Selasa, 08 Maret 2011

Indera

Indera

Misbahudin

P

engalaman inderawi memang merupakan bukti pertama yang mampu membuat orang mau mempercayai sesuatu. Sensasi yang diterima oleh mata, telinga maupun anggota indera yang lainnya merupakan dalil paling nyata yang harus disikapi, dengan meningkatnya derajat ketaqwaan atau semakin bertambahnya ke kufuran.

Pandangan Dunia tentang Indera

Ada beberapa pandangan tentang indera manusia dan bagaimana seharusnya memfungsikan indera dalam kehidupan. Dari banyaknya ragam pandangan dunia tersebut paling tidak kita dapat menggolongkannya dalam dua golongan besar.

Pertama, pandangan dunia materialis. Pandangan ini berpendapat bahwa indera merupakan sumber pengetahuan paling utama yang menjadikan manusia mampu berpengetahuan. Mereka kita kenal kemudian dengan kaum empiris. Dipelopori oleh John Locke (filsuf Inggris) dan selanjutnya diperkuat lagi oleh secara lebih kritis oleh David Hume (Skotlandia). Pandangannya ialah bahwa otak manusia pada awalnya kosong, lalu indera menemukan realitas luar berupa alam semesta (lingkungan) yang kemudian dipilah, disusun dan digeneralisasi oleh akal. Jadi pengetahuan murni lewat akal itu sebenarnya tidak ada. Manusia menurut mereka tidak mempunyai pengetahuan innate (bawaan/fitrah).

John Locke memiliki sebuah ungkapan, “Dalam akal (rasio) tidak ada sesuatu apa pun melainkan sebelumnya telah masuk sesuatu ke dalam akal itu melalui berbagai indera.” Pendapatnya mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia dari awal sampai akhir adalah berada pada batas- batas inderawi saja.

Konsekuensi pandangan ini adalah bahwa kita tidak perlu lagi mempercayai hal-hal yang metafisik (immaterial) seperti Tuhan. Karena keberadaannya tidak dapat dirasakan, didengar ataupun dilihat. Jadi mereka yang tidak mampu mengambil pelajaran dari semakin bertambahnya umur, pergantian tahun dan bertambahnya pengalaman hidup, secara tidak sadar mengikuti pandangan dunia ini, bahwa semua pengalaman inderawi tersebut tidak perlu disikapi dengan dipergunakannya sumber pengetahuan lanjutan berupa akal dan hati yang akan melanjutkan tugas indera (mendengar, melihat, mencium, meraba, dan merasa) untuk menyembah Allah swt. (Baca edisi ke-6 dan ke-7 tentang sifat dan fungsi akal maupun hati)

Kedua, Pandangan dunia ilahiyah. Pandangan ini mengungkapkan bahwa indera merupakan syarat cukup bagi manusia yang tugasnya merespon realitas luar (alam semesta/lingkungan) ke realitas dalam (benak). Indera hanyalah salah satu alat untuk mendapatkan pengetahuan. Cacatnya suatu indera dapat mengurangi kesempatan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan. Seorang buta tidak akan mempunyai pengetahuan tentang warna, seorang yang tuli tidak akan mempunyai pengetahuan tentang suara atau musik. Begitu pula rusak atau cacatnya indera yang lain tentu akan mengurangi (bukan menghilangkan) kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan.

Allah swt berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran penglihatan, dan hati (akal), agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl : 78).

Ayat ini menyebutkan dua alat indera yang terpenting yaitu mata dan telinga. Alquran dengan demikian memberitahukan kepada kita bahwa penggunaan indera (mata dan telinga) saja tidaklah cukup. Tetapi manusia juga mempunyai kekuatan hati (akal) yang mampu memilah, menyusun, dan mengeneralisasi suatu pengetahuan.

Manusia dalam ayat ini juga diharapkan untuk bersyukur. Dalam artian dia harus memberikan nilai atau menghargai keberadaan inderanya. Menghargai kenikmatan berupa indera yang sehat tersebut artinya menggunakannya sesuai dengan tujuan penciptaan. Karena tidaklah Allah swt menciptakan sesuatu itu sia-sia. Bersyukur di sini mempunyai arti bahwa manusia harus bergerak, beramal dan mempergunakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Dan dalam Alquran jelaslah kita ketahui bahwa semua alat indera tersebut berfungsi sebagai sumber epistemologi (pengetahuan).

Islam tidaklah menganggap bahwa manusia hanya punya sumber pengetahuan seperti indera saja dan menafikkan hati serta akal seperti kaum empiris, atau mengatakan bahwa manusia hanyalah punya akal saja seperti kaum rasionalis dan tidak juga mengandalkan hati saja seperti kaum sufi. Tapi Islam menempatkan ketiganya pada posisinya masing-masing.

Ciri Khusus Pengetahuan Inderawi

Ketika kita sudah mengetahui bersama posisi indera manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi manusia, tentu kita ingin mengetahui karakter atau ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh indera. Syeikh Murtadha Muthahhari (dalam Mengenal Epistemologi,Lentera, hal 130) mengungkapkan bahwa ada empat ciri khusus pengetahuan inderawi.

Ciri pertama, adalah sifatnya yang partikular dan satu persatu. Misalnya pengetahuan tentang bau makanan yang enak. Menurut seorang penggemar sate, daging sate Kambing itu enak. Tapi belum tentu menurut orang lain yang tidak suka sate. Menurut ukuran manusia, daging yang busuk itu tidak enak, tapi bagi lalat atau binatang yang lain, itu merupakan makanan lezat dan mengundang selera.

Dalam hal ini jelaslah bahwa pengetahuan inderawi tidaklah universal tapi sangat personal (individual). Beberapa binatang justru jauh lebih unggul pengetahuan inderawinya dibandingkan manusia. Sebagai contoh, Elang lebih tajam matanya, anjing lebih tajam penciumannya dan gajah lebih tajam pendengarannya. Berarti manusia bila hanya mengandalkan pengetahuan inderawi saja, tidaklah lebih unggul dari binatang.

Ciri kedua, adalah sifatnya yang lahiriah (material), tidak dalam dan tidak mampu sampai memahami esensi (mahiyah). Sifat ini tidak mampu memahami hubungan sebab akibat, keharusan akan hukum sebab-akibat serta hal-hal yang tidak terindera olehnya. Misalnya Manusia tidak mampu melihat bentuk /wujud dari rasa sakit. Tapi hanya bisa merasakan saja.

Ciri ketiga, adalah sifatnya hanya berlaku “sekarang” atau “saat ini”. Manusia tidak bisa melihat masa lalu atau masa depan. Dia hanya mampu mendokumentasikan saja semisal memotret atau menuliskan, tapi tidak mengulanginya. Manusia tidak mampu lagi mencium masakan atau makanan yang dimakannya minggu yang lalu. Setiap detik waktu yang dihadapinya adalah sesuatu yang baru. Bukan sesuatu yang lampau atau masa depan.

Ciri keempat, adalah sifatnya yang parsial dan berhubungan dengan kawasan (lingkungan) tertentu. Seseorang hanya mampu melihat sesuatu seluas jangkauan matanya saja. Seandainya ia berada di rumah ia hanya mampu melihat isi ruangan dari rumahnya saja tanpa mampu melihat kondisi rumah tetangganya atau perkampungan sebelah.

Dari keempat ciri khusus pengetahuan inderawi tersebut, jelaslah bahwa kemampuan inderawi manusia sangatlah terbatas. Dari kemampuan inderawi yang terbatas itu manusia kemudian diperintahkan oleh Allah untuk menggunakan juga akal dan hati agar dapat memahami hakikat penciptaan. (MH, 2003)

Tidak ada komentar: