Logic, Ayer p.146

[15] dar omadi be falsafeh akhloq p.140-141

[16] Language, truth and Logic. A.Ayer. p.157

[17] Falsafah wa Jome'eh syenosyi, 78-115

[18] Al-mahshul fi usulul Fiqh 1/123. Al-tahshil minal Mahshul 1/180. Dirosat aqliyah wa ruhiyah fil falsafah islamiyah 257-258. Al-iqtishod fil I'tiqod 178-197.

[19] History of Ethics ,in The Encyclopedia of Philosophy , 3/83&95. History ofe Western Ethics 2, classical Greek, in Encyclopedia of Ethics, 1/465-466

[20] aql wa I'tiqode dini, 441

[21]history of philosophy, copleston 1/178-192. Hikmah Muta'aliyah, mulla sodro 3/487-488. ideology tatbiqi 97-98.

[22] ta'amulat dar falsafah awwali, Descartes 41. tarih falsafah gharb 2/781. ideology tatbiqi 99

[23] syarah bar tamhidat, 42, history of philosophy, copleston 6/233-236, 251-278, omuzesy falsafeh 1/99, ideologi tatbiqi 100-103

[24]history of philosophy, copleston 6/265

[25] omuzesy falsafeh 1/198, ideologi tatbiqi 104-107, ilmu hudhuri 159-162

[26]history of philosophy, copleston 1/462-463

[27] history of philosophy, coplestion, 5/88-93

[28] as-syifa , kitab burhan, makalah 4 pasal 10/330

[29] Al-Nahl/78. perlu dicatat bahwa ayat ini tidak menolak pengetahuan hudhuri (presentif) manusia tentang Tuhannya, sebagaimana yang disenyalir dalam beberapa ayat, misalnya Aal-A'raf/172. lihat lebih jelasnya Al-Mizan, thabathabai, 12/312. Ma'ariful Qur'an, misbah Yazdi, 1-3/396-397.

[30] Fitrah, Muthahari 47-53

[31] As-syifa, bagian Burhan, ibnu sina, 106-107.

[32] Asaul Iqtibas, nasiruddin al-Thusi, 375

[33] mabahis masyriwiyah, fakhrurazi, 1/496-498

[34] hikmah mutaaliyah, sodrul muta'allihin, 3/487-492

Tidak ada komentar: