Selasa, 08 Maret 2011

KULTUR : Berubah atau Beruban

KULTUR : Berubah atau Beruban

Andihakim03@yahoo.com

Filsafat Materi

Beberapa kelompok pemikir kerap meninjau kebudayaan dari ragam sisi, diantaranya fahaman idealisme dan sebagian yang lain memandangnya dari jurusan materialisme-sejarah. Jakob Burchart, salah seorang penggagas idealisme budaya menyatakan jika kebudayaan adalah kumpulan buah pikiran manusia yang berbeda-beda ditiap kondisinya dan masing-masing berdiri sendiri[1].

Franz Mehring, otobigrafist terbaik tentang Karl Marx yang sebagian besar karyanya terpengaruh oleh hukum materialisme-sejarah dari Marx, menuliskan “Kebudayaan adalah jumlah hasil usaha yang dicapai manusia, baik itu rohani, materi, dan jasmani[2]. Kebanyakan pendukung dari fahaman Marxisme tidak akan memandang selain daripada basis pemikiran mereka, yakin kultur berubah-ubah dan sangat ditentukan oleh argumen-argumen ekonomi.

Dalam susunan natur yang tadi itulah, para pemikir dan futurulogis mencoba melihat kembali gejala, fenomena, alam, sebab-akibat, dan kausalitasnya untuk dicarikan apakah gerangan hukum yang mengikat natur itu kepada satu hukum tunggal. Pemikiran dan perenungan inilah yang melahirkan ragam ragam pandangan dunia dan ideologi dan praktik sosial politiknua. Tidak jarang pertentangan ideologi ini melahirkan pertarungan politik dan cara pandang ilmiah untuk mendukung masing-masing isme kultur itu sebagai landasan argumentasi ilmiah peradaban dan sivilisasi yang mau dibangun oleh isme tadi. Cara pandang ilmiah untuk mendukung perilaku ideologis dan politis ini dikenal dengan kerangka landasan teoris-praktis filsafatnya.

Bukan urusan kita membahas teori-teori hasi kebudayaan yang jumlahnya semakin tahun semakin banyak dalam makalah sempit ini. Perlulah di sini kita tuliskan saja fahaman kultur dari sisi yang lebih mendalam yang berkaitan dengan natur alam hidup kita.

Natur

Natur atau alam sebagaimana adanya, adalah lingkungan dimana diganggu oleh tangan dan otak manusia. Apabila kita fahami hidup menurut tabiat, cara, gelagat, dan orde-ordenya sendiri. Susunan alam dan tabiatnya itu terdiri dari tingkatan-tingkatan dan lapisan-lapisan dimana perbedaan ini melahirkan apa yang disebut dengan hukum perjuangan. Hukum perjuangan tadi dalam rangka perkembangan masing-masing eksponen natur untuk mempertahankan atau minimal menjaga eksistensinya akan melahirkan keniscayaan berbunuh-bunuhan. Ular kecil memakan katak, ular kecil dimakan ular besar, tangkai padi dimakan burung, burung dimakan manusia, rumput dimatikan pohon besar, dan pohon besar ditumbangkan benalu dan rayap. Dalam natur bekerja hukum vitalitas siapa kuat dia menang.

Perjuangan dalam kerangka mempertahankan diri ini ini melahirkan apa yang kita kenal dengan gerak. Gerak sendiri didefinisikan sebagai berpindahnya atau berubahnya sesuatu kepada titik yang dimungkinkan untuk menyempurna. Misalnya bergeraknya mangga asam kepada manisnya, mineral yang diambil umbi kecil untuk membesar, makan oleh anak ayam kepada dewasanya. Eksponen natur itu ketika ingin bergerak berubah mencapai titik kesempurnaannya ia meniscayakan akan kebutuhan dan mengambil dari materi eksponen (anggota) natur yang lainnya untuk dijadikan bagian dari dirinya. Lebih jauh lagi bahkan untuk bertahan hidup saja yang namanya materi ini perlu mengambil dan menjarah yang lainnya. Sekalipun hanya atom-atom udara, maupun air saja. Oleh karena itulah maka alam materi dalam pandangan islam disebut pula dengan istilah Al Alam At Tazahum, dunia yang saling mengganggu.

Perjuangan dalam alam materi ini semakin lama akan semakin kuat, kompleks, dan kejam. Tidak pernah ada dalam sejarah sebelumnya, suatu negara menghantam mati 10.000 jiwa manusia sipil hanya dalam satu bulan perang untuk sekedar mempertahankan negerinya akan kebutuhan minyak seperti apa yang dilakukan Amerika di Irak. Atau anekasi sumber daya alam indonesia oleh eksistensi asing dengan menghancurkan lingkungan dan kebudayaan masyarakat setempat adalah bentuk-bentuk perjuangan tadi.

Karena sifatnya yang saling membunuh dan mengincar yang lain itulah maka setiap materi dalam natur harus berusaha bertahan dan berjuang untuk mempertahankan hidup dan eksistensinya. Dari sudut pandang itulah dapat kita katakan, beradaptasi dan perjuangan adalah kelaziman yang tidak bisa tidak harus dilakukan oleh materi.

Jarah-menjarah bagi eksponen natur yang tidak memiliki etika adalah suatu kewajaran dan tidak perlu kita bahas secara mendalam karena yang demikian telah menjadi ketentuan dari hukum alam. Tetapi ceritanya menjadi berbeda ketika perjuangan itu dilakukan oleh eksponen natur yang bernama manusia, hal ini perlu kepada pembahasan. Karena tabiat perjuangan seperti itu dapat disalah gunakan sebagai pembenaran, untuk itulah perbuatan manusia berbeda dari eksponen lainnya ketika menggunakan akalnya. Dari penggunaan akal itulah maka setiap perjuangan dalam natur dapat bernilai etika, hukum dan dipertanggungjawabkan benar-salahnya. Dalam bentuk kerja kultur.

Sebagian manusia menggunakan alam pikirannya (akal) dalam perjuangan hidup tadi, ia mengubah alam kepada bentuk-bentuk yang lebih baik bagi dirinya melalui upaya kerja dan pikir. Manusia ini yang mampu melibatkan kerja pikir dan kerja perbuatan disebut juga sebagai kelompok manusia yang beradab. Lain halnya dengan kelompok manusia yang belum dapat melepaskan diri dari hukum natur seperti yang lainnya, maka ia disebut dengan manusia biadab. Manusia adab merombak alam, manusia biadab merusaknya, seperti apa yang dilakukan tentara amerika di Irak adalah perjuangan manusia biadab, tidak berbeda tabiatnya dengan makhluk tanpa akal lainnya.

Kultur

Kebudayaan atau kultur pada hakikatnya adalah penjelmaan daripada penciptaan yang menimbulkan (sceppeend Idee) dan kerja yang menimbulkan (scheppened Arbait). Kultur adalah perbuatan yang mendekonstruksi dan membentuk (rekonstruk) alam yang apa adanya tadi (natur) menjadi sumber penghidupan yang lebih layak dan pantas. Perjuangan untuk hidup itu terus ada sehingga dengan sendirinya kultur pun merupakan suatu cara untuk memperoleh kehidupa yang lebih mulia.

Disebabkan ia hadir karena adanya penciptaan (kerja pikir) dan karya maka dengan sendirinya kultur hanya dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia. Semenjak zaman purbakala ayam hanya menggunakan pacok dan cekernya untuk mencari makan, manusia mengembangkan cara kerja dan hasil karya mencari makan itu dalam ragam bentuk dan olahan. Oleh karenanya sifat kultur adalah memelihara, memupuk kepada barang-barang seperti pikiran dan alat-alat hidup, dengan tujuan memberikan penghidupan yang lebih baik dan lebih mulia kepada manusia. Lalu bagaimanakah ia berhadapan dengan kenyataan natur yakni bergerak berubah disisi lain ia harus dipertahankan.

Bahasan dalam sifat material di alam sebelumnya di atas telah cukup menerangkan upaya material untuk terus berupaya menyempurnakan eksistensinya, oleh karena itu kebudayaan dengan sendirinya tidak mungkin tidak kecuali ia terus bergerak menyempurnakan sistemnya. Ada kita dapatkan dalam suatu kenyataan sejarah dimana sebuah kebudayaan lahir, tumbuh, kembang, besar, kemudian lenyap atau bertahan ditengah perkembangan budaya yang lain. Di sisi lain kita mendengar orang sering mengumandangkan untuk mempertahankan kebudayaan asli menjaga peninggalan bangsa, nenek moyang, memelihara nilai-nilai luhur, dll.

Sifat kultur yang selalu bergerak menyempurnakan harkat hidup manusia tadi sekali lagi dengan sendirinya meniscayakan adanya perubahan-perubahan dalam sistemnya. Adalah picik ketika kita mengabaikan kenyataan (realitas) perjuangan hidup untuk menyempurna tadi untuk meniscayakan adanya gesekan-gesekan baik itu pikiran maupun kerja dalam rangka pencarian mutu yang lebih baik. Sehingga dapatlah kita akui bahwa gerak kultur terpengaruh oleh pandangan dunia (worldview) yang diperjuangkan oleh budaya itu maupun kenyataan-kenyataan pragmatis yang dihadapi dalam perjuangannya. Dengan sendirinya pendapat yang mengatakan bahwa kultur atau kebudayaan adalah kerja dalam rangka menyimpan yang lama untuk selama-lamanya adalah bodoh dan membodohi!.

Multikultural : Adaptasi bukan adopsi

Kesadaran bahwa perjuangan kultur bersendikan kepada perjuangan pikiran dan kerja, maka dengan sendirinya kultur yang kuat memiliki tabiat untuk mendominasi kultur-kultur yang lemah atau kurang baik. Apabila Marx sekedar menerangkan tentang perjuangan kelas-kelas dalam suatu masyarakat, maka adapula pertentangan dalam perjuangan kultur-kultur dalam sistem yang lebih luas.

Kultur bergerak mencari coraknya terus menerus sampai ia mendapatkan kemapanannya. Kultur tidak dapat hidup selama-lamanya namun ia dapat memberi warna kultur yang berkembang berikutnya. Misalnya di Indonesia ini kultur yang dibangun bagi bangsa mungkin terdiri dari ragam kultur-kultur, mulai dari yang asli suku-suku dan tabiat hidup alam Indonesia hingga yang merupakan bancakan dari yang lain, seperti kebudayaan arab, barat, islam, kristen, india, hindu, dan budha.

Sejarah pembangunan masyarakat, bangsa, dan nation, diisi dengan jatuh bangunnya bangsa-bangsa itu berikut sistem kulturnya. Namun suatu kultur yang memiliki basis pikiran dan kerja yang baik akan terus mewarnai sistem kultur berikutnya. Hilangnya imperium romawi dan yunani tidak diikuti dengan hilangnya begitu saja sistem pemikiran filsafat dan triapolitika tata negaranya maupun sistem senatnya. Hingga sekarang sistem tersebut masih dipergunakan, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Untuk sebab itulah maka kultur tidak boleh tidak ia harus melakukan adaptasi mencari dudukan yang kokoh dalam hidup yang berubah dan jelas paradigma berpikir dalam memandang kenyataan dan problem kemasyarakat yang semakin pelik.

Di sisi lain adalah nasib buruk bagi kultur yang tidak berkembang dan lemah disebabkan kelalaian masyarakatnya dalam memelihara kulturnya. Kultur yang demikian adalah kultur yang tidak memiliki akar filosofi dan basis praktik yang jelas. Dalam perjuangannya kultur demikian akan mudah dianeksasi oleh anasir kultur yang lebih kuat yang datang dari lain tempat. Sehingga apa yang bisa dilakukan oleh kultur lemah ini hanyalah mengadopsi. Perilaku media dan budaya massa sekarang adalah contoh hegemoni kultur kuat terhadap kultur lemah. Anak-anak muda kita berjingkrakan street dance di jalan mencontoh perilaku hidup orang negro di AS, atau pejabatnya yang bergaya dengan high life jalan-jalan ke eropa tanpa pernah punya akar kultur yang jelas. Kultur adalah berbicara dan bekerja dalam kerangka adaptasi bukan adopsi.

Termasuk didalamnya adalah perilaku kultur dalam praktis sosial-politik, apa yang dilakukan oleh partai politik dengan pengerahan massa dalam kampanye-kampanye adalah perilaku adopsi dari Machvorming-Hitler, parade Mussolini, tampil gaya di depan khalayak. Setelah selesai maka selesailah begitu saja. Cepat atau lampat machvorming yang sekedar berisi jargon dan janji politik ini akan melahirkan perilaku tanpa pikir, budaya politik mencontoh dan harus diakui akan segera melahirkan patronase dalam bertindak. Sadar atau tidak patronase menciptakan kebergantungan yang kuat kepada sistem dominan dan penumpulan pikiran. Adopsi dalam kultur termasuk dalam politik tidak akan pernah membawa orang yang menirunya lebih baik dari yang ditiru.

Demikian pula dengan Hmi sebagai hasil budaya, ia harus terus beradaptasi dengan tantangan yang berkembang, dengan cara menganalisa terus menerus dan mengadaptasi pemikiran baru. Adopsi hanya menciptakan kebergantungan yang akut kepada sistem kultur dominan. Ketika adaptasi dilingkungan Hmi terjadi tinggal kita bicara kultur siapa nanti yang akan lebih unggul. Berubah atau beruban di Hmi. Yakin Usaha Sampai. (04/10/04)

Andihakim : Lahir 18 Mei 1975, di Jakarta menyelesaikan S1 dan S2nya di ITB Bandung, sekarang berbakti pada almamater. Bekerja sebagai jurnalis untuk beberapa harian dalam dan luar negeri. Kandidat penerima beasiswa Program Postgraduate dari Leiden Universiteit untuk studi Architectural dan Dunia Islam. Rekonstruktor NDP-rekonstruksi bersama Andito, aktif dikajian ideologis dan pengkaderan pemateri-pemateri baru di lingkungan Hmi.



[1] Burckhardt, Jacob (1987) Weltgeschictliche Betractungeng. P 113. dari M.Hatta Verspraded Geschriftes von M.Hatta. p 79

[2] ibid : p.70. Mehring, Franz (1980) Deustche Geshichte vom Ausgange des Mittelalters.

Tidak ada komentar: