Selasa, 08 Maret 2011

TANGGUNG JAWAB MORAL

TANGGUNG JAWAB MORAL

Tanggung jawab moral adalah salah satu konsep penting yang sejak dahulu menjadi perhatuian serius filsuf-filsuf moral. Dalam pasal ini, kita pun baerusaha mengisyaratkan sebagian dimensi persoalan dan berupaya menuntaskan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang terkait. Di antaranya adalah, apakah yang dimaksud dari tanggung jawab? Apakah tanggung jawab berarti keberhakkan/kepatutan disanjung atau dikutuk? Apakah tanggung jawab hanya berurusan dengan dampak langsung suatu tindakan, ataukah juga mencakup dampak-dampak yang tidak langsung dan tidak terduga/terkendali dan di luar pilihan?

(hal 122, baris 7)

danm tanggung jawab prospektif atas sesuatu yaitu suatu tugas atau kewajiban yang mengarah/dimaksudkan untuk menjamin realisasi sesuatu itu. Tatkala kita mengatakan, "Regu pemyelamat bertanggung jawab atas keselamatan perenang", umumnya menjelaskan tanggung jawab prospektif. Artinya, sesuatu yang ditanggungjawabkan oleh regu penyelamat berada dalam konteks futural. Demikian ini bebeda dengan kita mengatakan, "Regu penyelamat bertanggung jwab atas kematian perenang itu", yang biasanya menggambarkan tanggung jawab retrospektif, karena kematian si perenang itu adalah satu kasus yang telah terjadi, dimana regu penyelamat bertanggung jawab karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, tanggung jwab retrospektif bertalian dengan tindakan-tindakan yang dilakukan atau ditingggalkan seseorang. Sementara, tanggung jawab prospektif berurusan dengan tugas-tugas yang mesti dilakukan sesorang pada saat kemudian.

(hal 124, baris 7)

Syarat-Syarat Tanggung jawab Moral

penyelidikan syarat perlu dan syarat cukup pada tanggung jawab saelalu membuka lebar perdebatan di kalangan filsuf. Tidak jarang didulang banyak komentar di seputar upaya tersebut.

Secara umum, seseorang hanya akan dianggap secara moral bertanggung jawab atas suatu tindakan atau kasus bilamana pertama; mempunyai kemampuan untuk melakukannya, kedua; melakukannya dengan pengetahuan dan kesadaran, ketiga; secara bebas menghendaki dan memilihnya.[1]

Bisa dikatakan bhawa seluruh filsuf sepakat dengan tiga syarat di atas. Kalaupun terjadi perselisihan, demikian ini umumnya pada penafsiran dan pembatasan jangkauan syarat-syarat itu. Tentunya, hal ini tidak berartio bahwa merekas emua mengakui otentisitas ketiga sarat itu, lalu menekankan tanggung jawab m,oral manusia. Tetapi, sebagaimana yang akan kita simak, bagi pihak-pihak yang menekankan kepemilihan bebas sebagai syarat tanggung jawab moral menganggap bahwa manusia majbur (dipaksa) dalam melakukan sagala tindakannya, dan dengan demikian meraka menolak tanggung jawab moral. Berikut ini penjelasan tiga syarat tersebut secara terpisah.

  1. Kemampuan

Sekali lagi, kemampuan melakukan/meninggalkan kewajiban adalah syarat perlu pada tanggung jawab moral. Maka, jika tindakan yang diwajibkan di laur dari batas-batas kemampuan dan kesiapan manusiawi, sudah barang tentu tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab secara moral atas tindakan tersebut. Atas dasar ini, kita menyakini taklif bima la yuthoq qobih, bahwa memerintahkan/membebankan sesuatu yang tidak sanggup ditanggung adalah buruk. Dan, Tuhan, Dzat Yang Maha Bijaksana, tidak menuntut tindakan-tindakan yang di luar kemampuan hamba-hambanya. La yukallifullahu nafsan illa wus'aha.[2]

  1. Pengetahuan dan Kesadaran

Syarat perlu kedua pada tanggung jawab adalah bahwa manusia tahu akan sesuatu yang dibebankan atasnya, ia menyadari kewajiban/tugasnya terhadap sesuatu itu.[3] Maka, seseorang hanya dinyatakan bertanggung jawab atas suatu tindakan dan pantas disanjung atau dihujat secara moral karenanya, tatkala ia mampu melakukannya dan tahu akan nilai (benar dan salahnya) tindakan itu.[4]

Al-qor'an menegaskan, "sesungguhnya kami telah ciptakan manusai dari nutfah yang bercampur, untuk kemudian kami uji, maka Dario itu kami jadikan dia mendengar dan melihat".[5]

Selekas menjelaskan penciptaan manusia dari air mani yang bercampur, ayat ini menyuratkan tujuan dan hikmah dari penciptaan tersebut, yaitu ujian. Allah swt. Sedemikian rupa menciptakan manusia, sehinggga ia memiliki kecenderungan, kecondongan, keinginan dan hasrat yang bermacam-macam dan saling bertentangan. keberagaman dan pertentangan inilah yang membuka medan uji coba, tanggungjawab dan kepatuhannya. Ayat itu melanjutkan bahwa Allah memberikan kemampuan untuk tahu dan sadar, maka Dia ciptakan manusia sebagai makhluk yang mendengar dan melihat. Dalam kapassitas inilah manusia dapat mengenal tugas dan kewajibannya, dan dapat memilih satu di antara jalan-jalan yang saling berseberangan.

Jelas, tuhan tidak sekedar membekali manusia dengan perangkat pengetahuan biasa seperti akal dan indera, tetapi juga mencerdaskan dan menunjukkan jalan hidup yang lurus dengan menurunkan wahyu lewat rasul-rasulnya. Dengan cara inilah kerangka uji coba dan tanggungjawab itu menjadi lengkap, dan tidak ada satu celah pun yang mungkin dijadikan sebagai alasan atau uzur untuk mengelak.

Wal hasil, pengetahuan dan kesadaran akan kewajiban merupakan sebuah syarat perlu terbentuknya tanggung jawab. Dengan dalil ini pula, kita tidak pernah menilai secara moral tingkah laku anak-anak di bawah usia. Kalaupun kita m,emberikan sanjunagn atau ancaman terhadap mereka, itu lebih merupakan pendidikan atas mereka, tidak ada kaitannya dengan tanggung jawab moral. Seorang anak bebas memilih untuk memecahkan kaca rumah tetangga atau untuk tidak memecahkannya. Namun, jika ia menghendaki pilihan buruk dan melemparkan batu ke kaca lalu kita menegur dan memperingatkannya, sikap kita ini tidak lebih dari upaya memdidik, tidak dalam rangka mempertanyakan kehendaknya. Demiikian ini , karena anak itu tidak mempunyai pengetahuan dan kesadaran akan karakter moral tindakannya.

  1. Pilihan dan Kehendak yang Bebas

Syarat lain yang terlibat dalam pembentukan tanggung jawab adaalah pilihan dan kehendak yang bebas. Arestoteles mengatakan, "syarat tanggung jawab dan di ambang sanjungan dan hujatan adalah kehendak bebas".[6] Maka, setiap tindakan yang menjadi akibat pemaksaan, bukan tindakan sengaja dan pelakunya tidak bertanggung jawab atas tindakan tersebut sama sekali.[7]

Tindakan paksaan, menurut Arestoteles, adalah "tindakan yang factor/sebabnya di luar kendali kita, laksana perahu yang bergerak/berlayar karena adanya kekuatan selainnya, atau angin yang membawanya ke satu arah".[8]

Untuk lebih jelas syarat ini, perlu kita bawakan beberapa pengertian pilih/kehendak,[9] lalu kita paparkan maksud kita dari kehendak dan kepemilihan sebagai syarat perlu tanggung jwawb.

  1. Sebagai lawan dari idhtiror (keterdesakan); misalnya memakan daging manusia yang telah mati dengan kehendak penuhnya adaalah haram. Tetapi dalam kondisi keterdesakan, tindakan itu menjadi boleh. Artinya, dalam mkondisi-kondisi dimana menahan diri dari memakan daging mayat manusia dapat meyebabkan bahaya/kerugian yang serius/fatal pada dirinya.
  2. Sebagai lawan dari ikrah (keterpaksaan); suatu kondisi akan di sebut ikrah (keterpaksaan) tatkala sesorang diancam, dan ia melakukan perbuatan karena ancaman-ancaman eksternal. Sekiranya ia dalam kondisi normal dan bebas memilih, ia tidak siap melakukannya.
  3. Sebagai lawan dari jabr (kedipaksaan): dalam banyak kasus, kehendak digunakan secara umum dan luas dalam pengertian terakhir ini, yaitun bahwa pelaku melakukan tindakannya hanya berdasarkan hasrat dan keinginan dirinya, dan tidak ada faktor atau oknum lain yang menekan dirinya. Sebaliknya, tindakan determinatif/jabri yaitu tindakan yang terjadi tanpa ada peran pilihan dan kehendak manusia di dalammnya sedikitpun, tindakan itu terjadi sebagai akibat dari tekanan kekuatan internal atau eksternal.

Lalu, pengertian manakah yang dimaksudkan dari kehendak sebagai syarat perlu pada tanggung jawab di sini?

Sebagaimana yang telah lalu, bahwa seuatu yangb memnyebabkan bernilainya tindakan manusia, sehingga ia berada di ambang sanjungan dan hujatan adalah bahwa ia memilih tindakan-tuindakannya dari sekian banyak alternative. Tuhan menciptakan manusia dengan menanamkan berbagai kecenderungan yang tidak jarang saling bertentangan, masing-masing menarik manusai ke arah yang berlawanan. Tetapi, tidak berarti bahwa dimana ada tarikan yang lebih kuat, akan menentukan tindakan manusia, dan ia tertarik olehnya secara tidak memilih dan tidak menghendaki.



[1] Ma'ariful Qur'an, Misbah Yazdi p.394-395

[2] Al-Baqoroh 282

[3] Ma'ariful Qur'an, Miasbah Yazdi p.394

[4] Responsibility, by M.J.Zimmerman, in Encyclopedia of Ethics, 2/1093

[5] Al-dahr/2

[6] History of Philosophy, F.Copleston 1/386

[7] falsafah Akhlak, W.Frankena, 158. Arestoteles, David Russ, 301-303

[8] Nicomachucian Ethica 1/60

[9] MA'ariful Qur'an, 375-377

Tidak ada komentar: