Selasa, 08 Maret 2011

ESENSI KONSEP AKHLAK (3) BAIK DAN BURUK

ESENSI KONSEP AKHLAK (3)

BAIK DAN BURUK

Telah diisyaratkan bahwa konsep-konsep yang berlaku sebagai predikat statemen-statemen moral terbagi kepada dua macam; konsep obligatif (ilzami) dan konsep evaluatif (arzesyi). Pada pasal sebelumnya, kita telah membahas secara terperinci konsep-konsep obligatif, yaitu harus dan jangan/tidak boleh. Di sini, kita akan mempelajari konsep-konsep evaluatif. Dan, kerena dasar konsep-konsep evaluatif ini terbentuk dari konsep baik dan konsep buruk, karena seluruh konsep seperti benar, salah, atau konsep-konsep yang sepadan dengan konsep baik dan buruk, dan karena segala konsep yang pada akhirnya mengacu pada konsep baik dan konsep buruk, kita di sini akan menfokuskan kajian kita pada pembahasan ke-baik-an dan ke-buruk-an.

Permalasahannya adalah apakah kebaikan itu? apakah konsep ini objektif ataukah subjektif? Apakah ia realitas objektif ataukah konvensional dan buatan? Apakah ia berupa konsep universal esensial ataukah berupa konsep universal falsafi? Apakah subjek kebaikan itu? hal-hal apakah yang bisa disebut baik? Apakah baik itu sekeadar sifat tindakan-tindakan moral ataukah ia juga sifat untuk hal-hal nonmoral/ entitas-entitas di luar? Bagaimana membedakan pengunaan istilah baik dalam moral dari pengunaannya dalam selain nonmoral? Apakah asal usul kemunculan konsep baik dan konsep buruk itu? Apakah berasal dari kehendak dan selera pribadi ataukah dari perintah dan larangan sosial, atau berasal dari perintah dan larangan Tuhan? ataukah harus diseklidiki asal usulnya dari relasi-relasi konkret/faktual antara tindakan-tindakan manusia dengan kesempurnaan sejatinya.

BEBERAPA ANALISIS ATAS KEBAIKAN DAN KEBURUKAN

Sebagian berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas , dengan analisis linguistik atas konsep baik, konsep buruk dan konsep-konsep yang semacamnya. Mereka mengatakan bahwa dalam bahasa Arab, kata Al-khoir yang berarti kebaikan adalah seakar kata dengan kata ikhtiyar, yang berarti memilih/kepemilihan. Secara leksikal, kata Al-khoir yaitu apa saja dipilih dan dikehendaki manusia. Maka, apa saja yang diinginkan manusia adalah baik. Dengan kata lain, kebaikan yaitu sesuatu atau tindakan-tindakan yang berasal dari pilihan dan keinginan manusia. Sebagaimana yang ditegaskan Boruch Spinoza (1632-1677): “Kita tidak menginginkan sesuatu karena kita meyakininya sebagai kebaikan, tetapi sebaliknya, sesuatu itu kita sebut baik karena kita menginginkannya. Tentunya, segala sesuatu yang kita benci, kita sebut buruk”[1]. Dalam kesempatan lain, ia mengatakan: “Kita mencari, menginginkan dan berusaha mendapatkan sesuatu bukan karena kita menganggapnya baik, tertapi sebaknya, karena kita menginginkan, berusaha dan mencarinya, maka menyebut sesuatu itu baik”[2] .

Banyak dari para filsuf dan ahli-ahli bahasa muslim yang juga mendefinisikan kebaikan sebagai sesuatu yang didambakan oleh semua orang.[3]. Atau sebagai sesuatu yang disukai oleh setiap manusia[4]. Definisi senada tampak dalam sebagian kaya-karya Arestoteles (384-322 SM). Dalam Nichomakhucian Ethica, ia mengatakan “Benar yang mereka katakan bahwa kebaikan adalah segala sesuatu yang menarik dan disukai oleh setuiap orang.[5]

Tentang kemunculan konsep baik dan buruk, sebagian ahli mengatakan bahwa kata baik kemungkinan besar pada mulanya diletakkan untuk keindahan-keindahan fisikal yang bisa diindera. Artinya, ketika manusia melihat sebagian dari mereka mempunyai penampilan fisik -khususnya wajah- yang mempesona, penampilan itu menyebabkan kecenderungan jiwa kepadanya. Mereka mengunakan kata baik atau indah untuk konteks demikian ini. Artinya, mereka yang merasa senang dan puas dengan melihat penampilan tampan akan menyebutnya baik dan indah, dan orang-orang yang mereka lihat dengan rasa benci dan jijik, akan menyebutrnya buruk. Lalu pada tahapan berikutnya, kata baik dan kata buruk ini digunakan pada segala sesuatu yang sesuai dengan tujuan hidup sosial mereka. Tegasnya, kata ini digunakan dalam rangka kebahagian manusia dan memberdayakan hidupnya. Seperti adil, kebajikan, berkata jujur, karena keseuaiannya tindakan–tindakan ini dengan kebahagian manusia dan fungsinya sebagai sarana-sarana pemberdayaan dan pemanfaatan kehidupan sosial, maka mereka menyifati tindakan-tindakan dengan sifat baik. Sebaliknya, segala hal seperti kedzaliman, penganiayaan, dusta dan khianat, mereka menyebutnya dengan sifat buruk atau jelek.

Terlepas dari benar salahnya analisis linguistik demikian ini, pada dasarnya studi-studi kebahasaan/pilologis dan analisis-analisis yang masih belum pasti berkenaan dengan kemunculan kata baik dan buruk ini, bukanllah metode yang tepat dalam mempelajari persoalan-persoalan rasional dan falsafi berkenaan dengan hakikat konsep baik dan buruk ini. Karena, bisa saja seseorang mengklaim dengan mudah sebaliknya, bahwa pilihan dan kecondongan seseorang terhadap sesuatu adalah disebabkan dari keyakinannya akan baiknya sesuatu itu, artinya ia condong dan memilih sesuatu itu, di mana pada tahapan sebelumnya ia meyakininya sebagai kebaikan (yang baik).

Lebih dari itu, dengan mengandaikan analisis-analisis linguistik seperti di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa peletak kata ini pada awalnya mengamati arti ikhtiyar (memilih), lalu berdasarkan pengamatan itu ia meletakkan kata khoir (yang baik). Atau, kata baik pada awalnya diletakkan untuk arti-arti keindahan yang terindera, lalu mereka mengeneralisasikan pengunaannya pada keindahan-keindahan spritual/ metafisik dan moral. Padahal, analisis semacam ini tidak membantu banyak dalam pemecahan masaalah-masalah rasional dan falsafi. Maka, pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan terdahulu tetap saja belum tertuntaskan.

KONSEP INDAH DAN JELEK PADA HAL INDERAWI

Untuk memahami secara benar pandangan-pandangan yang berkaitan dengan konsep baik moral, sangat tepat sekali terlebih dahulu mengisyaratkan pada pandangan-pandangan terpenting ahli Estetika berkenaan dengan konsep indah dan jelek pada hal-hal inderawai. Apakah yang dimaksud dari indah dan jelek dalam statemen seperti “Bunga ini indah” atau “Pemandangan itu jelek”? Apakah indah dan jelek itu suatu hal objektif ataukah subjektif; yang bergantung pada cara pandang individu? Dengan kata lain, apakah dua konsep itu adalah arti-arti yang objektif ataukah sebjektif? Jika objektif (suatu entitas objektif), bertanyaan berikutnya adalah apakah keduanya berupa konsep2 esensial ataukah konsep falsafi?

Secara umum, ada tiga pandangan besar berkenaan dengan keindahan dan kejelekan:

  1. Objektifitas Keindahan dan Kejelekan

sebagian menganggap bahwa keindahan adalah suatu hal objektif. Ia berupa konsep esensial.[6] Artinya, mereka meyakini sebagaimana di alam luar ada hal-hal konkret seperti warna, bentuk, adapula sifat /kualitas objektif yang bernama kindahan dan kejelekan. Sekalipun indera manusia tidak menangkap arti keindahan itu, tetapi akal dibantu oleh indera pandang bisa memahami bahwa selain warna dan bentuk, ada satu sifat objektif lain pada bunga yang disebut dengan keindahan, persis yang diyakini olehs eluruh filsuf kerkaitan dengan perihal substansi. Mereka mengatakan bahwa sekalipun indera secara independen tidak bisa membuktikan realitas substansi, tetapi akal mansuia dibantu dnegan indera-indera lain bisa memahami bahwa ada sesuatu di alam luar yanga menjadi sandaran/pijakan hal-hal aksidental. Oleh karena itu, sekalipun kita tidak bisa mengindera arti keindahan secara langsung, namun keindahan itu punya objektifitasnya di luar, dan kita bisa menemukannya tanpa perlu pada perenungan rasional. Tentunya, harus dicamkan pula bahwa statemen-statemen yang kita gunakan untuk menjelaskan objektifitas keindahan ini seringkali menyesatkan, misalnya saar kita mengatakan, “karya lukis orang ini adalah indah”. Karena, statemen demikian ini menyiratkan di pikiran kita bahwa seorang pelukis menciptaklan keindahan di satu tempat yang sebelumnya tidak pernah ada di dalamnya, padahal peran pelukis itu tidaak lebih dari menorehkan ujung koas yang bercat pada kanvas sehingga tampak keindahan di permukaannya. Dengan ungkapan lain, sebagimana halnya seorang ilmuwan tidak bisa menciptakn satu realitas objektif di luar, ia hanya menyingkapnya, begitupula seorang seniman ia bukan pencipta keindahan, tetapi penyingkap keindahan.[7]

  1. konsep falsafi

sebagaiman yang dianut olehs ebagian ahli2 estetika berkenaan dengan hakikat keindahan, pandangan kedua ini menegaskan bahwa kendahan adalah konsep universal falsafi.[8] Artinya, mereka meyakini bahwa konsep keindahan seperti konsep sebab dan akibat yang ditangkap mental manusia berkat pengamatan dan komparasi akal.

Menurut mereka, sekalipun keindahan itu sifat untuk entitas-entitas di luar, tetapi ia bukan seperti bentuk, warna yang punya realitas konkret. sebagaiamna yang telah isyaratkan, kendati arti keindahan berada di mental, tetapi ia pun adalah sifat untuk realitas objektif di luar. Herbert Reid mengatakan: manusia akan merespon dan mereaksi setiap bentuk, permukaan (sath) dan kepadatan sesuatu yang terindera olehnya. Sebagian penataan dalam warna dan kesesuaian, keharmonisan bentuk, permukaaan dan volumenya (hajm) pada sesuatu bisa menimbulkan rasa puas dan senang pada seseorang. Sementara, ketiadaan penataan2 itu bisa menyebabkan ketakpeduliaan dan keterusikan. Indera yang menemukan /menangkap kondisi2/realsi-relasi yang menyenangkan itulah indera estetika, istilah yang biasa dikontraskan dengan indera kejelekan.[9]

  1. Konsep Emosional

pandangan ketiga yang menghimpun banyak tokoh Estetika, beranggapan bahwa keindahan adalah hal subjektif dan hanya berkaitan dengan perasaan dan emosi seseorang.[10] Ia tidak punya objektifitas di luar. Menurut mereka, manusia sedemikian rupa diciptakan sehingga ketika melihat sebagian entitas di luar, meraka menemukan makna keindaha9n, dan ketika melihat sebagian entitas lainnya mereka menemukan konsep jelek. Begiti pula, saat berhadapan dengan entitas2 lainnya, mereka menemukan makna-makna yang berbeda dan beragam. keindahan adalah suatu hal yang subjektif yang bergantung pada hasrat, minat, keinginan, selera subjektif, dan keadaan2 emosional seseorang. Keindahan bergantung pada seorang pengindera, . ia bukan berupa sifat/entitas yang bisa diindera. Atau katanya S.D. Ross, keindahan ada pada mata pelihat/pengindera.

Berdasarkan pendapat ini, keindahan betul-betul suatu hal yang relatif. Bisa saja sesuatu menurut pandangan eseorang itu indah, namun menurut pandangan oranbg lain adalah jelek. Atau pada suatu masa, sesuatu itub bagi seuatu kelompok jelek, tetapi pada masa lain bagi kelompok yang sama ia tampak indah. Begitu pula makna keindahan bisa berubah-ubah hanya dengan letak geografis yang berbeda. Apa saja yang tampak indah di ingggris, tidak mesti juga indah di india.[11] keika seseorang mengatakan bahwa penadangan itu indah, ia hanya ingin mengambarkan selera dan perasaan pribadinya berkenaan dengan pemandangan tertentu. banyak hal yang tampak jelek dalam pandangan kita, tetapi bagi sebagian binatang mungkin tampak indah, seperti dalam perihal makanan dan bebauan. Atau, sesuatu itu indah dalam pandangan manusia kulit putih, tapi itu malah jelek dalam pandangan kulit hitam. semua ini menunjukkan bahwa keindahan adalah subjektif, emosional dan bergantung pada selera masing-masing. Kita tidak akan menemukan jejak-jejak faktualnya di alam luar. Oleh karena itu, statemen-statemen yang mengandung konsep indah dan jelek tidak bisa diverifikasi kebenaran daan kesalahannya. Jika seseorang mengatakan bunga itu indah, ia tidak bisa mengklaim bahwa statemennya itu benar atau salah, karena statemen itu hanya sekedar menjelaskan perasaan subjektfinya dalam merespon satu kualitas bunga.

PANDANGAN-PANDANGAN SEPUTAR BAIK DAN BURUK MORAL

Dengan mencermati pertanyaan tersebut diawal pasal, pada hakikatnya kita tengah berusaha merumuskan satu definisi leksikal untuk kata baik dan buruk atau yang sekonotasi dengannya. Artinya, kita akan menganalisis kata-kata yang bisa menjadi alternatif kata baik. Lebih jelas lagi, kita lebih menganalisis kata baik secara fenomenologis, bukan secara linguistik. Tentunya, setiap pandangan/paham moral mempunya satu teori dan definisi dan interpretasi khas berkenaan dengan konsep baik dan buruk. Bahkan, banyaknya dandangan2 yang beragam berkenaan dengan konsep baik dan buruk sebanyak paham-paham moral yang muncul di sepanjang pemikiran mansuia.

Faktor terpenting terjadinya perbedaan di antara mereka adalah pemaknaan yang berbeda atas konsep baik dan buruk. Paham-paham seperti: Hedonisme, Utilitarianisme, Sosiologisme, Evolusionalisme, Intusionisme, Fungsionalisme, Teori Kehendak Tuhan (Divine Commond Theory), masing-masing mempunyai definisi dan penafsiran tertentu atas baik dan buruk moral, sebagaimana yang akan kita bahsa secara terperinci pada pembahasan2 yang akan datrang.

Adapun secara umum, kita bisa mengjkategorkan pandangan-pandangan itu ke dalam lima kelompok:

  1. Objektifitas

sebagian dari filsuf akhlak berpandangan bahwa konsep baik dan buruk itu berupa konsep-konsep sesensial; ia punya objektifitas di alam luar. Sebagian tindakan manusia seperti keadilan, kejujuran adalah objek-objek konkret. Sebagian tindakan lainnya seperti; kedzaliman, khianat dan bohong juga membawa sifat khas yang disebut dengan jelek, ia bukan berupa hal- hal yang bisa disentuh oleh indera, sehingga bisa dipersepsi oleh indera. Tetapi, akal manusia bisa menemukan konsep/arti baik dan buruk dengan bantuan indera, tanpa mesti melakukan suatu usaha pengolahan dan perenungan.

Pandangan ini mendapatkan dukungan besar dari filsuf2 besar seperti Nelson[12], Copleston[13], G.E.Moore[14]. filsuf yang terakhir ini meyakini bahwa konsep baik menjelaskan kualitas/sifat objektif yang melekat pada entitas dan tindakan. Tentunya, perangkat untuk menemukan konsep ini adalah kesaksian/intuisi akal, bukan indera eksoterik. karena ini pula aliran moralnya disebut juga dengan Intusionisme. Lagi-lagi meneurutnya, konsep baik adalah konsep yang jelas dengan sendirinya, sederhana dan tidak bisa didefinisikan. Katanya, jika saya ditanya “apakah yang baik (kebaikan) itu?” saya akan menjawab, "baik adalah baik". Hanya ini yang bisa dinyatakan untuk arti baik. Dan, saya ditanya, "bagaimna kebaikan itu didefiniskan?", saya akan meniawab, "kebaikan tidak bisa didefinisikan", inilah jawaban final yang bisa diberikan.[15]

atas dasar itu, Moore menganggap bahwa konsep baik merupakan asas/basis bagi seluruh konsep-konsep evaluatif dan obligatif moral, yang seluruhnya hanya bisa didefinisikan dengan dirujukan kepada konsep baik ini. misalnya dalam mendefinisakan definisi tugas, ia mengatakan: yaitu suatu tindakan yang lebih bisa menciptakan kebaikan di dunia ketimbang alternatif2 mungkin lainnya. [16]

Bartrand Russell (1872-1970) yang juga pernah dibayang-bayangi secara kuat oleh pandangan Moore, beranggapan bahw baik dan buruk adalah sifat-sifat yang melekat pada entitas-entitas, yang bersifat objektif madiri dari persepsi kita, persis dengan konsep kotak atau bulat yang ada di alam luar. [17]

  1. Simbol Emosionalitas

pandangan kedua berkenaan dengan konsep baik dan buruk mirip dengan pandangan ketiga tentang konsep keindahan dan kejelekan. Mereka menyakini bahwa manusia diciptakan dengan membawa kecondongan emosional dan perasaan khasnya dalam dirinya, yang masing-masing atau keseluruhannya atau ekses-eksesnya merefleksikan tindakan2 tertentu. Artinya, ada semacam kesesuaian yang khas di antara sebagian tindakan dan keinginan2 seseorang, sehingga tuindakan2 itu bersifat baik. Adapula sebagian tindakan yang tidak sesuai dan tidak srek dengan bawaan emosinalnya, sehingga ia disifati buruk

walhasil, konsep baik dan buruk, hanya mengungkapkan corak-corak emosi dan perasan individu, tanpa ada kaitannnya dengan realitas objektif di alam luar. Ia bukan sifat faktual yang melekat pada entitas atau tindakan. Ia juga tidak menjelaskan satu sifat yang riil di luar. Ia bukan sifat yang bisa predikasikan pada hal-hal itu, juga bukan sifat yang bisa lepas dari mereka.

"adanya satu symbol moral dalam sebuah proposisi/statemen, tidak menambah data apapun pada kandungan kognitifnya. Misalnya, jika saya mengatakan kepada seseoranmg "kamu telah melakukan perbuatan buruk yaitu mencuri uang", di sini saya hanya mengatakan, "Anda telah mencuri uang". Kata-kata "Kamu telah melakukan tindakan buruk" tidak memberi satu pesan/ informasi khas pada statemen di atas tadi. Dengan kata-kata itu saya hanya ingin mengesankan/mengungklapkan ilegalitas moral, sikap ketidaksetujuan moral saya, persis dengan saat saya mengatakan "Kamu telah mencuri unag" dengan nada/aksen keheran-heranan atau sinis, atau persis saat saya menuliskan statemen itu dnegan menambahkan tanda seru. Nada sinis atau tanda seru tidak menambah makna pada statemen itu. Ia hanya menjelaskan bahwa pernyataan statemen tersebut itu disertai oleh emosi-emosi si pembicara.[18]

  1. I'tibar (Konvensi)

Pandangan ketiga adalah bahwa baik dan buruk adalah arti konvensional dan penetapan. Seseorang atau suatu kelompok yang melihat suatu perbuatan yang seusai dengan maksud, tujuan dan kepentingannya, mereka akan mengjkonvesikan dan menetapkannya sebagai kebaikan. Atau, setaip perbuatan yanag tidak sessuai dengan kehendak dan kepentingannya, dikonvensikan sebagai keburukan. Dengan kata lain, baik buruk moral seperti konsep posesi, pernikahan, kepemimpinan dibahas dalam dalam Yuresprudensi/ilmu hokum, yang tidak ada objektifitasnya di luar, dan tidak ada kecenderuangan alamiah pada diri manusia kepada hal-hal tersebut, tetapi hanya sekedar hal-hal buatan yang ditetapkan oleh individu atau suatu komunitas berdasarkan alas an-alasan atau motivasi-motivasi yang bermacam-macam.

4. Kehendak Tuhan (divine commond theory)

berdasarkan teori ini, tindakan-tindakan manusia -terlepas dari kaitannya dengan ketetapan Tuhan- sama sekali netral kaitannya dengan baik dan buruk. Teori yang dikenal dalam teologi islam sebagai husn wa qubh syar'I, mempunyai latar belankang sejarah yang panjang. Permasalahan baik buruknya tindakan, sejak jaman filsuf Yunani kuno secara serius dibahas dan ditelaah. tinjauan sekilas pada dialog antara Soktares dan Asiphronus, menjelaskan dengan jelas masalah ini.

Dalam dialog tersebut, Asiphranus mengklaim bahwa perintah tuhanlah yang menyebabkan suatu tindakan itu menjadi baik. Sokrates bertanya kepadanya "apakah karena sesuatu itu diperintahkan Tuhan maka ia menjadi baik, ataukah karena sesuatu itu sendiri baik maka tuhan memerintahkannya?" Asiphronus menjawab, "karena sesuatu itu sendiri adalah baik maka tuhan memerintahkannnya".[19] Demikian ini persis dengan yang diperdebatkan secara serius dan mendalam oleh kalangan teolog dan filsuf muslim.

Akhir-akhir ini, kaijan sebagian sebagian ulama-ulama ternama syiah[20] terhadap permaslahan itu menyemarakkan kembali isu ini, dan mendulang banyak pemecahan-pemecahan atas sebagaian kerancuan2 yang membelitnya. Kendati demikian, permaslahan itu sampai sekarang masih perlu dikaji secar lebih getol lagi.

Latar belakang permaslahan dalam pemikiran Islam

Kaum teolog muslim dalam mmenghadapi isu ini, dari sejak awal mereka terpacah kepada dua kelompok besar; kelompok Adliyah yang menghimpun Syiah, Mu'tazilah,[21] dan sebagaian Hanafiyah[22], yang menyakini bahwa baik dan buruk adalah sifat substansial/instrinsik tindakan. Akal manusia dengan sendirinya mampu menyingkap baik buruknya sebagian tindakan-tindakan. Adapun perintah dan larangan Tuhan hanya bersifat penunjuk akan fakta objektif di luar. kebaikan suatu tindakn yang baik, terdapat dalam esensi tindakan itu, oleh karena itu tuhan memerintahkan untuk melakkukannya. Dan, keburukan suatu tindakan tang buruk adalah bagian esensinya, oleh karena itu Tuhan melarangnya.

Kelompok kedua adalah Asy'ariyah.[23] Mereka menyatakan bahwa perintah dan larangan Tuhanlah yang membuat tidankan-tindakan menjadi baik atau buruk. Kebaikan dan keburukan tidak ada dalam esensi tindakan. Fungsi dan peranan syariat tidak sekedar menyingkap arti keburuklan dan kebaikan pada obhjek-obhjek tertentu. Dalam diktumnya, mereka mengatakan "Al-hasanu ma hassanahu al-sya'u, wal qobihu ma qobbahahu al-sya'u", bahwa kebaikan ialah seuaatu yang dianggap baik oleh syariat dan keburukan ialah sesuatu yang dianggap buruk oleh syariat". Oleh karena itu, jika tuhan memerintahkan kebohongan, maka berkata bohong itu adalah baik, atau jika tuhan melarang kejujuran, maka berkata jujur itu adalah buruk.

Perlu ditambahkan di sini bahwa pandangan Adliyah yang meyakini baik dan buruk sebagai karakter esensial bagi tindakan-tindakan, bisa sesuai dengan pendapat pertama yang menekankan objektifitas konsep baik dan buruk, juga sesuai dengan pendapat kedua yang menegaskan hakikatnya sebagai konsep universal falsafi. Adapun pandangan Asy'ariyah identik dengan teori Kehendak Tuhan (divine commond theory) yang berkembang luas di kalangan filsuf-filsuf akhlak /teolog Barat. Dan pada dasarnya, pandangan Asy'ariyah ini adalah bentuk lain dari teori Intibariyah (konvensionalisme), dengan sedikit perbedaan, yaitu bahwa konvensi kebaikan dan keburukan, menurut Asy'ariyah, bukan atas dasar akal atau emosi individu atau masyarakat, tetapi perintah dan larangan Tuhan.

Arti-arti Baik dan Buruk serta Klaim Asy'ariyah

Agar pokok permalasahan berikut klaim Asyiariyah menjadi lebih jelas, di sini perlu dikemukakan beberapa arti baik dan buruk yang ada dalam literatur-literatur teologi dan ilmu usul fikih.[24] Dalam pada itu, kita akan dapat menemukan titik kesamaan dan perbedaan antara kaum Asyariyah dan kaum Adliyah.

  1. Kesempurnaan dan Kekurangan

baik berarti sempurna dan buruk yaitu kurang. Ketika dinyatakan bahwa ilmu itu baik, ini berarti ilmu itu sempurna. Dan, ketika kita mengatakan bohoh itu buruk, ini berarti bahwa bodoh adalah kekurangan. Perlu ditegaskan bahwa dalam istilah ini tidak ada unsur kesesuaian ilmu dengan kesempurnaan sejati, atau ketridaksesuaian kebodohan dengan kesempurnaan tersebut. Begitupula, di dalamnya tidak ada unsure ketersanjungan ilmu atau terkutukan bodoh dalam perspektif manusia yang akil waras.

kebaikan dan keburukan di sini tidak hanya berlaku pada tindakan-tindakan manusia, tetapi juga mencakup segala sesuatu objetif di luar. Misalnya, tatkala kita mengatakan, "Pohon yang berbuah itu lebih baik dan pohon kering itu buruk." Esensialitas[25] atau rasionalitas[26] arti kebaikan dan keburukan ini diterima oleh kaum Asyariyah. Mereka juga memandang bahwa arti baik dan buruk ini adalah sifat-sifat hakiki bagi tindakan-tiondakan mansuai dan entitas-entitas di luar.[27]

  1. Kesesuaian dan Tidaknya dengan Tabiat Manusiawi

arti lain dari kebaikan dan keburukan yang juga disepakati oleh kedua belah pihak, bahwa kebaikan yaitu segala seuatu yang sesuai dengan keinginan, hasrat dan kecenderungan2 manusia, dan keburukan adalah apa saja yang tidak sesuai dengan semua itu. Misalnya, merokok bagi sebagian orang adalah baik, karena sesuai dengan selera mereka. Perlu disebutkan di sini bahwa dalam pengertian baik buruk di sini, tidak terlibat aspek kesempurnaan atau kekurangan sesuatu atau tindakan itu dalam kaitannya dengan jiwa manusia.

  1. Kesesuaian dan Tidaknya dengan Tujuan.

Arti lain dari kebaikan dan keburukan adalah keseuaian atau ketiudaak sesuaian sesuatu dengan tujuan mansuia. Kebaikan dan keburukan dalam pengertian ini berbeda dengan dua arti tersebut sebelumnya, yang tidak diabstarksi akal dari luar jiwa manusia, tetapi ditangkap akal dari hubungan factual antara tindakan dengan tujuan atau kepentingan manusia. Penjelasannnya, jika terdapat hubungan antara tidakan atau sesuatu dengan tujuan yang diniginkan seseorang itu adalah posisif, tindakan atau sesuatu itu baik. Tetapi, jika hubungan itu negative, sesuatu atau tindakan itu adalah buruk. Misalnya, kita mengatakan "pahat untuk tukang kayu itu baik, tetapi untuk tukang jam, pahat itu buruk". Arti baik dan buruk ini juga kadang disebut dengan kemaslahatan atau kemafsadatan.[28] Sebagaiaman yang tampak jelas dari contoh-contoh itu, arti baik dan buruik di sini tidak hanya berlaku pada tindakan manusia atau pada entitas-entitas.

Rasionalitas dan esensialitas arti baik dan buruk ini juga disepakati oleh kedua keompok. Asyari menerimna bahw akal mansuia mampu memahami arti baik buruk ini, tanpa perlu kepada penjelasan sariat.

Dengan menekankan perbedaan tujuan dan kepentingan setiap orang, maka kebaikan dan keburukan dalam pengertian di sini adalah nisbi. Misalnya, pembunuhan atas zaid itu buruk dalam perspektif sahabat-sahabatnya, karena tidak sesuai dengan kemaslahatan dan kepentingan2 mereka, tetapi dalam persepektif musuh zaid, aksi pembunuhan itu adalah baik, karena sesuai dengan kemaslahan dan kepentingan mereka. Dengan kata lain, relatifitas arti baik dan buruk di sini persis dengan relatifitas arti sebab dan akibat. Artinya, dengan berbedanya subjek, maka arti itu juga berubah, bukan karena berbedanya sudut pandang atau selera atau watak/tabiat dan hal-hal semacamnya yang bersifat sikologis. Sebagaimana seusatu itu, kaitannya dengan sesuatu yang lain, dari segi tertentu, ia benar-benar sebagai sebab dan bukan akibat, maka satu tindakan juga kaitannya dengan satu tjuan dan dari aspek tertentu, benar-benar adalah baik dan tidak buruk, sekalipun tindakan itu sendiri kaitannya dengan tujuan/maksud lain, bisa menjadi buruk. Begittupula, sebab itu kaitannya dengan sesuatu yang lain adalah akibat. relatifitas demikian ini tidak ada hubungannya dengan selera atau watak seseorang.

  1. Ketersanjungan dan Keterhujatan

Arti keempat baik dan buruk yang disebutkan dalam buku-buku teologi dan ilmu usul fikih adalah baik yaitu tindakan yang disanjung oleh akal sehat manusia dan pelakunya mendapatkan imbalan ukhrawi, sedangkan keburukan yaitu tindakan yang dihujat oleh akal sehat dan pelakunya pantas dibalas siksa akerat.

Arti baik dan buruk ini yang hanya berlaku pada tindakan-tindakan sengaja manusai, menjadi perdebatan sengit di antara Asy'ariyah dan Adliyah. Kelompok Adilyah meyakini bahwa akal budi/rasio mempunyai kemapuan menyelidiki dan menemukan standar ketersanjungan sebagian tindakan-tindakan sengaja dan standar keterhujatan sebagian lainnya. Adapun Asy'ariyah meyakini bahwa akal tidak mampu melakukan penyelidikan dan analisis demikian itu. Menurut mereka, tindakan-tindakan manusia pada prinsipnya dan tanpa merujuk kepada perintah dan larangan Tuahn, tidak bersifat baik juga tidak bersifat buruk. Dengan demikian, tentunya akal manusiapun tidak akan mampu -pada tataran perceptual- menganalisis dan menangkap nilai–nilai seperti ini. Mulla Abdurrazzak Lahiji dalam menjelaskan pandangan Adliyah dan Asyari mengatakan, "Yang dimaksukan dari rasionalitas baik dan buruk adalah bahwa akal mampu mengetahui ketersanjungan realitas sebagian tindakan, sekalipun agama atau syariat tidak berkomentar, atau akal tahu alasan komentar agama/syariat terhadap baik buruknya suatu tindakan, jika memang syariat berkomentar. Adapun yang dimaksudkan dari kesyariatan baik dan buruk adalah bahwa akal tidak mampu mengetahui arti kebaikan dan keburukan, juga tidak mampu menyelidiki alsan-alasan syariat atas baik buruknya tindakan apapun, baik setelah syarait berkomentar ataupun sebelumnya.[29]

Analisis atas Pandangan Asy'ariyah

Apakah maksud Asy'ariyah dalam menolak kebaikan dan keburukan tindakan? Apakah mereka hanya mengingkari baik buruknya tindakan secara rasional ataukah juga mengingkari baik buruknya substansi tindakan? Denganm kata lain, apakah pandangan mereka hanya pada tataran epistemologsi, atau juga mencakup tataran ontologisnya? Apakah mereka benar-benar menyakini bahwa baiknya keadilan dan burukunya kedzaliman hanya berlandaskan perintah dan larangan tuhan? dengan summsi bahwa Tuhan melarang keadalian dan memerintahkan kedzxaliman aopakah keadilan itu menjadi buruk dan kedzaliman itu menjadi baik?

Pada prinsipnya, dalam catatan2 ulama Asy'ariyah sendiri ditemukan banyak perbedaan. yang tampak dari sebagian pernyataan mereka menguatkan kemungkinan pertama, dan sebagaian lain malah menunjukkan kemungkinan yang kedua. Ala kulli hal, kita di sini akan menjelaskan beberapa kemungkianan yang ada dalam pandangan mereka, lalu kita menganalisa masing-masing kemungkinan tersebut secara adil dan insaf.

Kemungkinan pertama, bahwa akal manusia tidak mengetahui baik buruknya seluruh tindakan-tindakan dan kewajibn-kewajiban manusia. oleh karena itu, manusia membutuhkan ajaran dan arahan nabi. Artinya, sekalipun akal budi mampu mendiskusikan persoalan rukun-rukun iman, tetapi ia lemah dalam menuntaskan permasalahan2 spesifiknya, dan dalam permaslahan ritual/peribadahan. Kebangkitan dan hari akhir, beratnya sakarotul maut, adzab kubur, pertanyaan munkar dan nakir, mawaqif kiamat, shiroth, mizan, adalah sebagian permasalahan yang di luar jangkaun akal budi manusia. Atau, masalah jumlah rakkaat solat, cara melakukan solat , puasa atau waktu-waktu khusus sebagian ibadah, atau disunahkannya puasa pada hari terakhir dari bulan Sya'ban, atau wajibnya puasa di bulan Ramadhan, atau haramnya puasa di hari Idul Fitri. Semua ini hal-hal supra rasional, dimana akal budi tidak menjangkaunya dan memahami baik buruk semua itu. Untuk mengenal baik buruknya tindakan-tindakan itu tidak ada lain kecuali dengan merujuk kepada wahyu ilahi. Peran wahyu dalam kaitan ini adalah menyingkap kebaikan dan keburukan esensial pada perbuatan.

Berdasarkan ini, kaum Asy'ari pada tataran realiatas (ontologis) sepaham dengan kaum Adliyah. Tetapi, pada tataran perceptual, dengan alasan ketidakmampuan akal, mereka memilih teori Kehendak Tuhan (divine commond thory).

Jika maksud asyari dari pengingkaran baik buruk demikian di atas ini, adalah satu pendirian yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Kita juga meyakini bahwa salah satu dari alasan prinsipiil kebutuhan manusia kepada wahyu ilahi dan tuntunan2 para nabi adalah kekurangan dan kelemahan akal manusia. Akal budi dengan sendirinya tidak mampu mengetahui seluruh dimensi-dimensi jalan kebahagian, juga tidak mampu menunjukkan seluruh titik kenistaan. Ia juga tidak mampu mengetahui hubungan2 kausalitas antara tindakan-tindakan manusai dan dampak2 uhrawinya.[30]

Namun, apa yang dinukil dari Asy'ariyah dan pernyataan-pernyaan mereka menunjukkan lebih dari sekedar itu. Mereka menyatakan dengan tegas bahwa seluruh tindakan-tindakan manusai tanpa melibatkan hukum sariat, pada tataran realitasnya juga sama sekali netral; tidak bernilai. Perintah dan larangan Tuhanlah yang mengisi nilai baik dan buruk pada tindakan tindakan itu. Sebut saja Qusyaji, setelah mengatakan baik buruk itu adalah persolan Kehendak Tuhan (syar'i) menambahkan, "Argumentasinya adalah bahwa seluruh tindakan–tindakan dari sisi baik dan buruk adalah sama, tidak ada satu tinmdakan pun pada dasarnya bernilai baik, tersanjung dan berpahala, atau dihujat dan bersiksa atas pelaku-pelakunya. Hanya perintah dan larangan Tuhanlah yang meyebabkan adanya nilai2 dan dampak/efek tersebut .[31]

Kemungkinan kedua, bahwa teori kehendak tuhan mereka pada dasarnya adalah satu penerjemahan dari padangan ketiga (I'tibar). Artinya, mereka juga meyakini bahwa baik dan buruk adalah kualitas/sifat konvensional yang tidak ada asal usulnya dalam realitas objektif. Bahwa seseorang melakukan satu tindakan baik dan bahwa tindakan ini baik dan tindakan itu buruk, semua itu bergantung kepada bentuk konvensi dan penetapan satu pihak/oknum yang berbeda-beda.

Tentunya, konvensi-konvensi internasional juga mungkin terjadi. Tetapi, dengan alasan bahwa kita adalam kaum musklim yang tunduk pada hokum-hukum ilahi, maka asal ususl /asas /dasar konvensi dan penetapan itu berpangkal pada perintah dan larangan tuhan. Apa saja yang ditetapkan dan ditentukan oleh tuhan sebagai kebaikan, maka manusia memahaminya juga baik, dan apa saja yang ditentuakan dan ditetapkanm Tuhan sebagai keburukan, maka kita juga menganggapnya buruk.

Pernafsiran ini lebih sesuai dengan dengan pernyataan 2 para tokoh asy'ariyah. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam menjelaskan kemingkuinan pertama, Asyariayh mengklaim bahwa tindakan–tindakan manusai, baik pada tatarabn teraliats ataupun pada tataran perseptaul, tidak mempunyai sifat-sifat seperti ini. Oleh sebab itu, menurut mereka, kebaikan dan keburukan bukan berupa konsep2 esensial yang ada realitas konkretnya di luar. Juga bukan berupa konsep falsafi yang ada acuan faktual abstraksinya ada di luar, juga tidak bergantung pada selera, kecederungan dan emosi manusia, yang tidak akaitan sama sekali dengan hal-hal objektif. Baik dan bruk adalah semacam konvensi dan prakarsa Tuhan.

  1. Objektifitas acuan-basis abstraksi

Dalam pandangan kami, baik dan bruk juga seperti harus dan jangan. Kedua konsep itu bukan sekehdar symbol/lambnag yang mengeskpresikan esmosi dan perasaan individu, juga bukan produk konvensi semata, apakah itu konvensi individual dan kolektif, ataupun perintah dan larangan tuhan ilahi. Tetapi, baik dan buruk adalah konsep-konsep factual. Ini tidak berarti konseop itu dikategirikan ke dalam konsep universal esensuil yang mempunayi objek-objeknya di laur secara mandiri dan ajek, tetapi ia berupa konsep falsafi yang mengacu pada realitas objektif di luar. Atau dalam istilah populernya "'irudhuhu did-dzihn wat-tishofuhu fil khorij"

Mengambil analogi pandangan kedua atas keindahan inderawi yang menegaskan, bahwa hakikat keinadhan itu yaitu adalah kesesuaian/keharminian yang ada dinatara entitas-entitas ibjektif, Kita juga berpandangan berkenaan dengan abstraksi konsep kebaikan, bahwa di dalamnya mesti ada keharmonian/sesuaian di natara dua sesuatu. Jelas, keharmonian ini pada dua hal konkret di luar, bukan pada selera atau minat subjektif.[32]

Kendati mungkin saja satu dari dua sesuatu itu adalah manusia itu sendiri, tapi ini tidak berarti mansuai sebagai realitas yang mempunyai selera tertentu, tetapi dari segi bahwa ada kesempurnaan khas dirinya yang bisa terealisir di alam nyata. Sesuatu itu adalah tindakan manusai dan sesuatu lainnya adalah kesempurnaan sejati manuisa. Setiap tindakan yang berakhir pada atau yang mengarah kepada kesempurnaan sejatinya, maka itulah baik. Dan setiap tindakan yang menjauhkan manusia dari kesempurnaannya, maka itu buruk. Oleh karena itu, kebaikan atau keburukan tindakan sengaja manusia akan tampak jelas setelah melalui pertimbanagn rasional dan pengamatan serta komparasi di antara tindakan itu dan kesempurnaan sejatinya.

Kebaikan dan keburukna ini tidak bergantung pada kecondongan subjektif, selera, atau kepada konvensi dan prakarsa kita. Baik dan buruknya seliururh tindakan 2 tidak bisa dituntaskan dan dianalisis dengan kehendak, serera atau dengan konvensi I'tibar. Apakah bisa diprakarsai/dikonvensi bahwa kedzaliman itu baik dan keadilan itu buruk?! Secara principal, dari manakah asal usul baik atau buruknya konvensi dan aksi prakarsa ini sendiri? Apakah baik buruknya aksi konvensi ini juga konvensional?

Dengan kata lain, ketika kita menimbang-nimbang setaip tindakan sengaja kita dengan ksempurnaan manusiawi, akal kita hanya memberikan tiga aternatif; satu, kita menemukan hubungan positif di antara keduanya, artinya pelaksanaan tindakan itu akan membantu kita meraih kesempurnaan tertingi manusiawi. Saat itu kita menyebut tindakan itu adalah baik. Kedua, hubungan di antara keduanya dalah nnegatif, artinya, pelaksanaan tindakan itu menghambat peraihan kita akan kesempurnaan manusiawi, ketika itu kita akan menyatakan tindkan itu sebagai keburukan. Dan ketiga, hubungan antara keduanya tidak positif, juga tidak negative. Dalam konteks ini, tindakan itu tidak bisa dinyatakan baik atau buruk. Kaitannya dengan kesempurnaan hakiki manusia, tindakan itu nirnilai.

Jadi, standar kebaikan suatu tindakan sengaja adalah keharmoniaan dan kesesuaian di antara tindakan-tindakan itu dengan tujuan dan maksud yang hakiki manusia. Dan standar keburukan suatu tindakan sengaja manusia yaitu ketidaksesuaian tindakan-tindakan tersebut dengan kesempurnaan terbesar pelakunya. Maka, konsep baik dan bruk moral pada dasarnya ekstensi-ekstensi konsep kausalitas. Sebagaimana sebab dan akibat diabstraksi dari entitas-entitas objektif di luar, kedua konsep tersebut (sebab dan akibat) benar-benar berlaku dan terterapkan pada entitas-entitas itu, dan entitas2 itu benar2 tersifati oleh dua konsep.

AKAR PERDEBATAN DALAM STUDI MORAL

Dengan penjelasan yang kita bawakan berkenaan dengan standar baik buruknya tindakan-tindakan sengaja, kita temukan dengan jelas satu nuktah penting, yaitu tentang akar polemic dan perselisihan yang terjadi di antara satu kelompok, komunitas, masyarakat dan bangsa dengan yang lainnya berkenaan dengan baik buruknya suatu tindakan. Bahwa ada sebagaian tindakan yang dianggap baik oleh sebuah masyarakat, pada saat yang sama dinilai buruk oleh masyarakat lainnya. Contoh yang biasa diulang-ulang, buruknya menyembelih binatang bagi sebagaian suku di India, atau baiknya meminum minuman keras dan memakan daging babi bagi masyarakat Eropa, di saat umat muslim memandang perilaku itu sebagai keburukan.

Sebagian besar pemikir melihat perbedaan ini sebagai bukti atas relatifitas dan kenisbian nilai dan hukum-hukum moral. Tetapi, sekilas mengingat penjelasaan yang kita kemukakan di atas tadi, jelas bahwa sumber perselisihan ini mungkin ada pada salah satu dari dua hal berikut ini: pertama, ketidaktahuan seseorang tentang kesempurnaan hakiki dan kekurangan dalam pandangan dunia. Kedua, ketidaktahuan atau pemahaman yang salah tentang hubungan antara tindakan-tindakan sengaja manusia dengan kesempurnaan yang sesungguhnya. Artinya, sekalipun ia mengetahui kesempuranaan sejatinya, namun ia tidak tahu apa pengaruh dan dampak tindakan ini dalam pencapaiannya akan kesempurnaan tersebut. akankah mengantarkan dirinya kepada kesempurnaan itu ataukah malah menjauhkannnya?

Oleh karena itu, jika kita ingin mengikis habis perselisihan dan perbedaan pandapat di antara umat manusia berkenaan dengan peesoalan-persoalan moral, dan jika kita ingin semua individu umat manusia mempunyai pemahaman yang sama dan persepsi utuh tentang kebaikan dan keburukan tindakan, selain perlu meluruskan pemahaman mereka tentang kesempurnaan yang sesungguhnya, mereka harus berlindung dibawah naungan syariat dan wahyu ilahi. Tidak syak lagi, bahwa akal mansuia dengan sendirinya tidak mampu dalam banyak persoalan menyingkap hubungan antara tindakan-tindakan sengaja dan dampak-dampaknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita temukan sedikit sekali perbedaan di antara mereka dalam mendiskusikan prinsip-prinsip moral; permasalahan-permasalahan yang oleh para pakar Usul Fiqh diistilahkan dengan mustaqillat aqliyah. Tetapi, begitu banyak kasus khususnya dalam yang bersifat parsial dan kasus-kasus aplikatif prinsip-prinsip tersebut, di mana akal dengan sendirinya tidak mampu memberikan keputusan yang tegas dan jelas. Meminjam fragmen Maulawi Rumi bahwa (…….). disinilah akal menyadari dirinya mencari bimbingan wahyu.

Wahyu sanggup menuntun dan mengarahkan akal untuk menemukan buhungan-hubungan yang tersembunyi di balik sejumlah tindakan dan kesempurnaan hakiki manusia. Maka, dalam kasus-kasus demikian itu, akal dengan bersandarkan kepada sariat, menerima penuh kebaikan dan keburukan serangkaian tindakan. Di sinilah cinta kasih, luthf, dan kepedulian Tuhan pada hamba-hambaNya. Di sini pula, Betapa indahnya aforisma yang mengatakan Al-althofus syar'iyah althofun fil wajibatul aqliyah. Bahwa kewajiban-kewajiban syariat adalah kemurahan ilahi di balik hukum-hukum akal.



[1] Akhlak, B.Spinoza p.179-180

[2] Akhlak, B.Spinoza p.155-156

[3] (ilahiyyat as-syifa, ibnu sina p.380-381, hikmah muta’aliyah, sodrul mutalihin, 7/58

[4]Tajul Arus 3/194, lebih rincinya lihat Pisy niyozhoye mudiriyyate islomi, p.107-119

[5] nichomakhus ethica, terj parsi4 pur husaini, p.1

[6] History of philoso[phy, copeleston 1/291. ma’noye ziboi, eric neoton 375. 33-34. kuliyyote zibo syenosyi p.7

[7] ma'noye ziboie, p.33-34

[8] kuliyyat zibosyenosyi, p.8-9. ma'noye hunar, p. 2-7.

[9] Ma'noye hunar, p.2

[10] kuliyyat zibosyenosyi, p.53-87. Biztobe kor wa tabiat dar hunar, p.88-90. Language, Truth and Logic p.157

[11] ma'noye hunar, p.15

[12] George Edward Moore, in The Incyclopedia of Philosophy 5/379-380

[13] History of Philosophy, F.Copleston 8/445-447

[14] menurut sebagian, Moore dalam beberapa catatannya cenderung memandang konsep baik sebagai konsep universal falsafi. Lihat Falsafeh Akhloq dar qarne hader, komerntar penerj. Parsi p.200-203

[15] .(falsafeh akhloq dar qarne hozer, p.9)

[16] (history of Philosophy 8/445-448

[17] ibid. P.512

[18] Language, Truth and Logic, A.Ayer p.145-146

[19] Morality of Religion, in Philosophy of Religion: An Anthology p.496-497. falsafaeh akhloq, Frankena 15

[20] Al-fawaid p.330-337. Nihayatul Diroyah fi syarhil kifayah 2/44. durusun fi ilmil usul, BAgir Sadr 1/3610362.

[21] Kasyful Murod, nasiruddin Thusi p.302. Syarhul Faroid, p.330. usulul Fiqh, Mudzaffar 1/199

[22] Isyarotul Murom, p.75-78

[23] Al-Iqtishod fil I'tiqod p.186-197. Al-Mahsul fi usul fiqh 1/123. Al-Tahsil minal Mahshul 1/180. Al-Barohin dar ilmu Kalam 1/246-250. Syarhul Mawaqif 8/181. Dirosat aqliyyah wa ruhiyyah fil falsafah islamiyyah p.257-258

[24] Sarmoyeyeh Iman, p.60-61. Mathorihul Andzar, p.230-232. usulul Fiqh, Mudzaffar 1/200-202. Syarul Tajridul I'tiqod, Qusyaji 1/327-328. Al-Mahshul fi usulul Fiqh 1/123-124. Al-Tahshil Minal MAhshul 1/180-181. Syarul Mawaqif 8/182. Falsafatul yari'ah, p.270-273.

[25] bahwa kebaikan dan keburukan adalah arti yang tersisip dalam esensi sesuatu (tindakan atau entitas). Penj.

[26] Sebagai konsekuensi esensialitas, arti kebaikan dan arti beburukan bisa diketahui akal budi/rasio dengan sendirinya. Penj. Lihat hal.17 pasal ini

[27] ibnu taimiyah, setelah mengisayratkan arti kebaikan dan beburukan ini mengatakan: ada sebagian orang yang yang menetapkan bagian ketiga dari kebaikan dan keburukan dan mengklaim adanya consensus, yaitu bahwa suatu tindakan yang bersifat semopurna atau bersifat kurang. Bagian ini tidak pernah disebutkan oleh kalangan teolog klasik dalam permaslaahan kebaikan dan keburukan ini, tetapi baru disebutkan oleh sebagian teolog-teolog modern seperti Fakhrur-Razi yang mengambiol dari filsuf-silsuf (Majmu'atul Fatawa 8/186-187).

[28] Syarhul Mawaqif 8/182. syarhul tajridul I'tiqod, p.338

[29] sarmoyeye iman, Lahiji p.59

[30] lihat leih rinci di maa'rie quran seri Rogh wa rohnamosyenosi, Misbah yazdi p.9-30. akhloq dar quran 1/103-110. nadzariyeh siyasi dar islam 1/58-60

[31] (syarh Tajridul I'tiqod, p.338

[32] (pisyniyoz mudiriyat islami, misbah Yazdi p.107-112

Tidak ada komentar: