Selasa, 08 Maret 2011

AKHLAK DAN AGAMA

AKHLAK DAN AGAMA

Korelasi agam dan akhlak merupakan satu persoalan yang paling diminati dan banyak menyedot sorotan, atau bakan paling menjebak panyak pemikir, dengan latar belakang sejarahnya yang panjang di forum-forum filsafat dan teologi. Masing-masing filsuf dan alim ulama merusaha menawarkan penyelesaian atas pertanyaan, "dalam korelasi agama dan aklak, manakah yang otentik dan prinsipiil? Agama ataukah Akhlak?apakah tuhan diharuskan mematuhi rambu-rambu moral, atau malah rambu-rambu itu sendiri yang bergantung dan ditentukan oleh kehendakNya? Jika kita asumsikan ketiadaan Tuhan, apakh masih tersisa kemungkinan memperbincangkan akhlak dan hidup secara moral? Ataukah seperti yang diungkapkan Dostoyvski, "kalau Tuhan itu tidak ada, tindakan apapun dibenarkan"? dengan ungkapan lain, haruskah pandangan dunia materialistic berakhir pada pembebasan segala ikatan dan batasan (ibohigari)? Apakah kebutuhan agama kepada akhlak? Sejauh mana ketergantungan akhlak kepda agama? Bisakah akhlak dipandang sebagai bagian integral dari agama, sehingga hubungan dinatara keduanya bersifat organis, bukan perbedaan total atau interaksi?

Jawaban atas pertanyan-pertanyaan di atas ini begitu bercorak, sebanyak sudut pandang dan persepsi khas yang direngkuh oleh masing-masing filsuf akhlak. Dalam pasal ini kita akan menawarkan pandangan kita disepanjang mengemukakan indeks umum pandangan-pandangan yang tyerkait dengan persoalan ini.

Sebelum memulai, akan lebih tepat lagi mengurut latar belakang sejarah permaslahan, sehingga kita dapat sedikit mengenal letak-letaknya dalam karya-karya ulama islam, dan turut memahami keseriusan mereka menanggapi permasalahan ini.

LATAR BELAKANG

Sebagaimana yang telah diisyaratkan bahwa masalah korelasi agama dan akhlak seperti kebanyakan isu-isu falsafi dan moral lainnya, sejak awal periode pemikiran falsafi manusia, selalu dikaji dan dikaji oleh kalangan filsuf dan pemikir.hal ini tampak mencolok pada dialog Sokrates dan Athefronus, sesuai catatan Plato.[1] Sokrates bertanya, "apakah sesuatu itu baik karena tuhan memerintahkannya? Ataukah tuhan memerintahkan sesuatu itu karena ia baik? Dengan demikian, sokrates menelusuri permasaalahan dan terus bergulir sepanjang duapuluh lima abad di tengah perdebatan kaum filsuf, teolog dan agamawan. Sebagian mengiyakan penggalan pertama dari pertanyaan itu, sebagian lainnya mengiyakan penggalan kedua dan menekankan kemandirian/dikotomi total akhlak dari agama.

Sampai di ambang abad modern/renesains, kepercayaan umum pemikir-pemikir kristian menegaskan akselerasi/koherensi akhlak dan agama.[2] Kebanyakan ulama akhlak berusaha membetot hokum-hukum dan nilai-nilai moral dari kitab suci. Sepertinya, sulit untuk menisbahkan satu system moral yang utuh kepada Kristen. Segala apa yang ada di dalam kitab suci itu tidak lebida ri serangkaian nasihat dan anjuran moral yang tebingkai dalam "sepuluh titah" dan "nasihat di puncak gunung". A.McTyer mengatakan, "almasih dan St. Polis merumuskan seuatu moralitas untuk semester pendek dan terbatas , sebelum akhirnya Tuhan mendirikan kerajaan yang dijanjikan dan sejarah menutup catatannya di sana. Oleh krena itu, sulit mengharapkan adanya prinsip/satu asas hidup dalam suatu masyarakat di celah-celah sabda mereka.lain dari itu, almasih tidak bermaksud sama sekali mengembangkan undang-undang tersurat, ia hanya melakukan koreksi/revisi atas moralitas.[3]

Pada saat yang sama, tokoh-tokoh besar kristian sebelum renesains, khususnya Augustinus[4] dan Aquinus[5], selalu berupaya membangun prinsip-prinsip moral Kristen dengan mengandalkan kaidah-kaidah falsafi Platonik, Arestotelian, Neoplatonik dan Stoik.[6]

Hingga menjelang renesains, kristen yang merupakan agama yang resmi dan umum di bumi Eropa, pepegang kekuasaan penuh/total atas seluruh aspek kehidupan warga, mulai dari budaya, sosial, politik, moral sampai sains. Tetapi, setelah renesaians dan ambruknya otoritas gereja serta menyebarnya semangat anti agama dan mewabahnya semangat saintis, rasionalis dan sekular di tengah kehidupan, kecenderungan kepada Humanisme secara perlahan-lahan merebut habis posisi kecondongan pada Tuhan dan agama. Sehingga orang-orang seperti August Comte, kendati jaman agama sudah berlalu, menyajikan[7] "pemujaan kemanusiaan" untuk mengisi kekosongan spiritual dan kehampaan religius warga Eropa.

Jelas, tranformasi intelektual dan kultural pasca renesains melahirkan banyak haluan yang tidak sedikit saling berbenturan. Di dalamnya tdak terbentuk satu kesatuan yang utuh. Kenyataan ini terus berlanjut, sementara haluan pemikiran yang datang silih menentang di hampir semua bidang budaya dn falsafi terus d6eras mengalir. Ironisnya, karya-karya tulisan yang dialihbahasakan di negara-negara muslim umumnya mengarahkan pada satu haluan dan satu bentuk pemikiran yang khas yang lebih berkesan sekular dan ateistis. Satu hal yang bear-benar berbeda denagn apa yang terjadi di bumi asalnya.

Walhasil, dengan segala macam bentuk dan sikap anti agama dan anti moral, persoalan agama dan akhlak kembali diangkat sebagai sebagai isu penting dan gereget besar para filsuf modern. Bahkan, filsuf-filsuf ateis dan antiagamis, dengan suka rela melibatkan diri mereka dalam perdebatan, seprti Nietche (1844-1900), Marx (1818-1883), G.L. Mackie. Hal inilah yang menyemarakkan kembali persoalan di sepanjang abah rekhlir ini. Di dalamnya kita temukan banyak penelitian-penelitian agama dan moral dari filsuf-filsuf Barat.

Beralih ke dunia Islam, persoalan korelasi agama dan akhlak tidak begitu disoroti sebagai sebuah objek penelitian secara terpisah. faktor-faktor apa saja yang membedakan suasana kesemarakan ilmiah di dua belahan dunia ini? Perlu studi yang cukup untuk menuntaskannnya.

Yang pasti, jika kita hendak menilai sebab kekurangan penelitian dalam persoalan-persoalan semacam ini secara jujur dan optimis, kita camkan diri kita baaahwa di hegar-hegara muslim, berkat Islam dan ajaran-ajarannya, khususnya ahlulbayt, didirasakan besarnya keperluan untuk mengkaji persoalan ini. Bagi masyarakat-masyarakat agamis, permaslahan agama dan permaslahan akhlak sedemikan jelas, sehingga pertanyyaan "apakah posisi agama dalam akhlak/moralitas? Apakah posisi akhlak dalam agama? Apakah realsi di antara kduanya? Manakah yang otentik? tidak begitu penting dan membingungkan.

Kendati demikian, harus diakui bahwa kita sebagai umat islam tidak berupaya secara proporsional melakukan kajian dan penlitian serius atas persoalan-persealan semacam ini. Kami berharap dengan berkah revolusi Islam di Iran dan terangkatnya kembali topik-topik keislaman serta perhatian mayarakat duniakepada sumber-sumber oetntik Islam, bisa menempatkan persoalan ini dan semacamnya pada posisinya yang laik.[8]

Tanpa harus diacuhkan, bahaw ada sejumlah permaslahan yang mertalian dengan persoalan ini di dalam literatur Kalam dan Usul Fiqh. Misalnya, permaslahan Al-husn wa Qubhul fi'l, yang didiskusikan sejak bergulirnya pembahsan-pembahasan ketuhanan/keimanan di kalangan kaum muslim. Bahkan, sejak jaman Yunani kuno hingga kini menjadi topic pokok kajian di seputar persoalan korelasi agama dan akhlak. Tentunya, tujuan utama teolog-teolog muslim berbeda dari apa yang dicari filsif-filsuf Barat.

Sebagaimana yang telah lalu, kaum Adliyah yang meyakini perintah dan larangan Tuhan sebagai akibat dari kebaikan dan keburukan esensial tindakan, pada hakikatnya menekannkan sebuah corak/ independensi akhlak dari agama pada tataran realitas. Sebaliknya, kaum Asy'ariyah yang mengangkat perintah dan lanrangan Tuhans ebagai sebab baik dan buruknya tindakan, juga menegaskan kebergantungan akhlak pada agama pada tataran yang sama.

Begitu pula pada tataran perceptual, kebanyakan penganut Adliyah menganggap bahwa akal budi manusia –terlepas dari agama- mampu menguak kebaikan dan keburukan sebagian tindakan. Sementara Asy'ariyah pada tataran kedua ini berusaha meyakinkan kita bahwa tanpa arahan wahyu, akal budi sama sekali tidak akan bisa menyentuh kebaikan atau keburukan tindakan apapun.

Masuknya permaslahan teologi dan moral itu ke dalam Usul Fiqh pada beberapa decade terakhir ini mengembangkan penelitian secara lebih luas dan dalam serta menambah kekayaan ilmiah dan membuka dimension-dimensi baru permasalahan, dan tidak jarang mampu menjelsakan sejumlah kekaburan yang menyelubunginya. Kendati demikian, harus diterima bahwa permaslahan korelasi akhlak dan agama belum samapi pada titik yang memuaskan, dan masih mnemerlukan studi lebih serius dan teliti.

BEBERAPA PANDANGAN

Secara umum, ada beberapa pandangan yang bisa dirangkum kedalam tiga pandangan besar; dikotomi, unitas dan interaksi.

Sebagian filsuf menganggap bhawa ruang lingkup agama terpisah jauh dari ruang lingkup akhlak, tidak ada hubungan apoapun di antara keduanya. Ada pula pemikir-pemikir yang memandang organisme agama dan akhlak, dan bentuk hubungan di antara keduanya dalah unitas. Akhirnya, kelompok ketiga menyakini bahwa kendati agama dan akhlak mempunyai ruang lingkupnya masing-masing, namun ada imbal balik dan hubungan mempengaruhi dan dipengar uhi antara satu dengan lainnya.

Pada uraian selanjutnya, kita akan memperinci masing-masing pandangan, untuk kemudian menawarkan pandangan alternative kami.

  1. Dikotomi

Berdasarkan pandangan ini, agama dan akhlak adalah dua kategori yang berbeda mutlak/total. Masing mempunyai batasan, cakupan dan kawasan yang khas yang tidak bisa dijamah. Tidak ada hubungan logis di antara keduanya. Laksana dua lingkaran terpisah, tidak ada satu titik pertemuan di antara agama dan akhlak. Jika suatu saat ada semacam hubungan atau persinggungan satu permasalahan agama denagan akhlak, hubunagan tidak lebih dari aksiden dan kebetulan, tidak bersifat logis, persis dengan dua penumpang yang masing-masing bergerak dari asal yang berbeda ke tujuan yang berbeda pula, di tengah perjalanan keduanya saling bertemu secara kebetulan saja. Kertemuan kebetulan ini tidak berarti hubungan logis yang nekaknkan keniscayaan.[9]

Bagi penggagas pandangan ini, agama adalah perihal hubungan manusai dengan Tuhannya, semetar akhlak menjelaskan hubungan-hubunagan manusia dengan sesamanya. Oleh karena itu, agam dan akhlak dari aspek subjek tidak mempunyai titik kesamaan. Bahkan, sebagian melangkah lebih jauh dan memandang bahwa agama dan kepercayaan-kepercayaan religius adalah penghambat/kendala besar akhlak dan secara perlahan-lahan memberantas habis akhlak. Secara secara tidak tegas mereka mngatakan, "kebergantungan akhlak pada agama mungkin berakhir pada pembersihan akhlak".[10]



[1] Morality and Religion, in Philosophy of Religion: An Anthology, p.496-497. daureye atsar Aflaton 1/248-252

[2] jurnal Qobasat no.13, th 2000, p.31-32

[3] tarihkceh falsafeh akhlak, A.Mctyier, p.232.

[4] ibid, p.235

[5] ibid, p.236-239

[6] History of Westen ethics, Scott Davis, in Encyclopedia of Ethics 1/480-490

[7] Saire Hikmat dar Urupa 3/114-119

[8] din wa akhlak, Jurnal Qobasat, no.13, Th.2000, p.13

[9] Jurnal Qobasat, din wa akhlak, misbah yazdi, no.13, Th.2000, p.32

[10] Falsafeh din, John Haspers p.80

Tidak ada komentar: