Selasa, 08 Maret 2011

Pengertian dan Kedudukan Filsafat Akhlak

Pengertian dan Kedudukan Filsafat Akhlak

Akhlak berasal dari bahasa Arab. Ia adalah bentuk plural dari kata khulq, yang berarti karakter dan sifat, apakah itu baik seperti; kejantanan dan keberanian, ataukah buruk seperti; kepengecutan dan malu.

Sejauh penelitian para ahli bahasa Arab, kata khulq seakar dengan kata khalq. misalnya, Ali ber-khulq baik, yaitu bahwa ia punya karakter batin yang baik. Dan, “Ali ber-khalq baik, berarti bahwa Ali punya penampilan lahiriah yang indah.

Sebagai sebuah istilah, Akhlak digunakan oleh kalangan ulama dan pemikir dengan arti yang beragam. Ada sejumlah arti akhlak yang penting dan perlu diisyaratkan disini;

  1. Akhlak sebagai Sifat Batin yang Mapan.

Arti akhlak yang paling umum digunakan oleh ulama-ulama akhlak muslim adalah sifat-sifat yang melekat kuat pada jiwa manusia. Sifat-sifat itu pula yang menjadi sumber kemunculan prilaku yang khas, tanpa perlu lagi berpikir dan menimbang-nimbang. Abu Ali Miskaweih mengatakan: "Akhlak yaitu karakter pada jiwa manusia yang mendorong penyandangnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu, tanpa melalui pertimbangan pikiran.[1]

Definisi yang sama dibawakan Allamah Majlisi, yaitu karakter jiwa yang dengan mudah melahirkan suatu tindakan. Ia menambahkan bahwa sebagian karakter itu bersifat inheren dan kodrati pada diri manusia, sebagian lain lagi bersifat aksidental yang bisa diperoleh jiwa lewat pertimbangan pikiran, usaha berulang-ulang dan pembiasaan diri, seperti manusia bakhil yang memberikan sebagian kecil hartanya dengan berat hati, kemudian ia melakukan hal yang sama dengan mudah dan lega pada kesekian kalinya, berkat pengulangan dan pembiasaaan diri.[2]

Feydh Kasyani, guru besar ruhani abad 10 H, mengatakan bahwa Akhlak adalah karakter yang terpatri kuat pada jiwa manusia, yang dengan mudah melahirkan tindakan, tanpa perlu proses berpikir. Beliau menegaskan bahwa karakter yang melahirkan tindakan-tindakan yang baik itulah akhlak yang baik, sebaliknya, karakter yang melahirkan tindakan-tindakan yang buruk adalah akhlak yang buruk.[3]

Berdasarkan penegertian Akhlak di atas tadi, maka sifat yang tidak melekat kuat pada jiwa, seperti marahnya seorang penyabar, dan sifat yang melahirkan tindakan dengan didahului perimbangan pikiran, seperti sifat derma seorang kikir, semua itu tidak termasuk akhlak. Namun, dari sisi lain, pengertian ini mencakup nilai-nilai mulia dan bejat moral akhlak. Dengan demikian, ada dua macam akhlak; akhlak mulia dan akhlak bejat.

Tentunya, ada sejumlah pandangan terhadap faktor kelekatan dan kemapanan suatu sifat pada jiwa. Sebagian ulama melacaknya pada pengulang-ulangan tindakan, sebagian lagi menyebut faktor itu sebagai genetik atau lingkungan. Dan adapula yang menganggapnya sebagai substansi jiwa. Namun, cukup jelas bahwa hal-hal tersebut tidak mengambil bagian dalam pengertian akhlak ataupun dalam arti akar katanya.

  1. Akhlak sebagai Sifat Batin

Bagi sebagai ulama dan pemikir akhlak memaknai akhlak sebagai sifat batin yang menyebabkan kemunculan tindakan-tindakan yang baik atau buruk, apakah itu terpatri kuat atau tidak pada jiwa, ataukah perlu pertimbangan pikiran. Dengan demikian, jika seorang bakhil itu tiba-tiba memberi, maka aksi ini mencerminkan sifat dermanya, dan secara moral bernilai positif. Atau, seseorang yang melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan, tindakan itu juga bermuatan nilai moral.

  1. Akhlak sebagai Kemuliaan/Keutamaan (virtue)

Kadangkala kata akhlak hanya menunjuk kepada akhlak yang baik. Misalnya, “Tindakan demikian ini adalah akhlak”, “Bohong itu amoral” atau “Asas akhlak adalah cinta”, maksud dari kata akhlak yang termuat dalam statemen-stataemen tadi adalah akhlak yang baik. Arti akhlak ini juga populer dalam bahasa Inggris. Dan umumnya, ungkapan ethical berkonotasi baik atau mulia, dan unethical berarati buruk atau hina.[4]

Ada serangkaian polemik sengit seputar isu-isu seperti; apakah dasar-dasar akhlak mulia? Dan mungkinkah semua kemuliaan akhlak dikembalikan kepada satu atau beberapa kemulaiaan akhlak saja? Teori Trait-egoism memandang peduli pada kepentingan pribadi sebagai prinsip kemuliaan-kemuliaan akhlak. Secara berseberangan, pengikut teori Trait-Utilitarianisme menekankan kepedulian pada kepentingan umum. Sementara teori-teori Trait-deontologis, di samping penegasannya atas berfikir egoistis, juga menambahkan unsur kepatuhan pada tuhan, kebajikan atau keadilan. Ada pula yang melacak asal usul kemulian akhlak pada cinta kebaikan dan keadilan, dan menyatakan bahwa karakter jiwa yang tidak berakar dari cinta kebaikan dan keadilan bukanlah kemuliaan akhlak atau sama sekali bukan kemuliaan. Iman, optimisme dan kearifan adalah contoh-contoh kemuliaan religius dan rasional, bukan moral.[5]

Dalam tradisi kristiani, ada tujuh dasar kemuliaan; tiga kemuliaan teologis (iman, pengharapan, cinta kasih) dan empat kemuliaan humanis (kearifan, ketabahan, keseimbangan dan keadilan). Plato bersama para filsuf Yunani kuno dan kebanyakan filsuf muslim memandang kebijakan, keberanian, keseimbangan dan keadilan sebagai induk kemuliaan.

  1. Akhlak sebagai Lembaga

Sebagaian filsuf Barat menggunakan istilah akhlak dengan pengertian yang khas, yaitu tatkala mereka menyinggung lembaga moral kehidupan. Dalam pada ini, akhlak sejajar dengan seni, sains, hukum, agama dan semacamnya. Akhlak tidak ubahnya dengan bahasa, agama, negara, sudah ada sebelum lahirnya manusia, lalu manusia masuk ke dalamnya dan terlibat aktif bersamanya. Ia akan tetap ada setelah ketiadaan umat manusia. Jadi, akhlak sama sekali tidak bergantung pada manusia sebagai pelaku, tetapi ia adalah perangkat sosial untuk membimbing komponen-komponen atau kelompok-kelompok minoritas.

  1. Akhlak sebagai Aturan/Sistem Aksi

sebagian mengartikan akhlak sebagai sistem prilaku (code of conduct) suatu kelompok. Akhlak NAZI yaitu aturan prilaku yang diakui kaum NAZI. Atau akhlak kristiani yang berarti aturan prilaku yanag diterima oleh kaum kristian.

Sebagaian menggunakan pengertian akhlak di atas ini dengan menambahkan sejumlah syarat ke dalamnya, misalnya pengertian yang menyebutkan bahwa akhlak adalah sebuah sistem kolektif nonformal yang berlaku atas manusia yang akil. Sistem itu mencakup kaidah-kaidah, norma-norma dan nilai-nilai moral yang mengatur prilaku sosial manusia, dengan tujuan membersihkan kebejatan-kebejatan moral[6]. Atau, definisi yang menguraikan akhlak sebagai seperangkat kepercayaan-kepercayaan suatu masyarakat yang berkaitan dengan tingkah laku anggota-anggotanya, dan menjelaskan tindakan apa yang semestunya dilakukan oleh mereka.[7]

ILMU AKHLAK

Banyak definisi yang ditawarkan untuk ilmu Akhlak. Sebagian ulama menekankan unsur pengetahuan, dan menyatakan bahwa ilmu Akhlak adalah pengenalan terhadap kemulaiaan akhlak dan kebejatannya. Muhaqqiq Thusi mengatakan bahwa ilmu Akhlak yaitu pengetahuan tentang bagaimana jiwa manusia menyandang suatu karakter yang memuliakan seluruh tindakan yang dilakukan atas dasar kehendak[8].

Definisi serupa dibawakan oleh seorang pemikir Barat. Dengan merujuk pada asal kata Latinnya,[9] ia merumuskan bahwa ilmum akhlak adalah pengetahuan tentang tradisi, adat istiadat dan sifat-sifat manusiawi. [10]

Adapula sebagian definisi yang menekankan tindakan, bahwa ilmu akhlak yaitu telaah atas prilaku manusia sebagaimana mestinya. Di sini ilmu akhlak berfungsi sebagai sarana untuk menyempurnakan prilaku manusia dan menyodorkan kebaikan.[11]

Definisi “pengetahuan tentang bagaimana hidup dan bagaimana seharusnya hidup” lebih menekankan aspek praktis ketimbang aspek kognitif ilmu akhlak[12].

Secara lebih komprehensif, ilmu akhlak bisa didefinisikan sebagai pengetahuan tentang macam-macam sifat baik dan buruk, cara menyandang sifat baik dan membersihkan sifat buruk. Dan, subjek ilmu akhlak yaitu sifat-siaft baik dan buruk yang berkaitan dengan tindakan sengaja manusia, dan yang bisa diperoleh atau dihindari. Selain pengenalan atas berbagai macam kemualiaan dan kebejatan akhlak, ilmu akhlak juga membahas metode-metode menemukan sifat baik dan membersihkan sifat buruk. Naraqi menyimpulkan bahwa ilmu akhlak yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat baik dan buruk dan tentang cara mendapatkan sifat baik serta membebaskan diri dari sifat buruk.[13]

STUDI-STUDI AKHLAK

Sedikitnya ada tiga macam studi tentang akhlak[14]. Pengenalan tentang batasan-batasan dan ruang lingkup masing-masing studi itu, akan banyak membantu menjelaskan Filasafat Akhlak dan isu-isunya.

  1. Akhlak Deskriptif (ethics descriptive)

Akhlah Deskriptif yaitu studi tentang akhlak yang berlaku pada setiap kelompok atau masyarakat. Akhlak Deskriptif menjelaskan prinsip-prinsip moral yang dianut oleh sesorang, suatu komunitas atau suatu agama. Metode penelitian Akhlak Deskriptif adalah empirik dan tektual, bukan referensi rasional. Studi ini hanya dimaksudkan untuk mengenali ragam prilaku moral sesorang atau suatu komunitas. Di dalamnya tidak ada penekanan persuasif, preskriptif atas seseorang untuk berprilaku atau menahan diri berdasarkan laporan-laporan dan data-datanya.

Pada dasarnya, Akhlak Deskriptif tidak membahas benar salahnya norma-norma, nilai-nilai dan hkum-hukum moral. Studi ini umumnya dilakukan oleh ahli-ahli Psikologi, Sosiologi, Antropologi dan Sejarah.

Penelitian-penelitian atas tingkah laku masyarakat Eskimo, prilaku etnis-etnis di pedalaman Afrika dan Australia serta penganut-penganut berbagai agama, masuk dalam studi Akhlak Deskriptif. “Memakan daging orang tua yang telah meninggal adalah baik bagi Kalatinian”[15], “Membunuh orang yang lanjut usia adalah baik bagi kaum Eskimo”[16], "Mengubur anak perempuan hidup-hidup adalah kehormatan di kalangan Arab jahiliyah”, atau “Meminum minuman keras adalah kebejatan dalam agama Islam”, adalah sebagian contoh kesimpulan-keimpulan studi Akhlak Deskriptif.

  1. Akhlak Normatif

Akhlak Normatif[17] yaitu studi tentang prinsip-prinsip, dasar-dasar dan metode-metode untuk menginterpretasikan konsep, arti dan esensi kebaikan, keburukan, kebenaran, kesalahan, harus, tidak boleh, dan konsep-konsep semacamnya.[18] Studi ini terfokus pada tindakan-tindakan sengaja manusia dari aspek kebaikan dan keburukannya, harus dan tidak bolehnya, tanpa ada kaitannya dengan pandangan seseorang, suatu maysarakat atau agama tertentu tentang tindakan-tindakan tersebut. Dengan kata lain, subjek Akhlak Normatif bukan lagi agama atau etnis/masyarakat, tetapi tindakan sengaja manusia. Oleh karena ityu, Akhlak normatif disebut juga dengan Akhlak tingkat pertama (first order ethics)[19]. Dan, metodologi yang digunakan didalamnya adalah inferensi rasional, bukan empirik dan tekstual.

Secara umum, Akhlak Normatif membahas dua topik besar:

A. Justifikasi dan eksplanasi rasional atas hukum-hukum universal dan nilai-nilai absolut moral, seperti baik atau harusnya keadilan, buruk atau tidak bolehnya kedzaliman.

B. merumuskan teori untuk menjelaskan kebaikan dan keharusan suatu tindakan. Misalnya, dalam sebuah aliran akhlak ditegaskan bahwa “Keadilan adalah baik” atau “harus berbuat adil”. Di sini, Akhlak normatif berusaha menemukan suatu norma sekaligus argumentasi yang mendasari dua hukum moral itu. Dalam pada itu, muncul sejumlah persoalan yang harus dituntaskan di dalam Akhlak Normatif, seperti; apakah sebab benarnya tindakan yang benar? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa tindakan itu adalah benar? Mengapa harus berprilaku baik?[20]

Banyak teori yang bermunculan di sepanjang penelitian moral manusia, seiring dengan beragamnya upaya menuntaskan persoalan-persoalan tersebut, mulai dari teori Ethical Egoism, teori General Utilitarianism, teori Kehendak Tuhan (Divine Commond Theory) , hingga Perfeksionisme.

3. Metaakhlak (Meta Ethics)

Metaakhlak dikenal juga dengan istilah Akhlak Analitik (Analytical Ethics) [21]. Metaakhlak yaitu studi filosofis atas statemen-statemen moral. Subjek studi ini bukan prilaku dan kebiasaan yang berlaku di tengah suatu suku atau kaum agamis, juga bukan tindakan sengaja/pilihan manusia, tetapi kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam Akhlak Normatif. Oleh karena itu, Metaakhlak disebut juga dengan akhlak tingkat dua (second-order ethics).[22]

Seorang peneliti metaakhlak akan bersikap netral dalam mengkaji suatu statemen moral. Baginya, “Aborsi itu bejat’ dan “aborsi itu baik” adalah dua statemen moral yang tidak berbeda. Pengamatannya atas statemen-statemen itu hanya terfokus pada konsep baik dan bejat yang termuat di dalamnya.

Istilah Metaakhlak, menurut sebagai pemikir akhlak, untuk pertama kalinya diperkenalkan di awal abad 20 oleh Neopositifisme dan sebagian tokoh-tokoh Marxisme, sehingga studi ini memisahkan diri secara lebih independen dan utuh dari Akhlak normatif[23]. Tentu, ada pula karya-karya dari filsuf-filsuf sebelum mereka yang memuat sejumlah persoalan-persoalan meta akhlak.[24]

Dalam mengukur jangkauan dan ruang lingkup studi Metaakhlak, statemen dan hukum akhlak yang dibahas di dalamnya bisa dicermati, paling tidak, dari tiga aspek:

1. Aspek Semantik

Dari aspek semantik, Meta akhlak akan mempelajari konsep-konsep yang membentuk statemen dan hukum moral, khususnya konsep-konsep yang mengambil posisi sebagai predikat di dalamnya, seperti konsep baik, buruk, harus, tidak boleh, benar, salah. Adapun subjek-subjek statemen moral, pada umumnya berupa konsep-konsep yang jelas dan aksiomatis, seperti konsep aborsi, kejujuran, bohong, membunuh. Kalaupun, secara konseptual, subjek statemen-statemen itu tidak jelas dan masih perlu pendefinisian, maka meta akhlak akan menganalisisnya dari aspek semantik, seperti analisis seputar arti keadilan dan kedzaliman. Di samping itu, Meta akhlak juga membahas semua konsep-konsep yang terdapat dalam postulat-postulat statemen moral, seperti konsep kekebasan, kepemilihan, motifasi, maksud, atau semua konsep yang muncul sebagai implikasi dari statemen-statemen tersebut, seperti konsep bahagia, puas, nikmat, senang, sempurna, untung, sukses, dan semacamnya.

2. Aspek Epistemologis

Dari aspek epistemologis, meta akhlak berurusan dengan persoalan-persoalan seperti deklaratifitas dan imperatifitas statemen moral, absolusitas dan relatifitas hukum moral, posisi dan peran akal serta inferensi induktif dalam studi-studi moral. Meta akhlak nmembahas seluruh persoalan tersebut berdasarkan metodologi falsafi dan rasional.

3. Aspek Logis

Dari aspek logis, Meta Akhlak bersingungan dengan persolan-persoalan serius seperti: apakah “harus”. sebagai sebuah konsep moral dan aksiologis, bisa dibetot dari “adalah” sebagai konsep ontologis? Apakah mungkin statemen-statemen moral bisa disimpulkan dari statemen-statemen non-moral? Secara umum, apakah relasi antara realitas dan nilai? Dan, apakah relasi di antara statemen-statemen moral itu sendiri?

FILSAFAT AKHLAK

Setelah cukup mengenal macam-macam studi akhlak, saatnya mengukur batas-batas dan ruang lingkup Filsafat Akhlak sebagai sebuah bidang ilmu. Apakah ia mencakup semua macam penelitian tersebut di atas? Ataukah terbatas pada studi Normatif dan Analitik? Ataukah ia identik dengan Metaakhlak (studi analitik)?[25]

Sebagian filsuf akhlak berpandangan bahwa filsafat Akhlak, dalam perspektif tertentu, mencakup tiga macam studi di atas. Menurut Frankena, Filsafat Akhlak pada awal mulanya adalah upaya membangun kerangka umum dalam dataran normatif. Namun, kerangka itu akan menjadi sempurna dan utuh tatkala melibatkan persoalan-persoalan analitik. Karena itu, Filsafat Akhlak juga membahas permasalahan-permasalahan MetaAkhlak. Di samping itu, ada sejumlah teori-teori dalam Psikologi dan Antropologi yang turut terlibat dalam pembahasan-pembahasan normatif dan analitik. Maka, ada sebagian pembahasan Filsafat Akhlak bersifat empirik dan deskriptif.[26]

Merujuk kepada filsuf-filsuf akhlak sebelum abad 20-an, karya-karya tulis mereka merupakan komposisi dari studi deskriptif, studi normatif dan sebagian isu analitik, seperti yang tampak pada karya-karya akhlak Plato, Aristoteles, Hume, Buthler, Kant, J.S. Mill, juga pada karya-karya ulama akhlak muslim.

Namun, jika memang Filsafat Akhlak ini berupa kajian filosofis dan rasional tentang isu-isu akhlak, maka ilmu ini tidak mencakup penelitian-penelitian deskriptif yang mengandalkan empiris dan data-data tekstual. Sesuai denagn pandangan umum pemikir dan filsuf akhlak, filsafat Akhlak hanya menghimpun permaslahan-permasalhan akhlak normatif.[27]

Ada pula sejumlah filsuf akhlak yang menganggap bahwa persoalan tentang batas-batas Filsafat Akhlak dan apakah disamping isu-isu Metaakhlak, Filsafat akhlak juga membahsa isu-isu normatif, adalah bagian dari pesoalan-persoalan Metaakhlak. Dengan ungkapan lain, luas sempitnya ruang lingkup kajian Filsafat Akhlak bergantung pada pandangan-pandangan sesorang berkaitan dnegan isu-siu MetaAkhlak dan dengan esensi statemen-statemen moral.[28]. Peneliti yang sepakat dengan Ayer dan kaum emosionalis tentang statemen-statemen akhlak,[29] tidak akan menelaah statemen-statemen itu pada tataran analitik dan secara rasional. Dengan demikian, ia akan membuang keluar isu-isu normatif akhlak dari ruang Filsafat Akhlak. Namun, bagi seorang filsuf yang memandang bahwa statemen-statemen akhlak itu membawa muatan kognitif, serta menunjukkan suatu fakta di luar, maka ia akan menempatkan isu-isu normatif akhlak di dalam Filsafat Akhlak.

R.M. Hare bersama filsuf-filsuf Filsafat Analitik membatasi pembahasan-pembahasan Filsafat Akhlak pada isu-isu Metaakhlak.[30] Mereka lebih mencermati isu-isu itu dari aspek semantiknya, ketimbang dari dua aspek lainnya; epistemologis dan logis. Kerena, isu-isu filosofis, menurut mereka, hanya bisa diverifikasi oleh analisis bahasa (linguistic analysis) dan penjelasan akan arti kata serta kalimat. Mereka mengeluarkan seluruh pembahsan psikologis dan saintis serta isu-isu normatif dari Filsafat Akhlak.[31] Ayer secara tegas menyatakan bahwa Filsafat akhlak hanya menelaah konsep-konsep akhlak serta benar salahnya pendefinisian konsep-konsep tersebut.[32]

Tampaknya, Filsafat Akhlak adalah nama lain dari Metaakhlak. Ia tidak mencakup pembahasan-pembahasan akhlak normatif dan akhlak deskriptif, karena filsafat akhlak pada dasarnya adalah penelitian atas statemen-statemen akhlak dan postulat-postulat ilmu akhlak, baik yang berupa konsep ataupun statemen. Artinya, subjek Filsafat akhlak adalah ilmu akhlak dan kesimpulan-kesimpilan akhlak normatif. Adapun isu-isu akhlak normatif sendiri tidak dibahas di dalam Filsafat akhlak.

Jadi, filsafat akhlak adalah satu bidang ilmu yang membahsa dasar-dasar dan postulat-postulat ilmu akhlak, dengan menyinggung sejumlah masalah yang berkaitan dengan peletak ilmu, tujuan ilmu, metodologi dan sejarah perkembangannya. Ilmu ini disebut juga dnegan Filsafat Ilmu Akhlak, untuk lebih memperjelas subjek penelitianya; yaitu satu bidang Filasafat yang menelaah dasar-dasar Ilmu Akhlak.[33]

ISU-ISU FILSAFAT AKHLAK

melengkapi pengenalan kita akan batas-batas dan cakupan pembahsan filsafat akhlak, di sini kita perlu mengisyaratkan isu-isu terpenting yang dibahas di dalamnya;

1. Bagaimana proses kemunculan konsep-konsep moral? Bagaimana mental manusia menagkap konsep-konsep itu? bagaimana membedakan penggunaan istilah-istilah seperti; benar, salah, harus, tidak boleh, tugas, tanggung jawab dalam studi moral dari penggunaannya dalam studi-studi non-moral? Apakah pengertian dari konsep-konsep yang digunakan dalam studi-studi akhlak seperti; intusi, kehendak bebas (free will), ingin, motifasi, tanggungjawab, akal? Apakah esensi dan fungsi hukum-hukum yang terkandung dalam istilah-istilah dan konsep-konsep moral?

2. apakah dasar-dasar kemunculan hukum dan pesan moral? Apakah hukum-hukum moral itu bersumber dari alam natural? Ataukah dari akal budi manusia? Ataukah dari kontrak sosial? Ataukah dari kehendak dan perundang-undangan Tuhan? apakah pembuktian atas validitas keharusan-keharusan dan hukum-hukum moral mesti bertumpu pada satu keharusan prinsipal ilahi?

3. isu deklaratifitas dan imperatifitas statemen-statemen moral merupakan bagian terpenting dalam pembahsan Filsafat Akhlak. Kendati statemen-statemen moral bisa dituangkan ke dalam bentuk deklaratif seperti; “Keadilan adalah baik”, juga ke dalam bentuk imperatif seperti; “harus berbuat adil!”, permasalahannya menjadi demikian serius tatkala kajian di sini mempertanyakan manakah yang prinsipiil di antara dua bentuk statemen moral tersebut?

4. apakah posisi dan peran niat atau maksud pelaku dalam tindakan-tindakan moral? Apakah statemen “kejujuran itu baik” sudah bisa dinilai kebenarannya hanya karena kesesuaiannya dengan fakta di luar? Ataukah perlu dilampirkan pula motifasi subjektif di dalam penilaian tersebut? Lebih cermat lagi, apakah hukum-hukum moral itu dilandasai oleh nilai baik buruknya tindakan saja, ataukah juga oleh baik buruknya si pelaku?

5. apakah unsur “keharusan” adalah bagian dari karakter dasar pesan-pesan dan hukum-hukum moral? Jika demikian, lalu bagaimana kaitan unsur keharusan itu dengan kepemilihan bebas manusia yang merupakan unsur lain dalam karakter dasar pesan dan hukum moral?

6. apakah hubungan antara tindakan moral dan ganjaran/balasan? Apakah mesti ada ganjaran baik di balik tindakan yang baik dan ganjaran buruk di balik tindakan yang bhbruak? Jika demikian, apakah pelaku mesti concern terhadap ganjaran di saat ia melakukan tindakannya, atau malah perhatiannya inilah yang menempatkan dirinya dalam kerangka transaksi/kontraksi, sehingga berdampak negatif pada moralitas tindakannya?

7. permaslahan Filsafat Akhlak yang tidak kurang pentingnya adalah apakah dasar-dasar suatu hukum moral? Atas dasar apa statemen-statemen moral itu dirumuskan dan dinyatakan? Bagaimana menjelaskan arti harus dalam hukum moral? Apakah metode pembuktian atas hokum-hukum moral? Mengapa harus bersikap jujur, harus berbuat adil, tidak boleh menganiaya? Apakah standar kebaikan dan keburukan suatu tindakan? Apakah kepuasan subjektif? Ataukah kepuasan kolektif? Apakah klaim Durkheim itu benar bahwa maysarakat adalah hakim yang memutuskan baik buruknya suatu tindakan? Ataukah sama sekali standar itu tidak ada kaitannya dengan kepuasan kolektif dan selera subjektif, tetapi brkaitan erat dnegan kesempurnaan hakiki dan kebahagian abadi manusia?

8. apakah hukum-hukum moral disa diverifikasi? Jika demikian, apakah verifikasi itu berlaku pada seluruh hukum-hukum moral, baik yang bersifat fundamental (basic judgement) ataupun yang bersifat turunan (derivative judgement)? Apakah benar hukum-hukum fundamental akhlak tidak perlu verifikasi dan pembuktian, sebagaiman dalam klaim Intusionisme? Adakah perbedaan di antara pembuktian dalam akhlak dan pembuktian di luar akhlak? Apakah jenis pembuktian dalam akhlak? Apakah berupa demonstrasi, dialektika atau selainnya?

9. apakah setiap masyarakat mesti menganut sistem nilai yang khas bagi dirinya, ataukah semauanya hanya punya satu sistem nilai dan satu rangkaian hukum moral? Apakah moralitas masyarakat feodal mesti berbeda dengan moralitas maysarakat borjuis? Apakah hukum-hukum moral sebuah komunitas itu stabil atau berubah-ubah seiring dengan jatuh bangun riwayat perjalanannya? Artinya, apakah nilai-nilai noral iru absolut ataukah relatif?

10. salah satu pembahsan terpenting dalam Filsafat Akhlak adalah relasi Akhlak dengan bidang-bidang pengetahuan lainnya seperti: sains, hukum, agama, dan kontrak-kontrak sosial. Apakah akhak terpisah dari agama? Mungkinkah sistem nilai itu tegak kokoh tanpa agama? Apakah relasi antara sains dan akhlak? Bisakah niali-nilai dan hukum-hukum akhlak dibetot dari data-data sains? Apakah keduanya sama sekali berbeda, sehingga tidak ada satu hukum moral pun yang bisa diverifikasi oleh seribu satu pembuktian ilmiah? Apakah relasi antara akhlak dengan hukum positif dan perundang-undangan, kontrak-kontrak sosial dan konsensus-konsensus politik? Adakah kesamaan dan perbedaan di antara mereka?

KEDUDUKAN FILSAFAT AKHLAK

Tidak syak lagi, bahwa akhlak dan pembinaan jiwa adalah sangat penting. Salah satu faktor terpenting dalam pencapaian kebahagian dunia dan akherat adalah akhlak mulia, membersihkan diri dari sifat-sifat buruk dan berusaha menyandang sifat-sifat terpuji. Dalam Islam, Akhlak merupakan permaslahan terpenting setelah Tauhid dan Nubuwwah. Melalaikan Akhlak acapkali memberangus dasar-dasar keyakinan seseorang. Dalam sebagian ayat, Al-qur’an menerangkan adanya sejumlah kebiasaan dan sifat buruk yang menjadi kendala besar untuk beriman kepada Tuhan. dalam kaitannya dengan kaum Nasrani Najran, rasulullah saww berkata: bukan karena mereka itu tidak tahu akan kebenaran Islam, tetapi hanya karemna kesuakaan mereka pada minuman keras dan daging babi. Disini tampak jelas hubungan erat antaera akhlak dan akidah[34]. Berapa banyak akhlak yang baik yang dapat menunjukkan pelakunya kepada kebenaran, juga tidak sedikit akhlak yang buruk yang menyesatkannya pelakunya dari hidayah.[35]

Akhlak dalam Islam adalah ilmu yang sangat mulia. Al-qur’an menyatakan bahwa pembinaan akhlak dan menyucian jiwa merupakan salah satu tujuan diutusnya para rasul dan nabi[36]. Nabi Muhammmad saww dalam sebuah hadis yang amat populer menegaskan bahwa tujuan kenabiannnya adalah untuk menyempurnakan kemulian-kemulaian akhlak[37].

Menurut Islam, akhlak adalah salah satu ajaran fundamental disamping akidah dan syariat (hukum-hukum fikih). Ia adalah jalan hidup (way of life) dan arah gerak yang lurus menuju kesempurnmaan sejati. Ia yang membimbing manusia untuk selalu berhubungan dengan Tuhan. oleh sebab ini, para ulama dan pemikir islam mencurahkan perhatian mereka secara lebih khusus kepada akhlak. Di dalam setiap masyarakat muslim selalu ada ulama-ulama yang membina anggota-anggotanya dengan menerapkan ritual-ritual yang membuat akhlak tetap hidup di tengah-tengah mereka. Bahkan, mereka menuangkan ajaran dan arahan itu dalam karya-karya seperti: rasail ikhwanussh-shafa wa khillanul wafa’, as-sa’adah wal is’ad fil sirah insaniyah, tahdzibul akhlaq wa tathirul a’raq, ihya ulumud-din, al-muraqobat fi a’malis-sunnah, jamius-sa’adat, dan lain sebagainnya.

Kendati demikian, kajian-kajian yang berkaitan dengan akhlak kurang berkembang dibandingkan dengan kajian-kajian di bidang teologi, fikih atau di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Berbagai faktor dan kendala sosial, psikologis, teologis, sebagaiamana yang dilaporkan Ghazali tentang situasi jamannya[38], turut mengisolir total pembahasan-pembahasn/studi-studi akhlak dari kaum muslimin.

Yang pasti, sedikit sekali upaya-upaya yang curahkan pada studi-studi yang berkaitan dengan Filsasafat akhlak, sehingga jarang sekali ditemukan pandangan-pandangan ulama dan pemikir akhlak Islam. Padahal secara logis, persoalan-persoalan Filsafat Akhlak, sebagai disiplin ilmu yang membahas dasar-dasar ilmu akhlak, mesti ditelaah tebih dahulu sebelum masuk pada tema-tema Ilmu Akhlak.

Sebaliknya di negara-negara Barat. meski nilai-nilai aklak di sana rapuh dan redup, namun banyak karya-karya yang ditulis berkenaan dengan akhlak, khususnya Filsafat akhlak yang merebut panyak peminat dari kalangan akademis. banyak kajian-kajian penting dan luas yang telah mereka lakukan, walaupun ada banyak kerancuan dalam meneliti beberapa masalah falsafat akhlak. Munculnya aliran-aliran akhlak yang beragam menegaskan bahwa pemikir-pemikir akhlak di sana masih belum menemukan landasan yang kuat dalam memecahkan permasalahn-permasalahn di bidang ini.

LATAR BELAKANG

Filsafat akhlak adalah satu bidang ilmu yang baru tersusun dan berdiri secara mandiri. Usianya tidak lebih dari satu abad. Banyak pemikir yang meyakini bahwa ilmu ini mulai diperkenalkan dengan terbitnya Principia Ethica, karya george Edward Moore pada tahun 1903 M. tentunya, ada pembahasan-pembahasan filsafat akhlak yang dibahsa oleh pemikir-pemikir sebelum Moore di dalam karya-karya akhlak dan falsafi mereka secara acak dan seporadis. bahkan, berdasarkan data-data akurat sejarah, bidang yang paling menyita keseriusan kalangan filsuf dan pemikir adalah akhlak dan isu-isu nya.

Demikian pula di alam pemikiran islam. pembahasan-pembahasdaan filsafat akhlak tidak pernah membentuk menjadi satu disiplin ilmu secara utuh. Bahkan, tidak addax satu karya atau risalah pun yang ditulis dengan nama ini dikalangan ulama-ulama terdahulu. demikian ini tidak beraarti mereka tidak pernah membahas permasalahan-permasalan filsaafat akhlak di sela-sela penelitian falsafi dan teologis. Bahkan banyak ditemukan suibjek-subjek penting filsafat akhlak yang dikaji oleh ulama dan filsuf muslim di dalam karya-karya falsafi, teologis, usul fikih. Kajian-kajian itu terus berkembang dan menjadi rangkaian persoalan-persoalan filsafat akhlak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Peersolan-persolan seprti Husn wa qubh dzati yang diperdebatkan secara sengit oleh ulama-ulama teolog As'ariyah, Mu'tazilah dan Syiah, serta dikaji secara terperinci dalam literature falsafi, teologuis, bahkan juga dalam usul fikih belakangan ini. Persoalan akal teoritis dan akal praktis yang dibuka dalam psikologi falsafi, persoalan I'tibariyat dalam filsafat prima dan usul fikih, persoalan semantika dan pertentangan antarinferensi (ta'arudul adillah) dalam usul fikih, persolan masyhurat dan proposisi-proposisi moral dalam teologi dan usul fikih, semua itu berkaitan erat dengan filsafat akhlak. Berbagai teori dan pendapat ulama seputar persoalan-persoalan itu turut mempercepat kelahiran ilmu ini. Kendati demikian, mereka tidak bermaksud untuk menysusn satu bidang ilmu di balik kajian-kajiannya, sehingga terjadi ketimpangan dan inkonsistensi dalam pandangan-pandangan mereka.

URGENSI STUDI FILSAFAT AKHLAK

Barangkali sebagian menduga bahwa membincangkan persoalan-persoalan rasional Filasafat Akhlak adalah upaya sia-sia, khususnya bagi kaum muslim yang percaya pada wahyu ilahi, sabda Nabi dan arahan-arahan para Imam yang suci. Tatakala mereka telah mengajarkan jalan hidup yang lurus dan akhlak mulia, untuk apa mempersoalkan isu-isu teiritis, rumit dan menjemukkan. bukankah tujuan hidup yang sesungguhnya adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia dan membersihkannya dari sifat-sifat terhina. Lalu aap untungnya membahas, mendefinisikan dan menganalisis konsep-konsep akhlak, melacak asal usus kemunculannya, memberdebatkan deklaratifitas atau imperatifitas statemen-statemen moral?

Kegemasan di atas pada batas-batas tertentu, sangat bisa diterima dan logis. Jelas bahwa kewajiban kita adalah melaksanakan ajaran-ajaran Islam, dan satu-satunya jalan keselematan dan kebahagian dunia dan akhirat adalah mengikuti arahan-arahannya. Juga jelas bahwa seindah-indahnya kajian rasional tidak akan mampu dengan sendirinya mempersembahkan akhlak mulia dan kebagaian hakiki. Yang perlu diingat disini adalah bahwa kaum muslim, sebagai pengikut akhlak quranik dan penyampai risalah Islam, harus mampu menjelaskan prinsip-rinsip dan dasar-dasar akhlak quranik itu secara sistematis dan rasional, dan mampu mempertahankannya di hadapan aliran-aliran moral yang beredar dan berkembang. Tentunya, peran ini menjadi mungkin terealisasi lewat pendalaman studi-studi atas isu-isu falsafat akhlak. Upaya melakuan klarifikasi dan pembenaran rasional atas dasar-dasar nilai akhlak islam menjadi sulit, jika tidak mengenal terlebih dahulu akan pandangan islam berkaitan dnegan isu-isu filsafat akhlak.

Demikian ini tidak hanya perlu bagi filsafat akhlak, tetapi juga bagi setiap isu-isu falsafi, teologis, social, ekomini, menegemen, psikologi dan selainnya. Dalam persolan eskatologi misalnya, setiap pengikut agama meyakini bahwa manusia akan dibangkitkan kembali setelah kematiannya dan dipertanggungjawabkan kehidupan dunianya. Masalah besar ini menjadi nihil dan tidak berarti bagi kaum ateis, kecuali dengan melampirkan argumentasi rasional. Begitu pula dalam bidang ekonomi. Seorang ekonom muslim mampu menjelaskan suisitem ekonomi Islam dan membuktian keunggulannnya atas sisitem-sistem lainnya secara ilmiah daan rasional. Jelas, hanya metodologi dan Analisa-analisa ilmiah dan rasiaonal yang bisa membantu mempertahannkan dasar-dasar ekonomi dan nilai-nilainya.



[1] Thaharotul A’raq, Abu Ali Miskaweih, hal. 57-58.

[2] Biharul anwar, Allamah Majlisi, 67/372

[3] feydh Kasyani, al-haqoiq, hal. 54, mahajjatul baidho’, 5/95

[4] W.Frankena, Moral Philosophy, hal.28

[5] ibid, hal.144.

[6] Morality, its Nature and Justification, p.8

[7] dar omadi bar falsafeye akhlak, hal. 16

[8]ahklak-e Nashiri, hal.14

[9] dalam bahasa Inggris, kata ethics dan morality digunakan untuk akhlak. Kata ethics berasal dari ethos; satu kata Yunani yang berarti karakter. Adapun kata morality berasal dari kata mores, bahsa latin yang berarti adat dan tradisi.(Ethics and Morality, in Encyclopedia of Ethics v.1/329)

[10] akhlak, pierjaneh, 53)

[11] falsafaeh akhlak (hikmat amali), jacks, p.9

[12] osynoie bo ulume islomi , murtadho mutahari, 2/190. naqdi bar marxism p.188-189

[13] falsafeh akhlak, mudarresi, p. 17, jamiussa’aadat, Niraqi, J.1/9-15)

[14] falsafeh akhloq, W.Frankena p.25-26. Masaleh Boyad va Hast, Muhsen Jawwadi p.15-18. Introductory Reading in Ethics, p.1

[15] sebuah etnis di India. The Elements of Moral Philosophy, p.15

[16] ibid, p.16

[17] dalam sebagian literatur, studi ini juga dikenal dengan istilah Substantif Ethics. Lihat Problems of Ethics, in Encyclopedia of Philosophy, Paul Edward, 3/118

[18]Problems of Ethics, in Encyclopedia of Philosophy, Paul Edward, 3/121-122

[19] Philosophical Ethics, p.9

[20] untuk pengenalan lebih luas tentang akhlak Normatif, bisa merujuk kepada Normatif Ethics, ShellyKagan, p.1-11

[21] Penelitian ini juga disebut dengan Ethics Theoritical, Philosophical Ethics, The Logic of Ethics, Analytical Ethics, Critical Ethics, Epistemology of Ethics. Lihat Problems of Ethics, in Encyclopedia of Philosophy, p.3/118

[22] Philosophical Ethics, p.9

[23] A Dictionary of Ethics, p.260

[24] jurnal Ma’rifat, no.15, hal 48, makalah negaresye kulli be falsafeye akhlak).

[25] Problems of Ethics, in Encyclopedia of Philosophy 3/118-121

[26] Falsafeh Akhlaq, W.Frankena, p.27

[27] jurnal Ma'rifat, no.15, makalah Negaresye Kulli bar Falsafeh Akhloq.

[28]Masaleh-e boyad va hast, p.19-20, al-akhlaq wal aql, adil dzahir, p.24

[29] Menurut ayer dan kaum emosionalis, statemen-statemen moral itu kosong dari muatan kognitif , tidak ada makna dan arti apapun yang terkandung di dalamnya. Statemen-statemen itu sekedar ungkapan-ungkapan emosi pembicara untuk tujuan tertentu, misalnya menciptakan kesan pada audien.

[30] Meta Ethics, David Copp, in Encyclopedia of Ethics, p.790-791

[31] Falsafah Akhlak, W.Frankena, p.27

[32] Language, Truth and Logic. A. Ayer. P. 138-139

[33]Omuzesy-e Falsafeh, M.T.Misbah Yazdi, 1/69

[34] Jurnal Ma’rifat no.14 makalah akhlak dar quran.

[35] Jurnal Ma’rifat, no.13 makalah akhlak dar quran.

[36] Al-jumuah/2

[37] biharul anwar, majlisi, juz.67. bab59 hadis no.18

[38] ihya ulumud-din, Ghazali, J1/10

Tidak ada komentar: