Selasa, 08 Maret 2011

ESENSI KONSEP-KONSEP MORAL (2) HARUS DAN TIDAK BOLEH/JANGAN

ESENSI KONSEP-KONSEP MORAL (2)

HARUS DAN TIDAK BOLEH/JANGAN

Pada pasal yang lalu, ada sejumlah nuktah yang berbertalian dengan predikat statemen-stateman moral, teori-teori tentang pendefinisian dan asal usul kemunculan konsep2 moral. Dari sisi bahwa konsep-konsep yang berlaku sebagai predikat statemen2 moral -sebagaimana yang akan dibahas- terbagi kepada dua macam, yaitu konsep obligatif dan konsep evaluatif/normatif, dan dari sisi beragamnya pandangan yang mengomentari perihal konsep-konsep itu, di sini kita akan menganalisis dua macam konsep; obligatif dan evaluatif itu secara terpisah.

Dalam tradisi filsafat Islam, para filsuf menyebutkan beberapa macam keniscayaan (wujub/dharurah) yang perlu kita isyaratkan di sini. Untuk itu, kita akan membahas pembagian itu terbih dahulu. Jelas bahwa dengan mengenal konsep/arti harus, kita bisa dengan mudah mengenal konsep jangan/tidak boleh. Oleh karena itu kita akan memfokuskan pembahasan di sini pada konsep harus.

Pembagian keniscayaan

Relasi di antara subjek dan predikat dalam suatu proposisi seperti "A adalah B", tidak keluar dari tiga bentuk; relasi keniscayaan, relasi kemungjkianan, dan relasi kemusrahilan. Relasi keniscayaan adalah kepastian ketat dan mutlak. Dengan ungkapan lain, ketika ada relasi keniscayaan di antara subjek dan predikat sebuah statemen, akal mustahil menerima selain relasi ini. Misalnya, dalam statenmen "Angka empat adalah genap", terdapat relasi di antara genap dan angka empat. Relasi ini determinatif, pasti, mesti dan tidak bisa dirawar-tawar oleh alternative lain. Pada gilirannya, Relasi keniscayaan ini terbagi kepada tiga bagian; keniscayaan substantif (wujub bidzzat), keniscayaan aksidental (wujub bilgoir) dan keniscayaan relatif (wujub bilqiyas). Tentunya, relasi kemungkinan dan relasi kemustahilan juga terbagi kepada bagian-bagian yang tidak perlu disebutkan di sini. Oleh karena itu, kami hanya akan membahas tiga macam wujub di sini secara singkat.[1]

  1. Keniscayaan Substansial

Dari aspek logis/dalam ilmu Logika, keniscayaan substansial yaitu bahwa bukan hanya predikat menjadi mesti dan niscaya bagi subjek, tetapi keniscayaan ini berasal dari dzat dan esensi subjek itu sendiri. Artinya bahwa substansi subjek dengan sendirinya mengkonsekuensikan predikat tertentu, dan mustahil predikat itu terpisah dari subjek tersebut.

Dalam terminologi falsafi, keniscayaan substansial berarti bahwa ketika kita mempredikasikan/mengafirmasikan keberadaan (wujud) kepada sesuatu, lalu kita katakan, "Sesuatu itu ada", keberadaan ini mesti bagi sesuatu itu. ia tidak bisa diasumsikan keterpisahannya dari sesuatu itu. sesuatu itu jika ada di luar, ia adalah wajibul wujud bidzzat, yang berdasarkan argumentasi, esa dan satu.

  1. Keniscayaan Aksidental

Segala sesuatu yang mungkin adalah realitas yang keberadaannya karena selainnya. Mungkin yaitu sesuatu yangs secara esensial dia tidak mengkonsekuensikan dirinya mengada, tidak pula menjadi tiada. Kalaupun dia mengada, maka keberadaannya bukan karena esensi dan dzatnya sendiri, tetapi karena ada sesuatu yang lain. Artinya, karena sebab-sebabnya lengkap dan memadai, maka iapun mengada secara pasti dan niscaya. Dengan demikian, keniscayaan wujudnya adalah disebabkan oleh selainnya.

Dalam ilustrasi neraca/timbanagan, jika kedua sisinya itu kosong, tentu dua sisi timbangan itu dalam kondisi seimbang, sejajar. Namun, apabila salah satunya lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya, niscaya ia bersifat mungkin. Misalnya, jika kita letakkan beban pada satu sisi, tentunya ia menjadi lebih rendah dari lainnya, dan keberadaan beban ini suatu keniscayaan bagi rendahnya sisi tersebut. Oleh karena itu, setiap yang esensinya/secara esensial itu mungkin, akan menjadi niscaya berkat sebab-sebabnya. Keniscayaan aksidental ini disebut juga dengan keniscayaan karena selainnya.

3. Keniscayaan Relatif

segabaimana yang tampak pada arti harfiahnya, keniscayaan relatif bertumpu pada perbandingan antara dua sesusatu. Dalam asumsi adanya A, keberadan B adalah niscaya dan mesti. Disini, keniscayaan relatif hanya menjelaskan bahwa jika A itu ada, mustahil B tidak mengada. Adapun, apakah keniscayaan B itu berasal dari A ataukah tidak, ini tidak ada kaitannya dengan keniscayaan relatif. Dan, karena keniscayaan ini lebih umum dan lebih luas maknanya, iapun mencakup keniscayaan aksidental. Bahkan, keniscayaan aksidental yang ada di antara sebab dan akibatnya merupakan salah satu ekstensi dan contoh terjelas keniscayaan relatif. Tentu, ada perbedaan aspek di antara keduanya.

Dalam keniscayaan relatif tidak dibahas dari manakah keniscayaan B itu berasal? Apakah dari A ataukah dari selain A? keniscayaan relatif hnaya meneankan bahwa dengan asumsi adanya B sebagai akibat, maka keberadaan A sebagai sebab adalah pasti dan niscaya.

Walhasil, setiap sebab, baik yang bersifat lengkap ataupun kurang, ia punya keniscyaan relatif dalam kaitannya dengan akibatnya. Begitupula sebaliknya, setiap keberadaan akibat itu adalah niscaya dalam kaitannya dengan sebab lengkapnnya[2]. Keniscayaan leratif ini juga dapat dijumpai pada relasi di antara dua akibat yang bersebab sama.

KONSEP HARUS MORAL

Terdapat banyak pandangan berkaitan dengan konsep harus ini. Pada pasal yang lalu, dalam menjelaskan beberapa teori berkenaan dengan masalah pendefinisian konsep-konsep moral, kita sudah cukup mengenal sebagian pandangan –pandangan tersebut. Sebagaimana yang telah diisyaratkan di sana, bahwa ada sekelompok besar filsuf akhlak yang berpandangan bahwa konsep harus bisa didefinisikan melalui konsep-konsep empirik, saintis, fisiologis, psikologis, teologis dan bahkan metafisik. Adapula sebagian filsuf, khususnya yang berkaitan dengan konsep harus ini, yang menawarkan pandangan-pandanagn khas, sebagaimana yang akan kita simak dalam pembahasan.

  1. Kebaikan Sebanyak Mungkin

George Edward Moore (1873-1958) seorang filsuf Inggris, memandang bahwa konsep harus yaitu kebenarannya, dan kebenaran disini bisa didefinisikan berdasarkan konsep baik[3]. “Dalam situasi dan kondisi apapun, cara bertindak yang benar dari setiap pelaku yang mesti diambilnya yaitu cara bertindak yang bisa menciptakan kebaikan sebanyak mungkin dalam kondisi yang tengah berlaku.”[4] Dengan demikian, konsep harus, menurut Moore, adalah sesuatu yang membawa kebaikan sebesar dan sebanyak mungkin. Misalnya, “Saya harus membantu tetangga saya” adalah statetemen moral yang menjelaskan bahwa membantu tetangga itu akan mendatangkan kebaikan .[5]

  1. Aksiomatika

H.E.Pricard (1871-1947) berpandangan bahwa konsep harus itu presentif, gamlang dan tidak perlu diperjelas. Dia menyatakan bahwa kita harus mensentralisasikan perhatian kita pada kejelasan/aksiomatika kewajiban-kewajiban kita, yaitu pada aspek presentifitas dan penghayatan sukma kita akan kewajiban-kewajiban itu. Atau secara umum, jika kita ragu apakah kita berkewajiban untuk melakukan tindakanA dalam kondsisi B ataukah tidak, jawabannya tidak dicari dari pemikiran universal dan kontemplasi rasional, tetapi kita hanya akan menemukannya dari penghayatan langsung jiwa kita berkenaan dengan satu kenyataan dari kondisi B dan peyaksian batin kita akan keharusan melaksanakan tindakan A dalam kondisi tersebut[6] Menurut pricard, harus adalah satu kualitas tunggal (sui generis). Karena itu, makna harus atau wajib tidak bisa diurai dan diperjelas oleh makna-makna selainnya.[7]

3. Perintah

Rudolf Carnap (1891-1970) memendang bahwa konsep harus dan konsep-konsep moral lainnya, pada hekikatnya bermakna perintah. Menurutnya, “Anda tidak boleh/jangan mencuri” adalah statemen moral yang didistorsikan dari statemen “janganlah mencuri!”. “harus berbuat adil” tidak ubahnya dengan pernyataan “berbuat adillah!”[8]

  1. Simbol Emosionalitas

Ayer juga menyatakan bhawa konsep harus atau jangan/tidak boleh dalam akhlak atau seluruh konsep-konsep moral sama sekali tidak ada muatan kognitif/penegtahuan. Semua itu tidak menjelaskan realitas objektif apapun di luar, mereka semua juga tidak menjelaskan kondisi apapun yang di alami mental. Mereka hanya menggmbarkan perasaan-perasaan subjektif pembicara. Dengan ungkapan lain, konsep-konseop akhlak adalah simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan emosi-emosi seseorang.[9]

  1. Keniscayaan Aksidental

Sebagian ulama muslim berpandangan bahwa konsep harus moral mengkonotasikan keniscayaan substansial atau keniscayaan aksidental. “Konsep harus yaitu keniscayaan substansial atau keniscayaan aksidental yang menjelaskan tingginya martabat eksistensial/hakikat sesuatu”.[10] Tentunya, ada perbedaan antara harus moral dengan harus nonmoral, bahwa harus moral hanya digunakan pada hal-hal yang muncul dari kehendak pelaku yang akil dan bebas, adapun harus nonmoral berkaitan dengan realitas-realitas yang keniscayaannya bersumber dari sebab-sebab determinatif, alamiah dan tidak berkehendak. Dengan ungkapan lain, perbedaan mendasar antara harus moral dan harus logis, yaitu bahwa keniscayaan riil moral berasal dari kehendak dan kesadaran pelaku, seadangkan keniscayaan nonmoral ditemukan akal dari faktor-faktor determinatif, tak berkehendak.[11]

Penafsiran konsep harus moral ini juga dapat ditemukan dalam teori-teori I’tibariyah (konvensionalisme).[12]

Sebagaimana yang akan kami jelaskan pandangan alternative di bawah ini, konsep harus pada dasarnya berupa keniscayaan relatif, bukan keniscayaan substansial ataupun keniscayaan aksidental.

PANDANGAN ALTERNATIF

Kata harus dan jangan bisa digunakan dalam dua fungsi; pertama, dalam rangka memerintah atau melarang. Dalam sebagian sastra bahasa, harus dan jangan hanya berfungsi sebagai arti yang mengekor. Artinya ia tidak punya arti yang mandiri. Tetapi ia berlaku sebagai bentuk perintah dan larangan yang ada pada kata kerja kalimat. Misalnya, kalimat “harus bicara!” yang identik dengan “bicaralah!”, atau kalimat “Tidak boleh bicara!” yang identik dengan “jangan bicara!”.

Kedua, harus dan tidak boleh bisa berfungsi sebagai makna yang mandiri, tidak mengekor kepada selainnya. Dalam fungsi ini, kata harus berarti mesti, lazim, wajib, niscaya. Misalnya, “harus berbuat adil” adalah statemen imperative yang juga bisa dituangkan ke dalam bentyuk deklaratif; “Berbuat adil adalah kemestian, kewajiban”. Kata harus dalan kalimat deklaratif itu bukan berarti perintah, tetapi secara konsekuentif bermakna wajib dan mesti, yaitu makna yang menjelaskan kemestian suatu perbuatan.

Harus dan jangan/tidak boleh dalam penggunaan pertama merupakan konvensi (i’tibar) dan penetapan, yang menjelaskan emosi dan perasaan si pembicara. Si pembicara mungkin saja dalam penetapan dan penggunaan harus atau jangan itu tidak mempertimbangkan dampak-dampak dibalik itu, tujuan atau motif tertentu. Hanya saja, satu petintah dan satu konvensi/i’tibar/penetapan hanya menjadi benar dan logis pertama; jika si kopnventor/penetap punya tujuan yang rasional dan realistis di balik penetapannya itu, dan kedua; apa-apa yang ditetapkannya benar-benar dalam rangka mencapa tujuan yang diinginkannnya itu. dengan ungkapan lain, penetapan itu mesti berpijak pada realitas dan criteria objektif serta standar-standar faktual.

Dengan demikkian, konsep harus dan tidak boleh/jangan yang digunakan dalam statemen normatif dengan fungsinya sebagai kata perintah dan larangan, kendati mungkin saja untuk mengungkapkan emosi dan perasaan subjektif si pembicara, namun konvensi dan penetapan kedua konsep itu menjadi rasional dan logis ketika didasari oleh pertimbangan adanya relasi faktual dan nyata antara tindakan dan dampaknya.

Adapaun dalam pengguanan kedua, yaitu sebagai konsep yang identik dengan mesti, wajib, lazimnya suatu tindakan, kata harus dan jangan ini umum digunakan dalam bidang-bidang ilmu penegtahuan dan dalam statemen yang bermacam-macam. Misalnya, dalam statemen-statemen saintis ataupun matematis, yaitu ketika seoarang pengajar/guru dalam laboratorium mengajarkan kepada para siswa, “untuk mendapatkan garam dapur, kita harus mengkomposisikan kler dan sodium”, atau anjuran seorang dokter “Anda harus meminum obat ini supaya sembuh”. Permasalahannya di sini adalah arti harus dalam dua pernyataan tadi, apakah sekedar perintah dan penetapan/pengakuan subjektif? Ataukah menjelaskan adanya relasi riil dan nyata di antara dua sesuatu? Tidak syak lagi, bahwa statemen-statemen seperti itu benar-benar hendak menjelaskan interaksi, kontraksi dan sebab musabab dalam pengomposisian dua dzat dan kejadian garam dapur, antara meminum obat tertentu dengan kesembuhan pasien. Dalam istilah falsafi, kata harus dalam statemen-statemen di atas itu menjelaskan relasi keniscayaan relatif antara sebab dan akibatnya, dan mennekankan bahwa selama tindakan tertentu sebagai sebab tidak dilakukan, niscaya dan pasrti akibatnya pun tidak akan terjadi. Jelas, bahwa keniscayaan di sini menjelaskan keniscayaan melakukan atau meinggalkan suatu tindakan dalam kaitannya dengan tujuan tertentu.

Lalu, ketika kita menggunakan konsep harus itu dalam statemen-statemen moral ataupun Hukum (law) dengan bentuk deklaratif, apakah konsep harus itu juga menjelaskan realsi keniscayaan relatif antara suatu tindakan dan dampaknya, ataukah hanya menunjukkan adanya satu bentuk konvensi dan penetapan yang meandasi tindakan dan dampak tersebut? Di sinilah inti persoalan di antara para konstruktor pandangan-pandangan tersebut lalu.

Sejatinya, konsep harus moral dalam statemen deklaratif juga menjelaskan satu bentuk relasi sebab musabab, yaitu relasi kausalitas antara tindakan sengaja dan tujuan moral atau Hukum. Misalnya, ketika seorang ahli Hukum menyatakan “Penjahat itu harus dijatuhi sanksi”. Kendati ia tidak menyebutkan tujuan apapun di dalamnya, tetapi jelas bahwa ia pada prinsipnya hendak menjelaskan adanya hubungan antara sanksi dan tujuan hukum (keamanan sosial). Begitu pula, ketika seorang guru Akhlak menegaskan, “Titipan harus dikembalikan kepada pemiliknya”. Melalui penyataan ini ia hendak menjelaskan hubungan riil tindakan pengembalian dengan tujuan moral, yaitu pencapaian kebahagian abadi. Oleh karena itu, jika si ahli hukum itu ditanya “Mengapa penjahat itu harus diberi sanksi?” ia akan menjawab, “ Jika tidak, akan terjadi keonaran, kekacauan dan anarki di tenghah manysarakat”. Begitupula, jika guru itu ditanya “Mengapa titipan itu harus dikembalikan kepada pemiliknya? Ia pasti menjawab sesuai dengan prinsip yang diyakininya dalam Filsafat Akhlak.

Di awal-awal pasal ini, telah diisyaratkan bahwa salah satu ekstensi dan contoh yang jelas dari keniscayaan relatif adalah keniscayaan aksidental antara sebab dan akibatnya. Ketika sebab lengkap-nya sesuatu itu nyata dan ada, seketika itu pula akibatnya pasti dan niscaya mengada. Dan di mana pun ada akibat, pasti dan niscaya sebabnya juga ada.

Perlu ditegaskan disini bahwa mungkin sekali relasi kausalitas ada di antara dua entitas, sepertri api dan panasnya, dimana realsi diantara keduanya dalah keniscayaan relatif, bisa juga di antara tindakan sengaja dan dampaknya. Jelas bahwa tuindakan manusia sebagai suatu kejadian, mempunyai kesan, efek dan dampak yang khas, baik yang bersifat eksternal ataupun internal, personal ataupun sosial, diketahui secara umum ataupun tidak.

Walhasil, tindakan pilihan/sengaja sesorang, ketika kita komparasikan dengan dampak-dampak yang muncul darinya, kita akan menemukan hubungan keniscayaan relatif di antara keduanya. Misalnya, jika kesempurnaan manusia itu adalah kedekatan diri pada Tuhan (qurbatan ilallah), dan kita tahu dengan akal dan atau agama bahwa kesempurnaan/tujuan itu tidak akan tercapai tanpa melakukan serangkaian tindakan pilhan/sengaja tertentu. Di sini, tampak jelas adanya keniscayaan relatif di tengah kedekatan diri pada tuhan dan melakukan tindakan-tindkan tersebut. Keniscayaan ini bisa kita ungkapkan ke dalam bentuk statemen moral, di mana perbuatan tersebut terkait erat dengan keharusan, lalu kita menyatakan “Untuk mencapai kedekatan diri pada Tuhan, harus melakukan serangkaian tindakan sengaja”. Atau misalnya “harus berkata jujur”. Statemen ini menjelaskan suatu keniscayaan yang terdapat di antara berbicara jujur dan kedekatan diri pada Tuhan, sebagai tujuan sejati manusia. Hal ini persis dengan apa yang kita gunakan dalam bidang-bidang sains, misalnya “Untuk mendapatkan air, harus mengkomposisikan oksigen dan hidrogen dengan prosedur tertentu”.

Singkatnya, konsep harus mempunyai dua fungsi; deskriptif dan fungsi normatif. Fungsi deskriptif konsep harus identik dengan relasi keniscayaan relatif, yaitu hubungan riel yang ada diantara tindakan sengaja manusia dan tujuan moral yang sesungguhnya. Di balik kata kerja di dalam kalimat/statemen, konsep harus juga berfungsi sebagai bentuk perintah dan larangan. Dalam fungsinya yang kedua ini, kendati konsep harus ini adalah bentukan konvensional (i’tibar), namun konvensi ini bukan tanpa dasar, tetapi mengacu pada realitas obejktif. Pada hakikatnya, konsep demikian inilah yang menunjukkan realitas objektif dan fakta-fakta riil di luar. Sebagaimana yang sudah kita sebutkan bahwa konsep-konsep moral ini (harus dan tidak boleh) seperti halnya konsep-konseop yang menempati posisi subjek statemen-statemen moral, yang semuanya berupa konsep unversal falsafi, yaitu konsep yang tidak ada objektifitasnya di luar, tetapi mengacu/bertumpu pada fakta-fakta objektif. Kalaupun konsep-konsep moral itu digunakn dalam bvntuk lain, maka pengunaan itu bersifat metaforis.

PERBEDAAN HARUS MORAL DAN HARUS NON MORAL

Persoalan yang muncul berikutnya adalah jika konsep harus itu punya satu pengertian permanen dalam setiap kondisi dan sitiasi/posisi, lalu, apakah perbedaan statemen obligatif moral dengan statemen saintis dan matematis yang juga mengandung konsep harus?

Perbedaan mendasar di antara statmen-statemen itu terletak pada ciri-ciri khas yang menyertai masing-masing statemen tersebut, bukan pada esensi konsep harus itu sendiri. Penjabarannya, dalam statemen-statemen (proposisi-proposisi) santis atau matematis, selain adanya relasi keniscayaan relatif, tidak ada ciri khas lain di dalamnya. Adapun konsep harus dalam Hukum (law) dan Akhlak mempunyai ciri khas yang menyertai esensi maknanya, yaitu keniscayaan yang ada di antara tindakan sengaja/pilihan dan dampaknya. Dengan kata lain, pengunaan konsep harus dalam Akhlak dan Hukum dan lebih khusus dan sempit ketimbang dalam bidang-bidang sains dan ilmu-ilmu eksak. Konsep harus dalam bidang Akhlak dan Hukum menjelaskan suatu bentuk hubungan kausalitas antara tidakan sengaja dan dampaknya.

PERBEDAAN HARUS MORAL DAN HARUS HUKUM (Law)

Beranjak dari kesamaan fungsi di antara tuntutan/kewajiban Hukum dan kewajiban Akhlak; sama-sama menjelaskan hubungan riil dan faktual antara tindakan tindakan dan tujuannya, lalu apakah perbedaan diantara kewajiban moral dan hukum-hukum huquq/kostitusional? Perihal apakah yang bisa memilah satu permaslahan/berdasatrkan apakah kita bisa mengetahui bahwa masalah itu berkaitan ddengan hukum sementara maslah ini bersifat morala?

Masalah korelasi anatara Akhlak dan Hukum, begutupula titik berbedaan diantara kedua bidang ini merupakan satu topik penting dalam dalam perbincangan Akhlak. Tidak syak lagi, dua bidang ilmu ini menemui banyak kesamaan-kesamaan; keduanya mempunyai fungsi sosial yang hampir sama, dan menjelaskan norma-norma standar/kriteria2 untuk mengatur dan mentertibkan/mendisiplinkan tindakan2 sosial manusia. Bahkan, redaksi kode/keputusan/hukum Hukum juga tidak berbeda dengan readaksi hokum-hukum moral. Terlepas dari beberapa kasus yang sangat langka dan parsial, kedua bidang ini sama-sama menggumuli tindakan-tindakan sengaja manusia. Kesamaan-kesamaan inilah yang mengembangkan perdebatan di antara para pakar dalam upaya menunjukkan titik-titik perbedaan Akhlak dengan Hukum, sesuai dengan pandangan masing-masing bberkaitan dengan persoalan-persoalan Akhlak dan Hukum.

Menurut pandangan sebagian besar pemikir Barat, perbedaan fundamental antara Akhlak dan Hukum terletak pada bentuk jaminan/alat eksekusi dan pelaksanaannya. Hukum/aturan/keputusan/kode/ikatan Hukum punya jaminan eksekusi yang bersifat konstitusional, fisikal, dan eksternal. Berbeda dengan hukum-hukum moral yang jaminan/alat eksekusinya bukan pada kekuatan fisik, tetapi maksimalnya berupa sanjungan, hujatan, dan semacamnya yang pada dasarnya berupa simbol-simbol verbal yang lembut atau kasar.[13] Artinya, jaminan-jaminan eksekusi dalam moral hanya bersifat internal, seperti naluri cinta kebajikan, kecondongan diri untuk melakukan perbuatan yang jelas-jelas kebenarannya.

Dengan ungkapan lain, menurut mereka, perbedaan terpenting antara dua bidang ini terletak pada metode aplikasi, dimana masing-masing digunakan untuk menata dan mengatur prilaku masyarakat. Dalam rangka itu, Hukum mengandalkan institusi dan lembaga konstitusional seperti parlemen, kehakiman. Adapun Akhlak mengandalkan kekuatan tradisi, akal sehat (common sense), opini publik, nilai-nilai budaya, dan kepercayaan personal.[14]

Sebagian lain menunjuk pelaku/juru penetapan/konvensi (i’tibar) sebagai faktof yang membedakan Hukum dari Akhlak. Bahwa aturan-aturan Hukum ditetapkan dan dilegalisasi oleh oparlemen dan dieksekusi oleh lembaga kehakiman. Adapun hukum-hukum moral adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak bisa disahkan oleh badan apapun, legislatif ataupun yudikatif. Tentunya, mereka tidak bisa memastikan dengan tegas titik perbedaan itu pada masyarakat-masyarakat primitif yang msih belum mengenal atau membentuk intitusi-insitusi formal; legislatif, eksekutif dan tyudikatif.[15]

Pada hemat kami, Hukum dan Akhlak dapat kita bedakan dari dua aspek[16]; tujuan dan mekanisme/cara penerapan hukum2/aturan/ikatan/batasan tersebut sebagai syarat pemenuhan tujuan itu. Tujuan Hukum adalah menciptkan ketertiban dan kedisiplinan sosial, yaitu suatu ketertiban yang muncul dari perilaku-perilaku sengaja mnausia. Pada setiap jaman, ahli-ahli Hukum dan perundang-undangan, sesuai dengan kapasitas ilmuah mereka dan tuntutan jaman dan tempat, menetapkan/mengkonvensi keputusan/kode/undang-undang untuk menghadirkan ketertiban dan kedisiplinan dalam masyarakat, serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan cara hidup kolektif yang lebih baik dan sehat. Misalnya, supaya tingkat kecelakaan lalu lintas bisa ditekan seminimal mungkin, sehingga bisa tercipta ketertiban lalu lintas dan terhindar korban jiawa, para ahli hukum menetapkan bahwa semua sarana-sarana tranportasi harus bergerak dari sebelah kanan. Kendati gerak dari sebelah kanan ini tidak ada objektifitasanya, tetapi jika disepakati bahwa semua bergerak dari sebelah kiri, maka tujuan penetapan aturan itu juga bisa terpenuhi, sebagaimana yang berlaku di sebagian negara.

Walhasil, para ahli Hukum akan menyelidiki faktor-faktor yang bisa mencegah kerusakan, instabilitas, kekacauan sosial dan apa saja yang menjamin kemaslahatan dan menciptakan kedamaian serta ketertiban sosial, lalu mencermati hubungan kausalitas yang ada di antara semua itu. Dari hubungan itiulah mereka menangkap konsep harus (obligasi Hukum), lalu merumuskan “Seluruh sarana-sarana transportasi harus bergerak dari sebelah kanan”.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan, untuk merealisasikan tujuan-tujuan Hukum, niat/maksud seorang pelaku dalam mentaati kode-kodenya itu tidak mesti adanya. Artinya, dari persektif Hukum, motifasi dan niat pelaku tidaklah berarti dalam menjaga hak-hak sosial dan mematuhi aturan-aturan sipil yang berlaku. Jika seseorang melakukan satu tuntutan/kewajiban Hukum berdasarkan riya, menjilat, mencari muka, atau untuk merebut perhatian orang lain, tujuan yang melatarbelakangi tuntutan itu juga masih bisa terpenuhi. Hukum hanya menuntut, dia harus bergerak dari sebelah kanan, dan tidak boleh melanggar aturan ini, dengan motifasi dan niat apapun dia mematuhi aturan itu, apakah dia bergerak dari arah kanan dengan motifasi takut dari sanksi, atau dengana motifasi menghormati aturan yang berlaku dan menjaga hak-hak orang lain, atau denga motuidfasi qurbatan ilallah. Adapun tujuan tututan/hukum moral yaitu kedekatan diri seseorang pada kesempurnaan dan kebahagian sejatinya. Tujuan ini tidak mungkin terpenuihi tanpa didasari oleh niat dan motifasi si pelaku yang akil dan bebas.

Tentunya, tidak semua orang punya persepsi yang sama tentang tujuan moral, seperti yang tampak dalam perselisihan di tengah filsuf-filsuf Akhlak. Secara umum, sebagian mengakui cita-cita moral (moral Ideals) yang bisa diraih seseorang hanya dengan melakukan serangkain tindakan-tindakan yang disertai niat tertentu, meski sebagian besar aliran-aliran moral di Barat tidak menyebutkan unsur niat ini. Yang jelas, perbedaan prinsipiil antara Hukum dan Akhlak ada pada bentuk tujuan masing-masing. Bahwa tujuan Hukum hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang bisa terpenuhi dengan memberlakukan tuntutan Hukum itu, sekalipun secara paksa dan tekanan. Sementara dalam Akhlak, tujuannnya tidak akan terlealisir kecuali dengan menyertakan niat dalam mematuhi tututan-tuntutan moral.

Akhirnya, perlu diingatkan bahwa pada tataran realitas/aplikatif, boleh jadi satu sistem hukum berada di dalam satu sistem moral. Seluruh yang ada pada sistem hukum Islam berada dalam kerangka moral. Atau, menurut terminologi fikih tradisional, tututan-tuntutan Hukum adalah kewajiban-kewajiban tawassuli, yaitu keawajiban2 yang keutuhan dan kebenaran pelaksanaannya tidak disyaratkan niat pelaku. Dan, seluruh kewajiban-kewajiban tawassuli ini bisa dilakukan dengan niat lillahi ta’aala.

Poin lain yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa sekalipun penetapan tuntutan/aturan2 Hukum pada dasarnya berkaitan demgan tindakan2 sengaja manusia. Tetapi, dalam kondisi-kondisi yang sangat langka, aturan Hukum juga berkaitan dengan tindakan-tindakan nir-sengaja (yang tidak sengaja). Seperti, jika seseorang yang tengah tidur melukai orang lain, tindakan melukai ini tidak ada kaitannnya dengan Akhlak, karena Akhlak kaitannya dengan ketaksengajaan adalah nertal dan tidak punya penilaian. Tetapi, tindakan ini masuk dalam sentuhan dan pemeriksaan Hukum, di mana orang itu harus mengganti rugi apa yang dia lakukan atas orang lain itu. Atau misalnya, jika sesorang dalam keadaan tidur membunuh seseorang tanpa sengaja, menurut Hukum ia harus membayar diah (kompensasi/denda), adapun menurut Akhlak dia tidak bisa diperkarakan dan disanksi. Tentunya, ketika dia hendak membayar diah, jika menyertakan niat qurbatan illallah, maka tindakan membayar-nya ini bisa mengadung nilai moral.



[1]untuk lebioh deteil, lihat nihayatul hikmah

[2] Omuzesy falsafeh, misbah yazdi, 2/56

[3] Moral Obligation. P.145

[4] falsafeh akhlaoq dar qarn e hodzer p.10-11

[5](Moral Obligation p.145-146

[6] Moral Obligation p.17. Falsafah akhloq dar qarne hodzer p.14

[7]falsafeh akhloq dar qarne hodzer p.14

[8]falsafeh akhloq dar qarne hodzer p.26. Philosophy and Logical Syntax p.24

[9] Language, truth and Logic p.146

[10] Kovesyhoye Aql Amali, mahdi Hairi yazdi p. 102

[11] Kovesyhoye Aql Amali, mahdi Hairi yazdi p. 103

[12] Ta’liqoh ala Nihayatul Hikmah p.391

[13] Falsafeh akhlak, Frankena p.31-32

[14] Dictonary of Ethics, Morality and Law p.279-280

[15] dar omadi be falsafeh akhloq p.17

[16] lihat lebih rinci di Huquq wa siyosat dar qur’an 1/22-23

Tidak ada komentar: