Selasa, 08 Maret 2011

ESENSI STATEMEN MORAL

ESENSI STATEMEN MORAL

Sebagaimana yang telah dipilah, bahwa permasalahan-permasalahan penting dalam Filsafat Akhlak bisa kita analisis dalam tiga aspek pembahasan: pembahsan semantic, pembahasan logis, dan pembahsan epistimologis. Subjek pembahasan yang sampai sekarang sudah dibahas berberkaitan dengan dengan permasahan dari aspek semantik konsep-konsep moral. Di dalamnya kita cukup mengenal sebagian pembahasan logis statemen-statemen dan konsep-konsep moral.

Di sini, kita akan membahas satu permalasahan epistomologis statemen moral yang amat penting, yang bisa dipandang sebagai satu permaslahasan yang paling mendasar dalam Filsafat Ahklak, yaitu persoalan deklaratifitas dan imperatifitas stetemen moral

Tidak syak lagi, bahwa semua filsuf dan pemikir yang membahas permaslahan ini cukup menyadari dengan baik bahwa hukum moral yang beredar dalam percakapan keseharian, bisa diungkapkan kedalam dua bentuk; imperatif dan deklaratif. Kepatuatan dan kebaikan sikap adil misalnya, biasa dituangkan ke dalam bentuk deklaratif; "Sikap adil adalah tindakan yang patut", sama biasanya ketika diungkapkan dalam bentuk imperative; "bersikaplah secara adil!. Atau untuk mengungkapkan kepatutan jujur sesuai dengan kondisi dan syarat tertentu, kita bisa menyatakannya; "kejujuran adalah baik", dan pada saat lain kita bisa juga menyatakan hal yang sama dengan "Jujurlah!". Demikian pula kaitannya dengan seluruh tindakan manusia yang bisa dinilai secara moral.

Tetapi, dari sisi, statenmen-statemen imperatif dan deklaratif mempunyai perbedaaan-perbedaan mendasar. Jika dalam kasus tertentu misalnya hukum moral secara redaksional, bisa diungkapkan ke dalam dua bentuk tadi, pada hakikatnya, salah satunya mesti bersifat metaforis yang digunakan mengingat factor-faktor dan motif2 kependidikan/pedagogis atau psikologis atau semacamnya. Padahal, satu statemen tidak bisa berupa imperative, pada saat yang sama juga berupa deklaratif. Oleh karena itu, semua orang yang bergelut dalam Filsafat Akhlak, secara serius dan saksama berusaha menanggapi pertanyaan apakah sebenarnya esensi stateme-statemen moral itu? Apakah statemen-statemen itu berupa imperatif ataukah delkaratif? Dengan ungkapan lain, apakah statemen moral itu berupa statemen konvensional/artificial, ataukah bersifat deskriptif/informatif, yang dengan demikian kita bisa menganalisa kebenaran atau kesalahananya? Apakah statemen-statemen itu terbentuk dari konvensi dan penetapan perseorangan atau satu kelompok, masayarakat tertentu, tanpa ada kaitannnya dengan sama sekali dengan realitas objektif di luar? Ataukah itu berupa statemen factual yang menyingkapkan kepada kita akan objek-objeknya di alam luar?

Sembari menekankan pandangan yang kita pilih berkenaan dengan permasalahan ini, kita berusaha menuntaskan permasalahan statemen moral lainnya yang beraspek epistimologis. Permasalahan-permaslahan seperti criteria pembagian akal kepada teoritis dan praktis, permsalahan apakah akal yang memahami hukum-hukum moral itu berbeda dengan akal yang menyinghkapkan hukum-hukum di bidang lain? ataukah mansuia tidak mempunyai lebih dari satu akal? permasalahan rasionalitas statemen moral dan jenis argumentasi /inferensi yang digunakan dalam studi moral. Dan masih banyak lagi permaslahan yang pemecahannya bergantung pada penentuan pandangan terhadap imepratifitas dan deklaratifias statemen-statemen moral

IMPERATIFITAS DAN DEKLARATIFITAS

Sekalipun arti Imperatifitas dan deklaratifitas, dan perbedaan keduanya cukup jelas, tetapi untuk membuka pandangan lebih lebar dalam pembahasan-pembahasan berikut, sangat tepat sekali kita mengisyaratkan terlebih dahulu kepada definisi statemen imteratif adan statemen deklatatif serta perbedaan di anatra keduanya.

Sebagaimana yang umum dalam tradisi logika, setelah membagi kata/perkataan (lafadz) kepada sederhana (mufrad) dan tersusun (murakab), dan setelah menyebutkan bagian-bagian kata sederhana (mufrad), para ahli logika menguraikan murakab dengan membaginya kepada dua bagian; sempurna (tamm) dan kurang (naqis). Murakab kurang yaitu susunan kata yang audien masih menunggu kelengkapannya ketika mendengar susunan itu, atau dalam istilahnya "la yasihhus sukut alaih". Misalnya, jika seseorang mengatakan, "Nilai diri seseorang diukur oleh ….", lalu ia diam, susunan kata demikian ini disebut murakab haqis. Tentunya, susunan-susunan kurang pun pada gilirannya terbagi kepada beberapa bagian.

Sebagai lawannya, murakab sempurna yang terdiri dari subjek dan perdikat atau anatara mukadam dan tali-nya, dimana audien tidak lagi menunggu setelah mendengar perkataan itu, atau dengan istilas "yasihhu sukutu alaih", seperti pernyataan "nilai diri seseorang ditentukan oleh perbuatam-perbuatan baiknya". muarakab semprna deklaratif yang dalam isltilah ilmu logika disebut juga dengan qodiyyah (proposisi) atau qoul (ucapan)

Susunan sempurna yang mengandung relasi sempurnaa di antara bagian-bagiannya, berikutnya terbagi kepada dua bentuk; deklaratif dan imperative. Ciri dasar susunan sempurna deklaratif adalah bawha kalimat itu bisa dinilai kebenaran atau kesalahannya. Kalimat/susunan seperti "Revolusi Islam Iran pecah pada tahun 1979" atau "Pemerintahan kosmopolitan masa depan adalah milik kaum mustadz'afin", Adalah susunan sempurna deklaratif, karena kalimat yang dinyatakan itu sesuai dengan fakta maka ia benar, jika tidak maka ia salah. Dengan kata lain, kalimat deklaratif yaitu kalimat yang, terpelepas dari aspek tektual dan gramatikal, mempunyai fakta yang ajek di luar. Adapun bentuk fisik/redaksional hanya sebagai penyingkap fakta yang ada di luar itu.

Sebagai lawannya, susunan sempurna imperative, yaitu kalimat yang tidak bisa dinilai kebnaran dan kesalahannya. Terlepas dari aspek lafad, kalimat tersebut tidak punya fakta riel diluar, tetapi relasi sempurna antara bagian-bagiannya dimaksudkan/diusahakan menjadi nyata dengan dinyatakannya susunan tersebut. Misalnya , kalimat jadilah manusia yang terpercaya!" "jangan berkata bohong" apakah kamu tahu dampak buruk meninggalkan amar makruf nahi munkar? "hai anak muda!" "oh seandainya kedzaliman dan kejahatan dimuka bimi ini sirna!". Oh. Betapa salehnya orang itu!" dan lain sebagainya yang semuanya comnotoh2 dari mavcam2 statemen2 imteraperatif. Setatemen2 ini pada adasarnya tidak punya potensi/tidak bisa disifati benar atau saklah. Artinya, tidak ada satupun dari tstatemen tersubt yang bisa dianalisa apakah sesuai dengan faktanya ataukah tidaks esuai. Karena, faktanya baru menjadi nyata dan ada hanya dengan rekayasa, imperatifitas dan prakarsa dipem,buat statemen itu. Tapi sebelum menyatakan statemen tersebut, maka tidak ada satu fakta di balik itu.

Perlu disebutkan di sini bahwa pembahsan deklaratifitas dan imperatifitas statemen moral merupakan bagian dari pembahsan 2 yang serius dan pentng sekali pada kurun terakhir ini dikalangan ulama ilmu usul, sehingga banyak pendadapat dan dpandangan inofatif yang berm,acam yang mereka bawakan. Untuk lebih mengenal keseruisan, kejelian dan ketelitian mereka, sangat tepat sekali kita m,engisyaratkan beberapa endeks persoalan yang mereka telaah berkenaan dengan hal ini:

Apakah eperbedaan perbedaabn statemen imeperatif dengan statemen deklaratif? Apakah perbedaaan itupada arti/madlul/ aspek konseptualnya ataukah pada madlul asentualnya? Apakah perbedaan mereka pada corak maksud pembicara, artinya jika pembicara punya maksud mengungkapkan dari setatemen tersebut, maka statemen itu adalah deklaratif, namun jika dari statemen terbut dia hanya bermaksud realisasi, maka statemen iu adalah imperative. Ataukah maksud realisasi itu sama sekali tidak ada pemgaruh pada imperatifitas sebuah statemen? apakah perbedaan statemen imeperatif dan statemen deklaratif hanya pada bentuk signifikansinya? Artinya. jika seseorang dengan membentuk sebuah setatemen bermaksud menunjukkan satu nisbah yang riel dan factual, maka statemen iotu adalah deklaratif, jika tdiak demikian maka imperative. ? apakah perbedaan dinatar mereka terletak pada jenis objek signifikansinya, bukan opda bentuk signifikansi itu sendiri? Artinya, jika objek stetemen itu adalah realitas nisbah, maka statemen itu adalah deklaratif, tetapi jika berupa ralisasi dan penetapan nisbah, maka statemen itu imperative. Apakah criteria benar salah pada kalimat deklaratif itu maksud pengunaan (qosdul isti'mal) ataukah maksud serius (qosdul jidd)? Apakah signifikansi asentual itu adalah criteria kebenaran dan kesalahan ataukah nisbah sempurna? adalah persoalan-persoalan yang dibahas secara serius dan dalam oleh pakar-pakar usul fikh, sebagai kontribusi ilmiah yang besar dalam banyak pembahasan.

STUDI ATAS TEORI-TEORI

Dengan mencermati isu-isu dan pendapat-pendapat atas konsep-konsep moral dan pendefinisian konsep-konsep itu di pembahasan yang telah lalu, di sini keragaman pandangan tentang deklaratifitas dan imeperatifias statemen-statemen moral pun menjadi jelas, karena langkah pertama dan titik awal penyelesaian masalah ini adalah analisis semantic atas konsep-konsep moral. Tentunya, setiap pandangan yang dipilih dalam pembahasan di sana berpemgaruh langsung pada pembahsan di sini. Oleh karena itu, toeri-teori moral bisa dibagi kepada dua mazhab besar: satu, mazhab deskriptif dan mazhab nondeskriptif. Teori-teori seperti imperatifisme, Emotivisme, Preskriptifisme, Sosiologisme, divine commond theory, dan teori I'tibariyah, semuanya tergolong dalam mazhab nondeskriptif; yang meyakini imperatifitas hukum adan statemen moral serta meyakini bahwa statemen itu tidak menggambarkan satu relaitas factual. Pada titik yang berlawanan , segerombol teori seperti Naturalisme, Intuisionisme, masuk dalam mazhab deskriptif yang menekankan deklaratifitas statemen-statemen moral.

berdasarkan pembagian ini, kita akan membahas secara sekilas sebagian teori-teori. Terpenting yang terkait, dan kita akan memberi keterangan tambahan dalam kesempatan mengritisi dan menganalisis aliran 2 moral secara terpisah

1. Aliran Nondeskriptif

  1. Imperativisme

kaum imperatifis meyakini bahwa sekalipun statemen moral secara redaksional berbentuk deklaratif, tetapi pada hakikatnya berpijak di atas perintah. "harus berkata jujur" dan "berkata jujur adalah baik" adalah pernyataan menyimpang dari "berkatalah jujur!". Kalimat-kalimat perintah adalah salah satu statemen-statemen impeeratif yang tidak bisa dianalisis dan diverifikasi kebenaran dan kesalahannya, karena tidak memberikan laporan dan signifikansi apapun tentang realitas factual, sehingga tidak bisa dinilai benar atau salah, sesuai dengan faktanya di luar atau tidak sesuai.

  1. Emotivisme

Kaum emotivis menerima bahwa statemen moral hanya menjelaskan kecondongan, hasrat dan perasaan khas si pembicara, dan tentunya itu semua tidak bisa dissifati benar atau salah. Sebagaiaman seseorang yang menyatakan, "Saya suka kopi", tidak bermaksud memberitakan dan menyingkapkan kepada kita satu realitas objektif di alam luar. Begitupula, jika seseorang mengatakan, "Kebenaran adalah baik", dia tidak lebih dari mengeksperesikan emosi pribadi dan perasaaan subjektif dirinya. Denga kata lain, ketika premis-premis pemikiran Positifisme Logis itu diterima bahwa satu ucapan dan statemen bermakna hanya terbatas pada staatemen2 analitik dan stetemen sintetik yang menyingkapkan realitas empiric, maka konsekuensi-konsekuensinya pun mesti diterima, bahwa satatemen-statemen moral itu tidak bermakna dan kehilangan muatan kognitifnya, karena statemen-stetemen itu bukan analitik, juga tidak bisa diverifikasi dengan pengalaman inderawi dan tes-tes empiric. Pada konklusinya, kebenaran dan kesalahan pun tidak ada di dalamnya, karena benar salahnya sebuah stetemen itu ditentukan oleh kebermaknaan statemen itu sendiri.

Perlu ditambahkan disni bahwa berdasarkan padangan Emotuivisme, seseorang yang menyatakan hukum moral dalam bentuk statemen, sebenarnya ia tengah menyetujui dan mengesahkan kecondongan dan tendensi subjektif dirinya. Bahkan, statemen moral itu tidak melaporkan kondisi mentalnya. Karena jika demikian, mereka tergolong menjadi penganut Deskriprifsme, padahal mereka menegaskan bahwa statemen moral -berbeda dengan bentuk redaksionalnya- adalah statemen imperatif dan nondeskriptif.

Singkatnya pandangan emotovuisme nemenekannkan bahwa cirri dasar statemen moral bukan pada karakternya sebagai pelapor dan penyinghkap kepercayaan si pembicara, tetapi ia hanya menunjukkan kecondongan dan kondisi-kondisi kejiwaaannya. Cirri dasar statemen moral juga bukan pada bertambah atau berubahnya totalitas pengetahuan audien dengan hadirnya data baru. Stetamen itu sekedar berpengaruh atas kecondongan dan -kemungkinan besar- juga atas perilakunya. Intinya, pernyataan-pernyataan moral pada dasarnya tidak beraspek imperative, di dalamnya hanya ada segi mempengaruhi.

  1. Preskriptivisme

Tokoh besar yang mewakili pandangan iniadalah R.M. Hare. Menurutnya, senada dengan kaum emotivis, fungsi statemen moral pada dasarnya tidak bukan berupa desrkriptif, juga bukan deklaratif. Dan, jika pada sebagian statemen moral ditemukan aspek kognitif dan deskriptifnya, hal itu sekedar aksidental. Hare menyatakan, asas statemen moral terletak pada upaya menjawab pertanyaan praktis manusia, bukan pada upaya menanggapi persoalan teotiris dan kontemplatif.

Hukum dans statemen moral pada hakikatnya semacam anjuran dan saran yang disampaikan kepada uadien dalam rangka menajwab petanyaan "Apa yang seharusnya saya lakukan?". Artinya, tujuan dasar penyampai adalah memberi tuntunan dan arahan kepada audien, bukan mempengaruhi emosi dan perasaannya. ketika seseorang mengatakan "apa tindakan yang sepatutnya saya lakukan?", ia tidak menginginkan untuk dipengaruhi, tetapi mengharapkan arahan dan bimbingan. Hare menegaskan, hukum–hukum moral persis seperti perintah-perintah ringan, mirip pesan-pesan petunjuk dan penyeru. Berbeda dengan perintah- biasa, hokum-hukum moral mempunyai kareakter kemutlakan dan keumuman.[1]

  1. Teori Konvensionalisme (I'tibariyah)

Kembali menyinggung pandangan konvensi, telah kita simak bahwa sebagian tokoh besar memandang bahwa konep-konsep moral itu mengekor/tertentukan oleh tujuan dan maksud penetap/konventor. Bahwa esensi konsep-konsep moral tidak lain adalah konvensi dan penetapan dan prakarsa sesorang untuk tujuan dan maksud yang diinginkannya.

Tampaknya, sebagimana yng diakui oleh para pengagasnya, konsekuensi logis dari teori ini adalah bahwa statemen moral yaitu statemen imperatif yang sama sekali tidak mempunyai aspek signifikansi akan realitas factual di baliknya. Karena, kalimat yang -setidaknya- salah satu dari bagian-bagiannya, katakan predikatnya, berupa konvensional, tidak mempunyai objek faktual di luar. Oleh karena itu, hubungan yang ada antara subjek dan perdikat pada pernyatan-pernyataan konvensional adalah penetapan dan pemprakarsaan.[2]

Sarat dasar tersifatinya statemen deklaratif oleh benar dan salah adalah bahawa pembicara dengan mengungkapkan statemen tersebuit mempunyai maksud menunjukan objeknya di alam luar. Sementara, dalam hal-hal konvensiaonal tidak ada maksud demikian ini. seseorang seperti Firdausi yang mengatakan, “dua tombak di pundak dua jawara; naga dan singa”. Ia tidak bermaksud menginformasikan sesuatu yang objektif di alam luar. Tujuan dan maksud dia bukan menunjukan bahwa di luar itu ada seorang di antara dua pahlawan itu benar-benar dragon dan lainnya benar-benar singa jantan. Atau ketika seseorang mengatakan "harus berkata jujur" atau "keaadilan itu adalah baik", ia tidak hendak menjelaskan satu objek di luar. Maka, statemen-statemen di atas ini tidak bisa bernilai benar atau salah. Tentunya, penyampainya pun tidak bisa dinyatakan sebagai seorang yang jujur atau seorang pendusta.

Pada prinsipnya, harus diakui diketahui bahwa objek devisi kejujuran dan kebohongan adalah proposisi hakiki/factual, di mana ada maksud signifikansi akan satu realitas objektif di baliknya, bukan persepsi2 yang dikonvensikan dan ditetapkan oleh akal sehat manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan vitalnya. Persepsi-persepsi itu sama sekali tidak ada kaitannya denagn fakta-fakta dan realitas objektif di luar.[3]

Sebagaimana yang tampak pada beberapa catatan Allamah Tabathabai, kadangkala pengetahuan-pengetatahuan konvensiaonal tersifati dengan kesalahan. Tetapi, ketelitian dalam seluruh tulisan dan pandangan beliau menunjukkan bahwa maksud beliau dari salahnya statemnen konvensional itu bukan kesalahan yang sebenarnya; yaitu ketidaksesuaian kadungannya dengan faktanya, tetapi kesalahan metaforis. Atau, sebagaimana dalam ungkapan beliau, yaitu kesalahan syairaneh (puitis), sebagai satu bentuk kesalahan yang tidak ada kaitannya dengan pembahsan kita di sini. "Jika seorang peneliti dari sudut pandang realistis/ontologis memilah dan menentukan sesuai atau tidaknya konsep-konsep dan menentukan salah benarnya statemen-statemen, maka dia akan menemukan semua konsep dan statemen tersebut sebagai metafora. Tentunya, konsep-konsep itu tidak sesuai dengan objek-objeknya dan statetemn yang terbentuk dari konsep-konsep itu akan dinilai salah, karena fakta kata singa[4] misalnya, binatang buas, bukan manusia. Dan, fakta kata bulan adalah benda langit, bukan benda bumi. Sebagiamana jika kata bulan itu tanpa bantuan metafora, kita akan menggunakannya pada realitas batu, ketimbang kita menggunakan kata batu. Maka, pengunaan kata singa itu salah dan tidak sesuai dengan objeknya. Atau, jika kita mengatakan "ada kalanya malam itu datang ketika matahari berada di atas kepala kita" , statemen ini salah; tidak ada keseuaian. Tetapi, si peneliti itu dapat menemukan perbedaan antara dua bentuk kesalahan tersebut, yaitu kealahan factual tidak berpengaruh/ tidak meninggalkan kesan apapun, dan kesalahan puitis meninggalakan kesan dan penagruh yang riel dan nyata.[5]

2. Aliran Deskriptif

Telah kita katakan bahwa pandangan kita terhadap esensi konsep moral berpengaruh langsung atas kesimpulan kita tenang esensi statemen moral. oleh karena itu, jika seseorang dalam permasalahan konsep moral meyakini salah satu dari teori Naturalisme atau Intuisonisme, niscaya ia menerima satatemen moral sebagai statemen deklaratif.

Tentunya, tentang objek yang ditunjuk/dilaporkan oleh statemen-statemen moral, Terdapat banyak pandangan yang beragam. Sebagian besar pemikir akhlak berpandangan bahwa fakta hukum-hukum akhlak ada pada kodrat manusia, bukan di luar diri manusia. Artinya, statemen-statemen moral itu hanya mengeskpresikan kondisis-kondisi dan keadaan-keadaan dunia batin manusai, bukan dunia luar. Pada titik yang berseberangan, ada sebagian pemikir lainnya yang berpandangan bahawa stetamen itu benar-benar menyingkapkan fakta objektif.

Menururt Hedonisme dan Utilitarianisme, fakta hakiki/sejati statemen moral adalah keadaan dan kondisi2 internal mansuioa. Padahal menurut intuisionisme, statemen2 moral mengungkapkan realitas-realitas fatual yang ada nyata di luar. Contohnya, seseorang seperti Moore, yang mengaanggap bahwa sifat kebaikan adalah sesautu yang factual dan konkret, adapun konsep-konsep lainnya bisa bermakna dan menjadi jelas dengan dirujukannyaa kepada sifat dasar itu, pada konsekuensinya Ia meyakini bahwa statemen seperti "harus berkata jujur" menunjukkan satu realitas konkret di luar yang digambarkan oleh statemen itu, dan tentunya statemen itu pun bisa bernilai benar atau salah. Jika statemen yang dimaksud sesuai dengan realitas dan fakta konkretnya, maka itu benar, tetapi jika tidak sesuai, statemen itu salah.

Pada dasarnya, Intuisionisme sepaham dengan Naturalisme dalam hal bahwa statemen-staemen moral mengungkapkan ciri-ciri khas factual pada tindakan-tindakan. Hanya saja, mereka berselisih pendapat dalam perihal kemungkinan tidaknya pendevinisian konsep dan analisis statemen moral. Bagi Intuisionisme, sebagian istilah moral tidak bisa didefinisikan, sedernaha, dan ada proposisi moral yang tidak bisa dianalisis serta diverifikasi. Menurut mereka, untuk menilai statemen seperti; "berkata jujur itu baik" dan berkata bohomng itu bejat", tidak memerlukan penjelasan dan pembuktian dari statemen lainnya, karena statemen-statemen yang mengandung istilah kebaikan dan keburukan adalah hukum-hukum yang badihi (aksioma). Statemen-statemen itu bisa diketahui secara langsung oleh intusi akal. Menurut Intuisionisme, verifikasi benar salahnya statemen2 moral hanya dengan merujuk kepada intusi akal.

Mereka sedemikian getolnya menegaskan aspek deskriptifitas dan deklaratifitas statemen moral, sehingga menarik pengkritik-pengkritiknya untuk lebih memandang kegetolan mereka itu sebagai evidensi atas kerapuhan pandangan mereka. Frankena dalam hal ini mengatakan, " Sekalipun teori Intuisionisme itu kokoh dan tidak terbantahkan, tampaknya tidak bisa diterima. Statemen-statemen itu juga memberikan penyelesaian dan penanganan yang kondusif, memberikan arahan dan anjuran dan pesan dan persuasi.[6]

PANDANGAN PILIHAN/ALTERNATIF

Menurut pandangan kami, ada semacam hubungan kausalitas antara tindakan-tindakan sengaja manusia dan kesempurnaannya yang sejati. kita menyifati hubungan faktual itu dengan hukum/putusan moral. Konklusi yang jelas ini ditarik dari analisis2 atas konsep-konsep moral yang pernah kita kemukakan. Kerena, sebagaimana konsep harus dan jangan menyingkapkan satu bentuk hubungan factual antara tuindakan sengaja dan kesempurnaan sejati manusia, konsep baik dan buruk, sebagai konsep falsafi, juga menunjukan bentuk hunbungan di antara dua hal tersebut. Dengan demikian, tentu statemen-stamenen moral pun berbentuk deklaratif yang menyingkapkan realitas konkret di luar. Maka, iapun bisa dinilai benar salahnya.

Pada prinsipnya, kendati sebagian statemen dan hukum moral dituangkan dalam bentuk imepratif, dari aspek pengingkapan/signifikansi akan fakta di luar, mereka tidak ada bedanya dengan statemen dan hukum yang berlaku di bidang-bidang sains ataupun matematik. Maka, sebagaimana statemen saintis /empirik menyingkapkan realitas konkrit di luar, statemen moral pun menginyingkapkan realitas factual, hanya saja mereka berbeda pada syarat/kondisi khas/ciri2 khas yang ada pada statemen/hukum moral. Dan, standar kebenaran dan kesalahn yang berlaku pada statemen-statemen empitik, logis dan filosofis juga berlaku pada statemen moral.

Sebagaimana yang tealh kami jelaskan, bahw standar benar salahnya statemen empiric, logis dan faklsafi adalah kesesuaian/korenpondensi atau tidaknya statemen2 itu dengan fakta di luar.[7] Fakta (nafsul amr) statemen2 empirik dan saintis adalah realitasrealitas konkret, dan fakta statemen2 filosofi dan logis adalah ruang intelektual objek-objeknya yang beragam sesuai dengan bentuk statemen itu sendiri. Misalnya, fakta statemen2 logis yaitu pada lapisan atau tingkatan tertentu dari intelek. Dan fakta statemen "Kemustahilan bertemunya dua kontradiktif" adalah kenyataan objektif yang diandaikan oleh intelek. Dengan demikian, criteria benarnya statemen2 moral adalah efektifitas/berdampak atau tidaknya tindakan dalam pemcapaian tujuan dan maksud yang diinginkan.[8]

Perlu diingatkan di sini bahwa mungkin saja setiap orang mengalami kesalahan dalam menemukan menentukan tujuan finalnya, ataupun dalam memilih jalan pencapaian tujuan finalnya. Tetapi, keasalahan-kesalahan ini tidak tidak menggugat objektifitas hubungan sebab akibat antara tindakan-tindakan sengaja dan dampak-dampak yang ditimbulkannya, sebagaimana perselisihan di kalangan ilmuwan dan ahli fisika tidak bisa dijadikan alas an untuk menafikan realitas empiric. Dengan kata lain, anggapan yang menyatakna bahwa satu statemen itu deklaratif tidak beratif bahwa dengan serta merta ia benar, tetapi statemen deklaratif mungkin saja benar dan mungkin asaja salah. Jelas, statemen deklaratif yang salah berbeda dengan stetemen imperative. Dalam statemen deklaratif yang salah, terdapat aspek signifikansi akan realitas konkret, tetapi signifikansi yang salah dan tidaksesuai dengan faktanya. Adapun dalam statemen imperative, samasekali tidak ada aspek signifikansi akan realitas factual apapun di dalamnya.

FUNGSI STATEMEN IMPERATIF DALAM AKHLAK

Sambil menekankan deklaratifitas esensi statemen-statemen moral, sebagaimana yang telah diuraikan, pertanyaan yang muncul beikutnya adalah "mengapa bentuk imperative seringkali digunakan dalam menjelaskan hukum-hukum[9] moral? Dan jika semua konsep2 moral menjelaskan satu corak hubungan antara tindakan-tindakan sengaja dan efek-efeknya, mengapa mereka tidak menjelaskan langsung, lugas dan terperinci hubungan2 itu, ketimbang menggunakan konsep-konsep seperti baik, buruk, harus, tidak boleh, jangan?

Tampaknya, penghematan dan penyederhanaan menjadi salah satu alasan yang lebih tepat dalan penggunaan konsep-konsep moral, ketimbang menjelaskan hubungan-hubungan tindakan dengan dampaknya secara lugas dan terurai. oleh karena ini, alih-alih kita menyatakan, "jujur itu dapat membangun kepercayaan sosial, menanamkan ketulusan interaksi antarkomponen atau kelompok, serta dapat menarik ridha Tuhan", alih-alih kita mengatakan, "Bohong itu dapat mengakibatkan rapuh hubungan social, kotornya suasana pergaulan serta mendatangkan murka Tuhan", kita bisa menyatakan dua hal ini dengan ungkapan yang lebih efesien dan simpel, misalnya; "Jujur itu baik" dan "Bohong itu buruk".

Lain dari itu, dibandingkan dengan statemen deklaratif, stettemen imperative, dari segi pedagogis/pendidikan, memberikan kesan dan pengaruh lebih besar pada pendengar. Statemen imepratif mampu menanamkan kepercayaan diri secara lebih dalam pada jiwa anak didik, menegaskan keseriusan dan kebenaran pesan-pesan sang pendidik, dan dapat membangkitkan motifasi secara lebih kuat pada mereka untuk melakukan tindakan-tindakan moral. Ini semua tidak tampak pada statemen-statemen deklaratif dan deskriptif, selain penekanan dan pengesanannya yang begitu lemah.

IMPLIKASI IMPERATIFITAS STATEMEN MORAL

  1. Perlunya kepada Konventor/Imperator

Jelas bahwa imperatikasi dan konvensi memerlukan juru sebagi pelaku konvensi. Maka, jika statemnen-statemen moral itu dianggap sebagai statemen imperative, niscaya adanya konventor. Oleh karena itu, tokoh-tokoh nondeskriptifis berusaha mengidentifikasi konventor yang berwenang meletakkan dan mengeluarkan setatemen moral. Upaya ini pula memecah belah tubuh Nondeskriptifisme menjadi beberapa penggal pandangan. pengikut teori Kehendak Tuhan, meyakini bahwa peletak hukum-hukum moral adalah Tuhan. Disusul oleh Sosiologisme yang memperkenalkan akal sehat (common sense). Pandangan-pandangan seperti Imperatifisme, Emotofisme, dan Preskriptifisme mengangkat akal budi dan emosi sebagai pemegang otoritas pembuatan dan peletakan hukum-hukum moral.

Namun, menjadi jauh berbeda tatkala statemen moral itu diterima sebagai statemen deklaratif; yang menyingkapkan dan melaporkan realitas objektif di luar. Persoalan identifikasi juru konvensi itu kehilangan objektifitasnya.

  1. Menerima Dualisme Akal

salah satu implikasi irasional dari imperatifitas statemen moral adalah keniscayaan mengakui adanya dua akal pada masnusia; akal teoritis yang berurusan dengan aspek ontologis (ada atau tiadanya) segala sesuatu, dan akal praktis yang berurusan dengan aspek aksiologis (harus tidaknya atau patut tidaknya). Dan, karena statemen-statemen moral itu kita anggap tidak menyingkapkan hal-hal faktual, dan hanya berfungsi untuk menjelaskan kewajiban dan arahan, di sini kita telah mendikotomikan konsep-konasep yang berkaitan dengan realitas dari konsep-konsep yang bertalian dengan nilai, di mana satu perangkat pengetahuan/kognitif tidak akan bisa melakukan fungsinya untuk menangkap dua bentuk konsep ini secara sekaligus.

Perlu dilampirkan di sini bahwa akal reotitis dan akal praktis ini telah menjadi bagian isu fiolofis dan epistemologis yang penting, yang sejak dahulu dibahas dikalangan filsuf dan teolog secara serius. Tidak heran jika ditemukan banyak pandangan yang beragam berkenaan dengan definisi dan fungsi kedua akal tersebut. kendati mereka tidak memilah-milah mana konsep yang berurusan dengan realitas dan mana konsep yang berkaitan dengan nilai dan keharusan, sebagian besar dari mereka membedakan kedua bentuk konsep itu dengan alasan dan motif-motif lain. Melalui penjelasan sekilas di bawah ini tentang pandangan-pandangan terpenting berkenaan dengan isu tersebut, segera kita akan mengemukakan pandangan alternative kita.

Filsu-filsuf besar seperti Ibnu Sina,[10] Bahmanyar,[11] Abul Barakat Baghdadi,[12] Mulla Sadra di dalam sebagian karya-nya[13] dan Abul Razak LAhiji[14] mengartikan akal teoritis sebagai perangkat kognitif yang mempersepsi hal-hal universalia (konsep dan proposisi universal), baik yang berkaitan dengan tindakan pilihan manusia seperti "Keadilan adalah baik" dan "Kedzaliman dalah buruk", ataupun yang berkaitan dengan realitas objektif. Adapun kerja akal praktis adalah perangkat kobnitif yang mempersepsi hal-hal partikular untuk kegunaan aplikatif. Konsekuensi yang jelas dari pandangan ini adalah pengakuan akan adanya dua jenis akal pada manusia; akal yang khusus berurusan dengan universalia dan akal lain yamng berurusan dengan partikularia dan praktika.

Dalam definisi Sekelompok besar filsuf lainnya seperti; Quthbuddin Razi dalam Al-Muhkamat,[15] Marhum Neraqi dalam Jamius-sa'adat[16] dan Ibnu Maysam Bahrani dalam syarah Nahjul Balaghah,[17] akal teoritis yaitu daya kognitif (nadhari) yang berfungsi mempersepsi segala seuatu, baik yang bersifat universal ataukah partikular, baik yang berkaitan dengan tindakan ataukah selainnya. Sementara akal praktis yaitu daya eksekutor (amili) yang fungsinya hanya sebagai pelaksana., yang tidak ada unsur persepsitas. Menurut mereka, penggunaan kata akal pada dua istilah itu adalah ekuivokal (isytirok lafdzi). Namun secara prinsipiil, dua jenis daya ini tidak ada segi kesamaannya, selain keduanya bagian dari daya-daya jiwa manusia.

Pandangan lain tentang definisi akal nadari dan akal praktis, adalah bahwa manusia pada dasarnya tidak mempunyai dua daya kognitif terpisah dan mandiri satu dari yang lainnya, tetapi hanya ada satu daya kognitif yang kita sebut sebagai akal teoritis, dan dalam kondis-kondisi tertentu daya itu juga disebut akal praktis. Mahdi hairi yazdi menguraikan, setiap bentuk pengetahuan dan persepsi, baik yang berkitan dengan tindakan ataupun tidak, ada dalam ruang lingkup akal praktis, bahkan termasuk di dalamnya pengetahuan2 partikular seperti; "Harus mambantu orang miskin itu!", sementara jika seseorang secara faktual membantu si miskin itu, maka dalam konteks ini daya kognoitif itu sendiri yang mempersepsi fakta kasus tersebut, Dalam konteks ini pula, daya koginitif itu disebut sebagai akal praktis, setelah pada tataran sebelumnya mengambil mana akal teoritis. Oleh sebab ini, perbedaan di antara keduanya terletak pada apakah data-data akal teoritis berakhir pada tataran aplikatif atau tidak.[18]

Logisnya, sebelum kita menganalisis akal teoritis dan akal praktis, kita mendefinisikan akal itu sendiri, sehingga kita mendapatkan keterangan yang jelas lalu kita membahas sebab pembagian akal itu kepada teoritis dan praktis.

Berbagai definisi berkenaan dengan akal amat mudah dijumpai dalam catatan2 kaum filsuf dan kaum teolog serta pakar-pakar usul fikih muslim. Perbedaan di kebanyakan definsi itu hanya dalam gaya konsepsi/perumusan saja. Sebagian menganggap bahwa akal mempunyai tuntutan, kebutuhan dan konsekuensi2 tertentu yang hanya bisa terpenuhi dengan melakukan tindakan2 tertentu dan mendapatkan sifat2 khas. Kutukan atau hujatan diberikan oleh oleh umat berakal sehat terhadap sebagian tindakan, tidak lain demi pemenuhan tuntutan2 akal mereka.

sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian ulama2 besar, pada hakikatnya akal adalah daya kognitif/pengetahuan yang cirri dasarnya adalah mengetahui pengetahuan2 universal dan tidak ada satu bentuk kecondongan apapun padanya. pada prionsipnya, daya akal bukan berupa kecondomngan atau tendensi . dan jika pada suatu saat terdapat semacam keoncondongan yang dinisbahkan kepada akal, maka penisbahan ini bersifat meafioris/kiasan, bukan yang sesungguhnya, sebnagaimana kita kadangkala mengatakan "mata saya menikmati pemandangan itu" padahal, penikmatan pada hakikatnya tidak berkaitan dengan mata. Fungsi mata adalah melihat dan mencerap, sementara penikmatan berkaitan dengan jiwa dan roh manusia.

Ala kulli hal, akal sama sekali tidak punya segala bentuk dorongan, perintah anjuran, larangan dan pengekangan/penahanan. Stimulasi/pendorongan tidak ada kalitannya dengan akal. Hasrat/Keinginan besar menemukan dan memahami kakikat segala sesuatu mendorong manusia untuk mencari dan menyelidikinya. Ia akan merasakan kelegaan dan kepuasan tersendiri di dalam jiwanya segera setelah mendapatkan pemecahan maslah2 yang rumit.

Sebagian filsuf mengatakan, "Akal adalah tingkatan/dimensi/martabat roh dan jwa manusia sebagai pemikir/penalar, ia bukan satu daya khas dari daya 2 internal manusai. Tapi tampaknya, hakikat roh lebih tinggi dari sekedar memahami konsep3. kerja roh kerjanya adalah penghayatan dan pengenalan kehadiran (presentif) secara langsung, sedangkan pengenalan konsep2 bergantung sebuah daya dari daya2 jiwa, yaitu daya yanga ada pada derajat yang lebih rendah dari derajat tinggi jiwa, yaitu akal budi (quwwah 'aqilah)".[19]

Dengan demikian, kita juga sebpakat dengan filsuf2 besar seperti Farabi,[20] Mulla Hadi SaBZAWARI,[21] Muhaqiq Ishfahani,[22] Marhum Mudzafar[23] menerima bahwa perbedaan akal teoritis dan akal praktis terletak pada bentuk objek-objek akal. Jika objek yang dipersepsikan akal adalah hakikat-hakikat faktual seperti; Tuhan dan sifat2 substantifnya, maka akal itu bersifat teoritis. Sementara, jika objek pengetahuan akal berupa berupa hal-hal praktis, spt baiknya keadilan dan buruknya kedzaliman, baiknya tawakkal dan mulianya kepasrahan diri dan ridha, kewajiban salat dan kesunahan soalat malam, dan semavcamnya, pada perspektif ini akal itu bersifat praktis. Oleh karena atas dasar ini, manusia tidak mempunyai dua akal yang terpisah mandiri dari satu sama lainnya. Hanya ada satu akal pada jiwa manusia, yang objek2 pengetahuannya berbeda-beda. Dengan persepktif ini, akal bisa dibagi kepada dua macam: akal praktis dan akal teoriti.

Sekali lagi kita tekankan bahwa jika seseorang negnganggap bahawa hukum2 moral itu berupa konvensi2 atau bersifat imperative, maka bedasarkan perbedaan yang ada di antara statemen imperatif dan statemen deklaratif, ia lazim menerima konseuensi logisnya, yaitu mengakui adanyadua akal yang berbeda pada diri manusia, dimnana fungsi yang satu adalah mengetahui konsep2 yang berkaitan dengan realitas-2 objektif dan hal-hal konkret, dan fungsi yang kedua adalah mengenal dan mempersepsi konsep2 yang berkaitan dengan nilai, keharusan, kewajiban, obligasi.

Tetapi, dengan menekankan deklaratifitas statemen moral faktualitas konsep-konsep moral dan konsep valuatif, tidak perlu lagi mengasumsikan adanya dua jenis akal. Jadi, pada sadarnya kita tidak mempunyai dua akal. Dan, mereka yang mengakui imperatifiotas statemen moral masih perlu menganalisis dan menuntaskan semua implikasi absurd dan konsekuensi irasional di atas itu.

3. Tidak Adanya Kriteria Rasionalitas Hukum Moral

Persolan rasionalitas hukum-hukum moral daan menganalisis posisi/peran akal dan inferensi demontrastif dalam permasalahan m2 moral, merupakanm salah satu pembahsan terpenting epistimologis yang berkaitaan dengan statemen -statemen moral. Pembahsan in pula yang bisa menimbang kuat lemahnya /kokoh rapuhnya aliran-aliran dan pandangan-pandangan/teori-teori moral.

jelas bahwa sekiranya apabila metode inferensi dan demontrasi ini tidak dibuka, evaluasi dan analisis atas alitan-aliran, pandangan dan teori moral menjadi tidak mungkin, dan tidak bisa memnerifikasi kebenaran dan kesalahnnya. Eksplanasi rasional dan logis atas hukum-hukum moral hanya bisa dilakukan tatakala ada hubungan logis di antara nilai dan realitas, di antara keharusan dan kenyataan., dan nilai itu sedemikain rupa sehingga bisa dikompromikan dan rujukkan kepada realitas. karena, kerja dan fungsi akal hanya menyingkap realitas-realitas ibjektif. Tetapi, jika hukum-hukum moral itu dianggap bersifat imperative, maka bukan hanya tidak ada hubungan logis antara nilai dan realitas, tetai bahkan tidak ada satu pun alasaan rasional yang bisa membuktikan hukum-hukum itu. "Kecondongan dan selera peseorangan atau kolektif tidak bisa dijustifikasi oleh pembenaran rasional, misalnya, tidak bisa kita mempertanyakan, "Atas dasar apa manusia menyukai bunga?". Kesukaan, selera, kecondongan, kegemaran tidak bisa diverifikasi secara rasional. Pembuktian rasional baru bisa disuguhkan manakala objek pembuktiannya berada dalam jaringan sebab musabab.

Seluruh teori-teori nonkognitif berhadapan langsung dengan konsekuensi absurd ini, sehingga mereka tidak menawarkan sebuah criteria logis untuk menilai dan mengevaluasi hukum-hukum moral. Pada dasarnya, dengan menganggap imperatifitas statemen-statemen moral, mereka tidak akan menemukan metode analisis dan klarifikasi atas kebenaran dan kesalahan stateen-statemen tersebut. Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan lagi untuk menganalisis kebenaran atau kesalahan sebuah aliran atau teori moral, juga tidak akan ada satu dalil pun yang bisa membela satu pandangan moral atas lainnya. Kerena berdasarkan teori-teori nonkognitif, maksimal yang bisa mereka lakukan adalah bahwa statemen-statemen moral hanya menyingkapkan kepada kita akan jatuhnya kehendak penetap/konventor pada satu nilai moral. Tatkala seseorang memerintahkan, "harus berkata jujur!", kendati kalimat perintah ini tidak menunjukkan satu realitas objektif di luar, namun secara konsekuentif ia menjelaskan kepada kita bahwa ada satu kehendak dan maksud pada diri tuan/pembicara. Sebaliknya, jika seseorang amengatakan "jangan berkata jujur!", perkataan ini juga secara konsekuentif menunjukkan adanya kehendak menolak pada dirinya. Tetapi, tidak ada pintu/jalan /kesempatan untuk menilai benar salahnya satu pun dari dua bentuk perintah di atas.

Perlu dicamkan di sini bahwa kebnyakan penganut mazhab nonkognitif juga menyadari permaslahan ini. Bahkan sebagian mereka mengganggapnya sebagai poin kuat dari mazhab mereka. Misalnya, Ayer selepas menjelaskan bahwa jika seseorang mengatakan, "mencuri itu buruk", sebenarnya ia tidak mengungkapkan satu pernyataan apapun, menegaskan bahwa "orang laijn mungkin saja berbeda pandangan dengan saya tentang kesalahan mencuri. Artinya, dia tidak mempunyai perasaan yang saya alami, dan dia menentang saya karena emosi-emosi moral saya, namun, secara pasti tidak bisa saya memastikan bahwa ia tidak bisa menggugurkan pernyataan saya, karena dengan mengatakan bahwa jenis tindakan itu benar atau salah, saya tidak menyampaikan laporan/informasi tentang satu fakta di alam luar, bahkan tentang kondisi mental saya. Saya hanya hanya mengekspresikan sebagian emosi dan perasaan moral pribadi. Jadi, pertanyyan "Manakah salah satu dari kita yang berkata benar?" menjadi tidak lagi berarti, karena masing-masing dari kita tidak menyampaikan satu statemnen faktualm (yang berfakta)".[24]

Allamah Thabathabai (1321-1402 H) juga menyatakan, "berkenaan dengan I'tibariyyat (hal-hal konvensional), tidak bisa mengandalkan pembuktian rasional, karenba pembuktian ini hanya berlaku pada realitas-realitas objektif".[25] Dalam Nihayatul Hikmah, beliau juga mengemukakan dalil-dalil atas ketidakmungkinan penggunaan argumentasi rasional pada permaslahan-permasalahan moral. "syarat sebuah argument rasional adalah bahwa premis-premisnya bersifat niscaya, abadi/langgeng dan universal. Sementara, siaft-sifat ini hanya terdapat pada proposisi-proposisi factual yang sesuai dengan objeknya".[26] Oleh karena itu, beliau memandang bahwa semua argumentasi yang dibawakan dalam persoalan-persoalan moral lebih merupakan masyhurat[27]; yang tidak mempunyai fakta objektif selain kesepakatan dan konvensi manusia-manusia yang berakal sehat. Tentunya, ketika hukum-hukum moral itu bersifat konvensional dan imperative, ia tidak akan mengambil posisi apapun dalam premis-premis burhan (demonstrasi), juga tidak akan bisa ditarik sebagai konklusi dari premis-premis burhan. Sesuai dengan uaraian syahid Muthahari, "kita tidak bisa menetapkan dengan sebuah dalil yang bagian-bagiannya menyusun sebauh fakta-fakta objektif, kita tidak bisa membuktikan sebuah klaim konvensional. Begitu pula, kita tidak akan bisa dengan sebuiah argument yang tersusun dari premis-premis konvensional menjelaskna satu hakikat dari sekian hakikat yang ada. Bahkan kita pun tidak akan bisa menarik kesimpulan koncensional dari premis-premis konvensional yang membentuk burhan. Dalam hal-hal konvensional, mendahuluinya sesuatu atas dirinya sendiri dan mendahuluinya akibat atas sebabnya menjadi tidak mustahil. Atau, ketiadaan keseluruhan dengan ketiadaan bagiannya, ketiadaan yang bersyarat dengan ketiadaan syaratnya, menganggap sesuatu sebagai esensi dan menetapkan hubungan kausalitas antara dua sesuatu, juga bukan keniscayaan dan tidak irasional [28]dalam perihal konvensional.

Sebagian pakar yang dengan gigih mempertahankan dikotomi nilai dari realitas dan menekankan imperatifitas statemen moral, dalam kaitannya dengan peran akal budi dan armunentasinya dalam moralitas mengatakan, "dengan serangkaian pembuktian rasional, kita tidak bisa memastikan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Dengan alas an yang sama juga kita tidak bisa meyakinkan bahawa harus atau jangannya suatu tindakan dengan argumentasi logis apapun".

Pendalilan Rasional Statemen Moral

Sebagaimana yang telah lalu, kita juga menerima bahwa statemen-statemen konvensional dari segi bahwa mereka adalah konvensional yang tidak ada hubungannya dengan reliatsa objektif apapun, tidak mempunyai sifat-sifat atau syarat-syarat pembuktian rasional, yaitu niscaya, langgeng/abadi dan universal/mutlak. Oleh karena itu, statemen-statemen moral tidak bisa digunakan sebagai premis-premis pembuktian itu, juga tuidak bisa dibetot darinya. Namun, imti permaslahan terletak pada "apakah statemen-statemen moral itu bersifat konvensional semata ataukah berpijak/mengacu pada realitas-realitas factual?

Dalam pemabahasan terdahulu, kita telah menunjukkan secara tegas dan rinci semua konsep dan statemen moral berakar pada realitas–realitas objektif. Artinya, konsep dan statemen moral mempunyai acuan factual di luar. Oleh karena itu dengan bersandar pada realitas objhektif tersebut, kita bisa menyajikan pembuktian rasional atas benar salahnya hokum-hukum moral, serta kita melibatkannya sebagai premis di dalamnya.[29]

Begitu pula, kita sepakat bahwa statemen-statemen moral dari perspektif tertentu berupa masyhurat. Tapi harus kita ketahui bahwa ke-masyhurat-an (kepopuleran) sebuah opini/statemen tidak memandakan selain satu realitas, yaitu kesepakatan pandanagan orang-orang yang berakal sehat.

Masyhurat itu sendiri sering kali difahami tidak sebagaimana yang diuraikan oleh ahli-ahli logika dan filsuf-filsuf muslim. Merujuk kembali kepada catatan-catatan Farabi,[30] Ibnu Sina,[31] Bahmanyar,[32] Katibi,[33] Nasiruddin Thusi[34] dan Suhrawardi,[35] dengan gamblang menjelaskan bahwa mereka tidak melihat pertentangan antara kepopuleran suatu statemen/opini dengan kemungkinannya untuk dinilai benar salahnya, juga untuk didemostrasikan (dibuktikan secara rasional). Ibnu sina dalam Donesy Nomeye 'Alai memberikan contoh, "kebanyakan orang menerima bahwa "keadilan itu baik", "dusta itu buruk", "tidak boleh membuka aurat di hadapan lelaki", "Tidak boleh melukai jiwa yang tak bersalah", "Tuhan maha kuasa dan tahu akan segala sesuatu", sebagian contoh-contoh itu adalah benar, tetapi kebenarannya perlu pembuktian".[36] Nasirudin Thusi menambahkan, "Masyhurat hakiki mutlak seperti; "Keadilan itu baik", "kedzaliman adalah buruk", diterima luas oleh semua orang dan dibenarkan oleh akal praktis. Namun, menurut akal teoritis, ada sebagian mayhurat yang benar dan adapula yang salah. Yang pasti, kebenaran sebuah masyhurat baru dipastikan dengan demonstrasi (burhan)".[37]

Oleh karena itu, bisa kita pastikan bahwa statemen-statemen moral dalam bentuknya yang berlaku di tengah masyarakat manusia adalah masyhurat , danum sedikit saja kita mencermati dan meneliti statemen moral itu bisa kita rujukkan kepada statemen yang benar dalam artian yang sesungguhnya, sehingga dapat dilibatkan dalam premis silogisme demonstrasi. Tentunya dengan syarat, yaitu subjek factual statemen-statemen moral itu serata betul-betul jelas dan gamblang, misalnya "berkata jujur itu baik". Statemen moral ini bersifat populer kebenarannya dan tidak bisa didemonstrasikan, karena demonstrasi itu mutlak; tidak ada pengecualian padanya, sementara kita temukan dalambeberapa ksusu dimana berkata jujur di dalamnya adalah buruk dan tidak boleh, seperti kejujuran yang menyebabkan terbunuhnya manusia yang tak berdosa. Tetapi, pada hakikatnya adalah apa yang bertempat sebagai subjek statemen moral adalah satu bentuk kejujuran yang berguna dan menunjang pencapaian kesempurnaan sejati, bukan segala bentuk kejujuran.

Secara umum bisa kita katakana bahwa seluruh statemen moral mempunyai dua postulat yang mutlak, dimana setiap subjeknya ketika tercakup dalam salah satu postulat itu, ia akan mendapatkan predikat yang sebenarnya, dan akan memenuhi syarat-syarat demonstrasi. Postulat pertama adalah segala sesuatu yang berguna dalam pencapaian tujuan yang kita inginkan adalah baik, dan postulat kedua adalah apa saja yang menghambat pencapaian tujuan yang kita inginkan adalah buruk.

4. Relatifitas Nilai Moral

Konsekuensi absurd lain yang membelit teori-teori nonkognitif adalah keniscayaan menerima relaitifitas moral. Karena, ketika nilai-nilai moral itu ditentukan ole kecenderungan, selera dan hasrat individual ataupu kolektif, dan tidak ada landasan factual di luar, maka dengan berubahnya selera dan hasrat itu berubah pula penilaian dan pandangan moral mereka. Mungkin saja suatu tindakan yang pada hari ini mereka anggap baik, esok harinya mereka menganggapnya buruk hanya karena berubahan kondisi metal atau dinamika social di sekeliling mereka.

Sebagaimana yang akan dibahas pada pasal-pasal berikutnya secara khusus, kita akan menutup pasal ini dengan satu nuktah penting, yaitu bahwa berdasarkan sebagian teori nonkognitif seperti teori Kehendak Tuhan, relatifitas nilai moral itu tidak niscaya, karena menurut pandangan mereka bahwa penetap/konventor hokum-hukum moral itu adalah Tuhan, bukan akal budi, akal sehat, atau emosi individu dan social. Dan, perubahan pada dzat Tuhan adalah mustahil. Oleh sebab itu, segalas esuatu yang diperintahkan oleh Tuhan adalah baik, dan akan tetap baik sampai kiamat. Begitu pula, segala sesuatu yang Dia larang adalah buruk dan akan tetap buruk selama-lamanya. Kecuali jika ada ketetapan baru yang menggantikan hokum yang terdahulu, maka ia akan menyampaikan ketetapan tersebut sebagai hokum baru.

Ala kulli hal, selama hokum-hukum suatu agama itu belum tergantikan, ia tetap utuh dan valid. Hokum-hukum itu tidak akan mengalami perubahan dengan berubahnya selera, kecondongan individu dan kondisi social.



[1] Untuk lebih rinci dan detail, lihat FAlsafeh akhlak dar qarne hodzer p.39-44. Dar-omadi be Falsafeh Akhloq p.146-155. History of Ethics, in Encyclopedia of Philosophy 3/109-110. Problems of Ethics, in Encyclopedia of Philosophy 3/129-130.

[2]Comentar Murtadho Muthahhari atas Usule Falsafeh wa Rawesyw ealism, Muhammad Husein Thabathabai, 2/166

[3] Comentar Murtadho Muthahhari atas Usule Falsafeh wa Rawesyw ealism, Muhammad Husein Thabathabai, 2/138

[4] misalny dalam statemen "Ali adalah singa". Penj.

[5] Usule Falsafeh wa Rawesye Realism, Muhammad Husein Thabathabai 2/153-155

[6] Falsafeh Ahklak, W.Frankena, p.219-220

[7] Omuzesye falsafeh, M.T. Misbah Yazdi, 1/222-224

[8] ibid, 1/231-233

[9] istilah hukum berarti keputusan yang pada hakikatnya terdiri dari subjek dan predikat. Ia sama dengan statemen. Setiap istilah hokum di sepanjang buku ini searti dengan statemen. Penj.

[10] Al-Rasail (Risalatul hudud), ibnu sina p.88. Al-Syifa-Al-Thabi'iyyat, ibnu sina, p.184-185

[11] Al-tahshil, Bahmanyar 1/789-790

[12] Al-Mu'tabar fil Hikmah, abul Barakat Baghdadi 2/311

[13] Al-Syawahidul Rububiyyah, mulla sadra p.201. Al-Mabda wal Ma'ad, Mulla Sadra p.258

[14] Gauhar Murad, abdulrazzaq LAhiji p.108

[15] Syarah Al-Mandzumah hikmat, p.310-311

[16] Jamiul Sa'adat, Naraqi 1/58-59

[17] Syarah alal Miah Kalimah li amiril mu'minin, Ibnu maysam Bahraini p14

[18] Kowesyhoye aqle nazari, mahdi hairi yazsi p241-242. Kowesyhoye aqle Amali, hairi yazdi p.193-201

[19] rasail Ikhwanul safa' wa khillanul wafa' 1/457. syarhul Musthalahatul falsafuyah p.216

[20] Syarah Mandzunah hikmat, p.310

[21] ibid

[22] Nihayatul Diroah fi syarhil kifatah 2/311

[23] usulul Fiqh 1/205. Al-Manthiq 295-296

[24] Language, Truth and Logic, A.Ayer, p.146-147

[25] Usule Falsafeh wa Rawesye Realism, 2/196

[26] Nihayatulk hikmah, thabathabai, p.259

[27] yaitu kepercayaan-kepercayaan yang populer diterima oleh umumnya manusia, terlepas dari nilai dualismenya (kebenaran dan kesalahannya). Masyhurat lebih menekankan penerimaan luas manusia, bukan pada kebenaran dan kesalahannya. penj.

[28] komentar muthahari atas Usul falsafeh wa Rawesye Realism, 2/166-167.

[29] Komentar Misbah Yazdi atas Nihayatul Hikmah, p.393

[30] Al-Manthiqiyyat, farabi 1/363-366, 421-424

[31] Al-Syifa', bagian Mantiq, ibnu Sina, 3/66. Isyarat wa Tanbihat, Ibnu Sina, 1/351. Donesy nomeye 'Alai, p.52-53

[32] Al-Tahshil, Bahmanyar, p.99

[33] Syarhul Syamsyiyyah, Katibi, p.168

[34] Asasul Iqtibas, nasurudin thusi, p.346-347

[35] Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, p.42.

[36]Donesy nomeye 'Alai, p.52

[37] Asaul Iqtibas, nasiruddin Thusi, p.346-347.

Tidak ada komentar: